Rabu, 21 Juli 2010

Singkronisasi antara Implementasi Hukum dan Peran Pemerintah dalam Memenuhi serta Menjamin Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bagi Rakyat Indonesia

Oleh : Herlin
Transisi demokrasi di Indonesia dalam taraf tertentu telah membuka ruang yang lebih luas bagi hak-hak rakyat untuk berekspresi, berorganisasi dan mengeluarkan pendapat dibandingkan denga jaman Orde Baru yang otoriter. Intinya hak-hak sipil telah diberi tempat dan ruang yang luas, bahkan dalam level tertentu telah dijamin oleh undang-undang

Namun, transisi demokrasi tersebut ironisnya berjalan berbarengan dengan krisis ekonomi yang tidak juga menemui jalan keluar. Fomula liberalisasi ekonomi dari IMF dan Bank Dunia yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto hingga SBY terbukti lebih beracun dari penyakit krisis yang hendak diobati. Formula liberalisasi terbukti mengakibatkan hak-hak sosial rakyat dilanggar oleh negara dan kepentingan modal. Tanggung jawab subsidi negara dikurangi bahkan dicabut, semata mengikuti logika pasar bebas. Akibat pengabdian rejim transisi demorkasi pada pasar bebas kehidupan rakyat semakin dimiskinkan dan terjerabut dari hak-hak sosial-ekonominya, bahkan yang paling dasar sekalipun. Akses rakyat kepada kesehatan dan pendidikan semakin sempit; pengangguran meningkat tajam; upah nyata buruh semakin kecil; subsidi negara dihapuskan/dikurangi. Di sisi lain kontrol rakyat atas berbagai ekosistem kehidupan juga tercerabut atau bahkan dihancurkan oleh kekuatan pasar bebas yang eksplosif dan negara.

Agar hak-hak sosial ekonomi rakyat tidak ditundukan secara total oleh kekuatan pasar, harus dikembangkan berbagai strategi dan inisiatif agar sistem-sistem sosial-ekonomi kerakyatan bisa direbut kembali demi gerakan di akar rumput dan dipertahankan untuk melawan pengrusakan lingkungan ekosob yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar bebas. Perjuangan menuntut hak-hak ekosob akan menyediakan syarat untuk dapat didorong oleh gerakan menjadi isu umum yang betul-betul menjadi kebutuhan dalam realitas konkrit kehidupan rakyat kebanyakan.

Inisiatif pemerintah RI yang sudah meratifikasi konvenan hak-hak Ekosob jangan juga menjadi ilusi akan dijalankan. Ratifikasi ini harus dipaksa agar dijadikan undang-undang dan mengikat pelaku bisnis, kepentingan modal dan pemerintahan lokal. Bentuk kongkritnya adalah anggaran negara dan anggaran daerah yang betul-betul dirumuskan demi kepentingan sosial, bukan kepentingan elit politik dan kepentingan pasar.

Anggaran negara yang mengabdi pada kepentingan dasar rakyat bukanlah sebuab mimpi. Di i Brasil, dinegara bagian Porto Alegre, sejak tahun 1990 an, rakyat menentukan perumusan anggaran pembangunan melalui mekanisme Anggaran Partisipatoris (Participatory Budget). Dengan cara itu anggaran pembangunan negara setiap tahun, disesuaikan dengan kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan pemilik modal atau pasar. Untuk sampai ketahap seperti itu, rakyat disana juga perlu untuk mendemokratiskan kekuasan eksekutif di level lokal. Caranya dengan partisipasi rakyat untuk mendukung dan menguasai pemerintahan di level distrik/kabupaten dan negara bagian dengan mendukung calon eksekutif yang memperjuangkan platform anggaran partisipatoris.

Dengan otonomi daerah dan ruang demokrasi yang lebih luas sekarang ini, sebetulnya ada kesempatan apa yang terjadi di Porto Alegre juga bisa terjadi disini. Problemnya adalah, apakah gerakan disini mau bersatu untuk perjuangan politik yang mengabdi pada kepentingan rakyat, atau bersatu untuk tujuan eskistensi politik belaka.

Karena, hak Sipol adalah problem keseharian yang paling mencolok dalam negara yang tidak demokratis. Namun, itu tidak berarti bahwa hak Ekosob telah terpenuhi dalam negara otoriter. Kita mungkin masih ingat bagaimana ORBA dulu mempopulerkan jargon yang lebih kurang berbunyi "politic no, economy yes". Seolah hak ekonomi atau kesejahteraan masyarakat telah dipenuhi dengan baik oleh Negara. Padahal, jargon itu hanyalah kamuflase yang digunakan sebagai topeng untuk melegitimasi tindakan brutal negara terhadap hak-hak Sipol rakyat.

Yang terjadi adalah pelanggaran terhadap hak-hak Ekosob tidak terungkap karena tidak adanya ruang untuk mempublikasikan penistaan Negara terhap hak-hak itu. Sebab, kebebasan pers adalah kemewahan yang tak terbeli dalam negara yang dikontrol oleh pemerintahan despotik. Karenanya, pengungkapan tragedi kelaparan, kematian akibat epidemic, dll menjadi aib yang selalu ditutupi oleh penguasa diktator. Jadi, dalam kalimat sederhana mungkin bisa dikatakan 'jangankan menuntut hak atas pelayanan kesehatan, hak berbicara saja masih belum terpenuhi'.

Hal tersebut menjadi penting untuk diungkap kembali, karena akhir-akhir ini kita seringkali mendengar 'gugatan' bahwa kesejahteraan ekonomi lebih terpenuhi ketika orde baru disbanding sekarang. Reformasi dianggap hanya mempersulit peningkatan kesejahteraan rayat. Padahal tudingan itu melupakan berbagai problem krusial terkait kesejahteraan dimasa orde baru, yang tidak terungkap karena tidak adanya kebebasan media di masa itu. Bukan karena hidup rakyat yang lebih sejahtera. Selain itu juga harus dipahami bahwa kondisi hidup rakyat yang semakin terpuruk saat ini adalah bagian dari problem masa lalu.
Hal inilah yang mengakibatkan perjuangan atas hak-hak ekosob seringkali baru menjadi agenda prioritas setelah penguasa otoriter tumbang, seperti situasi tengah kita alami sekarang.

Kedua, dalam penegakan ke dua kovenan tersebut, terdapat dua strategi yang berbeda, yang dalam skema perekonomian global saat ini, justru semakin menjauhkan komitmen negara dalam pemenuhan Hak Ekosob. Sebab, kovenan yang mengatur masalah hak-hak Sipol, bertendensi membatas intevensi Negara dalam pemenuhannnya, sehingga lazim dikenal dengan istilah hak-hak negative (negative rights). Sementara upaya Pemenuhan hak-hak ekosob justru sebaliknya. Negara malah akan melakukan pelanggaran jika tidak aktif berperan dalam pemenuhan hak-hak ini.

Sehingga, hak Ekosob juga lazim dikenal sebagai hak-hak positif (positive rights). Namun, yang jadi perkara -terkait pemenuhan hak Ekosob – adalah kebijakan ekonomi sejak krisis mendera di tahun 1997 secara gamblang diabdikan pada kepentingan pasar. Konsekwensinya, peran negara dalam aktivitas pemenuhan kesejahteraan rakyat dikurangi. Program pelayanan umum makin ditinggalkan oleh pemerintah, karena pendukung neoliberal meyakini bahwa pasar punya mekanisme sendiri untuk mengatur itu.

Peran negara dipangkas sedimikian rupa, menjadi hanya sebatas fasilitator bagi berkembangnya pasar. Hal ini tercermin dari alokasi APBN untuk bidang sosial yang terus dikebiri. Beban hutang yang luar biasa telah memaksa pemerintah untuk memperketat dan melakukan efisiensi dalam APBN. Sehingga, berbagai subsidi dikurangi, bahkan dicabut. Faktanya bisa diamati dari gencarnya IMF mendesak agar sektor-sektor pelayanan dasar segera diliberalisasi dan penghapusan berbagai subsidi di bidang yang terkati dengan hajat hidup orang banyak seperti ; BBM, listrik, telekomunikasi, produk pertanian,dll.

Semua arah kebijakan tersebut hadir sebagai 'kutukan' dan malapetaka bagi rakyat, yang sudah termarjinalkan selama puluhan tahun. Sebab, policy itu memicu melonjaknya harga-harga barang, ditengah pendapatan rakyat yang semakin menurun. Hal tersebut, tentu saja semakin melemahkan daya beli masyarakat, yang diperburuk oleh ambisi pemerintah untuk terus menggenjot pendapatan dari sektor pajak.

Hasilnya adalah kesejahteraan rakyat semakin tergerus. Sebab, rakyat ditinggal sendirian menghadapi serangan program neoliberal yang hadir untuk merampas semua pelayanan dasar negara terhadap mereka. Kebijakan yang mengandung unsur subsidi negara, oleh IMF dianggap tidak produktif karena bertentangan dengan logika pasar. Karenanya, kebijakan dimaksud, hanya akan semakin mempersempit akses masyarakat terhadap pemenuhan hak Ekosob, termasuk hak atas kesehatan karena biaya berobat yang semakin tak terjangkau. Contoh yang lebih telanjang adalah pengingkaran negara terhadap hak rakyat atas pendidikan, yang juga menjadi hak dasar yang diatur dalam kovenan Ekosob. Setiap tahun kita bisa meilihat betapa pemerintah melakukan pelanggaran terhadap amanat konstitusi, karena tidak pernah merealisasikan anggaran pendidikan yang telah diatur sebesar 20%.

Kebijakan pemulihaan ekonomi yang takluk buta dibawah komando program neo liberal seperti dipraktekan saat ini, akan semakin memperburuk realisasai komitmen pemerintah pada pemenuhan hak-hak Ekosob. Sebab, kebijakan tersebut pastinya tidak diarahkan untuk membangun ribuan ruang kelas yang ambruk yang secara nyata menafikan hak rakyat atas pendidikan. Selain itu kebijakan neoliberal tentu tidak akan peduli terhadap upaya peningkatan upah buruh, pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil dan terisolir serta hak dasar lain yang terangkum dalam kovenan Ekosob. Karena, pembiayaan untuk sektor semacam ini, sekali lagi, hanya akan dianggap pemborosan
Sehingga, secara kritis dapat dikatakan bahwa strategi pemulihan ekonomi yang tempuh saat ini lebih terlihat sebagai upaya untuk meladeni kepentingan neoliberal dan untuk melunasi hutang yang konon sulit terbayarkan bahkan untuk beberapa generasi kedepan.

Dalam situasi ketika negara seperti lepas tangan dari tanggung jawab sosialnya, nasib warga akan sangat ditentukan oleh aktivitas ekonomi mereka sendiri. Orang-orang yang tidak memiliki keahlian dan sumber
daya ekonomi yang cukup akan termajinalisasi. Benar bahwa pemerintah mencoba melakukan upaya pemenuhan hak Ekosob melalui program-program seperti pembagian beras miskin (raskin), pemberian kartu berobat murah, pembagian Bantuan Langsung Tunai (BTL), bantuan operasional sekolah, dll. Namun, rangkaian program 'charity' tersebut, lebih terlihat sebagai pelipur lara atas dinaikkannya harga BBM. Karenanya, perlindungan serupa itu hanya bersifat artificial, bukan jawaban terhadap penderitaan panjang yang mendera rakyat selama bertahun-tahun. Sebab, kebijakan yang diambil bukan merupakan program jangka panjang yang didukung langkah-langkah komprehensif untuk pencapain target-target yang terukur dalam rentang waktu tertentu.

Kondisi ini menjadi penjelas bahwa hak-hak Ekosob belum menjadi prioritas pemerintah dan secara gamblang menafikan konstitusi (UUD 1945) yang dalam pembukaannya telah secara tegas mengatur bahwa "tujuan bernegara adalah menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’’ . Disisi lain, economic recovery memang telah menunjukkan sinyal perbaikan, yang ditandai oleh nilai kurs Rupiah yang cenderung stabil. Namun, hal tersebut belum secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum. Apalagi, seperti dilansir berbagai media, perbaikan kurs rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh banyaknya besaran investasi portofolio yang ditanamkan di pasar modal atau bursa saham. Bukan investasi asing langsung (foreign direct investment) yang datang untuk mengembangkan usaha di Indonesia. Seperti diketahui, investasi portfolio adalah jenis investasi yang dapat bergerak dalam hitungan detik, perpindahannya dari satu negara ke negara lain terjadi dalam satu kedipan mata. Sehingga para pelaku investasi model ini lebih tepat disebut spekulan ketimbang investor, yang jika melarikan modalnya ke luar negri bisa mengancam krisis ekonomi seperti yang terjadi di awal 1997.

Hal inilah yang menyebabkan kenapa perbaikan ekonomi saat ini tidak berbanding lurus dengan jumlah angka kemiskinan yang malah cenderung naik, serta angka pengangguran, angka anak putus sekolah dan berbagai wabah penyakit seperti, demam berdarah, flu burung, diare, dll, yang tidak pernah tertangani secara tuntas dan menjadi ancaman pembunuhan yang terus menghantui warga dalam setiap musim tertentu. Situasi ini tentu menjadi sebuah ironi ditengah gencarnya pemerintah mengkampanyekan perbaikan kondisi hak asasi manusia sebagai agenda utamanya.

Hak Atas Kesehatan dan Tanggung Jawab Negara
Sebagai produk perang dingin, perjuangan atas hak Sipol menjadi prioritas utama yang diperjuangkan oleh para perjuang HAM, sebagai antitesa terhadap banyaknya korban akibat brutalitas Negara yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Namun, fakta mencengangkan mengungkap bahwa ternyata korban yang meninggal akibat kelaparan, penyakit menular dan berbagai soal yang terkait dengan masalah kemiskinan jauh lebih banyak dari korban karena kekerasan Negara. Thomas Pogge (2004) dalam artikelnya "World Poverty and Human Rights", yang mengutip data World Health Organisation (WHO), mencatatat bahwa diperkirakan ada 18 juta korban yang meninggal setiap tahunnya karena kasus yang terkait dengan masalah kemiskinan atau 1/3 dari jumlah total korban jiwa yang ditaksir sebesar 270 juta sejak berakhirnya perang dingin. Karenanya, berpijak pada fakta itu maka perjuangan pemenuhan hak Ekosob, harus ditempatkan dalam posisi setara dengan perjuangan hak Sipol. Kaitannya dengan hak rakyat atas kesehatan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pembukaan konstitusinya lebih spesifik mendefenisikan kesehatan sebagai "Suatu kondisi yang baik dan sempurna fisik, mental dan sosial dan bukan hanya kondisi penyakit atau kelemahan fisik belaka" . Dengan demikian, hak atas kesehatan, semestinya harus lebih diposisikan dalam kerangka kerja preventive. Hal ini bermakna bahwa pemerintah harus bertindak lebih cepat dalam mencegah timbulnya suatu penyakit, misalnya dengan mendorong terciptanya lingkungan yang bersih, sarana air bersih dan sanitasi yang memenuhi standar kesehatan, dll. Tindakan reaktif pemerintah, layaknya pemadam kebakaran, yang diambil setelah jatuhnya korban jiwa, karenanya sangat jauh dari semangat untuk memenuh hak rakyat atas kesehatan.
Kovenan hak Ekosob memang mengakomodasi pemenuhan secara bertahap atau progresif oleh Negara atas hak-hak itu termasuk hak atas kesehatan. Sebab, disadari pencapaian paling maksimal membutuhkan waktu yang lama. Namun ada kewajiban dasar yang mengikat pemerintah untuk melakukan realisasi secara segera (immediate realization), khususunya terhadap soal yang terkait dengan "pengurangan angka kelahiran dan kematian bayi, pencegahan dan penanggulangan epidemic, endemik, serta peningkatan kondisi yang dapat menjamin terjangkaunya sarana medis bagi penderita penyakit"

Karena itu, ruang yang diberikan oleh kovenan tersebut untuk Pemenuhan secara progresif, tidak bisa dipakai sebagai dalih untuk menunda pemenuhan hak atas kesehatan. Yang harus dipastikan adalah apakah Negara tidak atau belum mampu ataukah Negara memang tidak mau dan tidak peduli terhadap itu. Sehingga, hal yang mesti diamati adalah sejauh mana kebijakan pemerintah memberi prioritas terhadap Pemenuhan kesehatan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari misalnya ; berapa besar anggaran yang dialokasikan untuk itu. Karena hal tersebut akan berimplikasi pada fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang bisa disediakan untuk masyarakat. Dari sini kemudian dapat diketahui apakah Negara tidak mampu atau tidak mau memenuhi hak itu. Tapi seringkali kita dipertontonkan sesuatu yang sangat kontras di republik ini, jika kita membandingkan layanan kesehatan yang dinikmati pejabat dan rakyat. Karena, pejabat bisa mendapat fasilitas yang sangat mewah untuk itu, namun disaat yang sama di rumah sakit umum ada orang yang ditolak berobat karena tidak punya biaya.

Padahal seperti dikutip diatas, pasal 12 kovenan Ekosob yang mengatur masalah hak atas kesehatan mencantumkan kata standar tertinggi yang mestinya dinimati setiap orang untuk pelayanan kesehatan fisik dan mental. Kata tertinggi dalam pasal tersebut berimplikasi pada elemen-elemen mendasar atau prinsip-prinsip yang mesti dipenuhi Negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan seperti ; ketersedian, aksesibilitas dan akseptibilitas dan kualitas. Karena itu Negara memiliki obligasi untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak rakyat atas kesehatan.
Hal inilah yang menyebabkan kenapa persoalan tingkat kematian bayi misalnya, juga menjadi salah satu parameter untuk menentukan berhasil tidaknya pembangunan di suatu negara. Sebab, pembangunan mestinya berjalan linear dengan peningkatan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Untuk itu masyarakat juga harus terus aktif untuk mendesak pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai. Karena, sangat sulit berharap kebaikan pemerintah yang saat ini didominasi oleh para politisi 'kepala batu' untuk memenuhi hak-hak konstitusional tersebut.
"Karya ini dimuat dalam Buku : Menanti Kebangkitan Hukum Indonesia karya Mahasiswa Fakultas Hukum Se-Indonesia, Penerbit Press UI dan Pusat Kajian Mahkamah Konstitusi RI"

PERAN REMAJA DALAM MEMPROMOSIKAN HAM DI ACEH

Oleh : Herlin
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Dilihat dari perspektif HAM pemikiran diatas akan bermuara pada urgensi pengembangan demokrasi secara konsisten. Demokrasi mengandaikan adanya supremasi hukum; dan berkembangnya kesadaran rakyat tentang hak-haknya, disamping tentunya ada pembagian kewenangian antar cabang kekuasaan baik dalam struktur pemerintahan di pusat maupun di daerah. Sebaliknya demokrasi juga mengandaikan adanya dan memberi peluang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesadaran akan hak-hak rakyat yang diaplikasikan dalam partisipasi politik mereka. Bahkan kondolidasi demokrasi mempersyaratkan adanya partisipasi rakyat yang efektif. Dalam konteks Negara yang dalam taraf transisi menuju demokrasi, penegakan supremasi hukum, peningkatan kesadaran rakyat atas hak-haknya dan perlindungan HAM merupakan bagian dari agenda urgen untuk mendorong pemapanan demokrasi yang dikenal dengan istilah konsolidasi demokrasi.
Hal diatas merupakan instrument penting yang seharusnya dijadikan landasan berfikir para remaja saat ini dia Aceh mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasca MoU Helsinki. Namun pada kenyataan nya, mereka kurang berperan aktif dalam mensosialisasikan HAM. Ada factor yang mempengaruhi kenapa remaja di Aceh saat ini cenderung pasif dalam hal mensosialisasikan HAM. Hal ini salah satunya adalah kurangnya pemahaman tentang HAM itu sendiri.
Seperti kita ketahui, sebagian besar remaja dan pemuda di aceh saat ini kurang memiliki pemahaman tentang HAM, hal itu dapat kita lihat kurangnya pemahaman mereka tentang hak-hak terhadap pendidikan, kesehatan, dan hak-hak lainya yang merupakan tanggung jawab Negara dalam proses pemenuhannya. Ketika hak-hak atas pendidikan dilanggar sebagian besar generasi muda (para remaja) tidak pernah mengkritisi, kurangnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin saat ini di Aceh juga tidak pernah mendapat sorotan yang serius dari para remaja. Padahal seharusnya, para remaja yang notabene sebagai generasi penerus bangsa harus lebih aktif dan progresif dalam mempromosikan HAM dan memberikan penyadaran kepada masyarakat luas di Aceh tentang pentingnya HAM. Agar kita bisa mengetahui apa saja yang menjadi hak individu masyarakat yang harus dipenuhi oleh Negara.
Selain itu dengan adanya pemahaman tentang HAM kita juga dapat mengetahui tentang hak-hak orang lain yang tidak boleh kita langgar. Sehingga kita dapat hidup secara berdampingan dengan rukun tanpa memandang agama, suku, dan ras masing-masing. Hal ini juga penting, guna mengawal perdamaian di Aceh yang telah berjalan selama 4 tahun lamanya. Kalau ini tidak dikawal, maka peluang timbulnya konflik akan semakin besar. Karena, seperti yang kita ketahui bersama bahwa konflik di Aceh bermula pada persoalan kesejahteraan dan keadilan sosial yang tidak dipenuhi oleh pemerintah, sehingga lahirlah gejolak konflik masyarakat yang lambat laun ini akan semakin besar. Konflik vertical tersebut terjadi cukup panjang pasca kemerdekaan.
Untuk menjaga semua itu, maka instrument HAM merupakan alat yang ideal dalam proses mengawal Perdamaian di Aceh. Remaja sudah selayaknya menjadi katalisator dalam proses ini. Remaja saat ini sudah selayaknya membekali diri mereka tentang pemahaman mengenai HAM secara mendalam. Agar mereka dapat mempromosikan HAM kepada masyarakat dengan baik, apabila masyarakat sudah cerdas dalam memahami tentang hak-hak dasar mereka dan dapat menghormati hak-hak individu orang lain, maka akan tercapai cita-cita perdamaian di Aceh.
Karena pada dasarnya, HAM juga menjadi salah satu konsep pemersatu bangsa, sehingga setiap orang, perkumpulan dan organisasi dapat menghargai haknya masing-masing. Dan HAM juga mengatur tentang kebebasan berpendapat, dimana secara konstitusional itu juga di atur didalam UUD 1945, dan seorang pun tidak boleh mengekang terhadap kebebasan orang lain dalam hal menyampaikan pendapat. Namun apabila hal ini tidak dipahami secara baik, maka yang terjadi adalah perilaku menindas sesama. Hal-hal penting semacam ini yang perlu kita jaga agar kehidupan masyarakat di aceh yang heterogen dapat berlangsung secara damai dan rukun. Isu-isu yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok kecil yang tidak menginginkan berlangsungnya perdamaian di Aceh harus segera diantisipasi, karena bisa berujung kepada perpecahan dan menjadi pemicu konflik di Aceh. Dan ini menjadi tugas kita semua, terutama kaum muda (remaja) dalam proses pengawalan perdamaian di Aceh.
Sehingga disini lagi-lagi dibutuhkan peran remaja dalam hal mempromosikan HAM secara luas demo menjaga kelangsungan demokrasi yang telah tercipta. Hal ini juga berpengaruh terhadap pembangunan infrastruktur yang akan berbanding lurus dengan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat di Aceh. Kalau hal ini dapat terwujud maka bukan tidak mungkin, lima atau sepuluh tahun lagi Aceh akan bangkit menjadi sebuah daerah yang maju dan modern di Indonesia. Wallahualam bisshawab.

REALITAS GERAKAN MAHASISWA SAAT INI

Oleh : Herlin
Indonesia memiliki sejarah yang sangat menarik terkait dengan mahasiswa. Gerakan intelektual ini memiliki peran besar dalam segala hal di Negeri ini. Yang dimulai sejak tahun 1908 hingga sekarang setidaknya gerakan mahasiswa telah mencapai umur lebih dari 100 tahun. Kita pun tak lupa berbagai prestasi yang diukir oleh mahasiswa, mulai dari Kemerdekaan Negara ini yang diawali bangkitnya kaum intelektual sampai yang masih ada dalam benak kita bahkan kita menjadi saksi di dalamnyua, peristiwa Reformasi 1998. Sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki peran yang strategis di Negeri ini. Seperti melakukan kritik dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah guna menjalankan fungsi sosial-politiknya.
Menurut Hussain Muhammad (1986) gerakan mahasiswa merupakan gerakan yang di golongkan kepada gerakan sosial. Beliau menyifatkan kedudukan dan peranan gerakan mahasiswa mempunyai konotasi dengan gerakan kolektif dalam mewujudkan perubahan dalam suatu masyarakat. Seementara itu menurut Jeffrey Haynes (sebagaimana di kutip dalam tulisan Touraine 1985) menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan pelaku yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial atau politik, bertujuan dengan strateginya memiliki hubungan sosial dan rasionalitas. Fungsi mereka tidak bisa ditafsirkan dalam logika tatanan kelembagaan yang ada, karena fungsinya yang seimbang benar-benar merupakan tantangan bagi logika dalam mentranformasikan hubungan sosial. Karena itu, gerakan sosial selalu menentang status quo, mereka anti sistem, menyerukan dan memadukan tuntutan akan perubahan tatanan sosial, politik dan ekonomi. Dengan demikian, gerakan sosial berusaha untuk mencapai perubahan tingkat tinggi.
Lebih lanjut Jeffrey Haynes menjelaskan bahawa ciri utama gerakan sosial menandingi dasar politik dengan negara, gerakan sosial ini tidak tumbuh dalam isolasi pelaku sosial dan politik, tetapi merupakan pelaku kolektif yang terorganisir dalam perjuangan politik atau kultur yang berkelanjutan melalui jalan aksi yang institusional dan ekstra-institusional. Walaupun tema yang diusung menentang status quo, bahkan jauh dari itu mereka secara kritis berusaha untuk membangun indentitas sosial baru, menciptakan ruang demokrasi bagi aksi sosial yang otonom dan menafsirkan kembali norma dan membentuk ulang lembaga-lembaga. Juga mereka berusaha untuk mengerakkan bagian-bagian dan kelompok-kelompok yang tertindas atau tereksploitasi dalam cara baru dan berbeda.
Menurut Arbi Sanit (1999) gerakan mahasiswa mempunyai peranan yang sangat besar untuk perubahan masyarakat. Mahasiswa selalu mengambil peran sebagai pelopor dalam setiap perubahan. Keinginan yang sangat besar untuk melakukan perubahan adalah sifat yang sudah melekat pada mahasiswa yang berpikir kritis. Bila kita lihat gerakan yang dilakukan oleh mahasiawa Indonesia pada Mei 1998 yang lalu jelaslah bahwa mahasiswa mampu melibatkan diri dalam proses politik dan perubahan politik. Walaupun harus diakui segala gerakan dan tindakan mereka tidak selamanya benar, akan tetapi apa yang telah dikritik dan dilakukan oleh mahasiswa kadangkala akan menyadarkan nurani masyarakat.
Namun belakangan ini, “taring” mahasiswa seolah sudah tumpul. Mereka tak lagi dapat melakukan peran-peran strategisnya. Kalau pun bisa hanya menjadi angin lalu saja, tanpa ada feedback atau hasil yang diharapkan. Bahkan kredo “mahasiswa takut kepada Dosen, Dosen takut kepada Rektor, Rektor takut kepada Presiden, Presiden takut kepada Mahasiswa” sudah tak relevan lagi. Inilah sebuah realita yang terjadi pada gerakan mahasiswa Indonesia saat ini. Gerakan mahasiswa seperti kehilangan orientasi dalam setiap kerjanya terutama pasca peristiwa 1998. Mereka ternyata masih larut dalam Euphoria 1998, tanpa bisa beradaptasi dengan segala perubahan yang telah terjadi.
Saat ini kita melihat bahwa gerakan mahasiswa saat ini cenderung larut dalam euforia 1998, bahkan yang parahnya lagi gerakan mahasiswa terfragmentasi oleh issue-issue sektoral. Tidak lagi solid dalam satu fokus isu utama dan syarat dengan nuansa kepentingan.
Berhadapan dengan hegemoni kekuasaan ini, mahasiswa harus rela melakukan “penyesuaian-penyesuaian” idealistik agar menjadi lebih realistik. Jika tidak, maka kepunahan mengambang di depan mata. Maka diiyakanlah munculnya proses dialektis. Dialektika yang terbangun dalam bermahasiswa kemudian banyak berimplikasi pada serupa apa bentukan-bentukan intelektual dan kualitas luaran perguruan tinggi.
Tradisi belajar mahasiswa pada kenyataannya saat ini, mengalami pergeseran-pergeseran makna. Dari pahaman ideal bahwa keseluruhan proses bermahasiswa merupakan kesatuan pembelajaran (masuk kuliah di kelas, diskusi di kantin hingga kencan di taman baca), menjadi terbatas hanya pada ceramah-ceramah formal dosen di kelas, absensi, hingga tugas-tugas yang tidak kontekstual.
Pergeseran makna belajar inilah yang akhirnya banyak melahirkan generasi baru “mahasiswa simbolik” atau “mahasiswa virtual” – ada dalam status sebagai “mahasiswa”, tetapi tidak maujud dalam realitas sesungguhnya. Simbol kemahasiswaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya sebagai benar-benar mahasiswa.
Tetapi tidak sedikit juga sebenarnya kelompok mahasiswa yang masih tetap membudayakan statusnya sebagai keseluruhan proses pembelajaran. Mereka yang, dengan harus menanggung konsekuensi yuridis akibat pembangkangan atas aturan, masih mampu bertahan dalam tradisi yang merdeka untuk mengetahui dan mengerti hidup, dengan jalan apa saja – berorganisasi, berpetualang, berjalan-jalan, bakti sosial dan sebagainya.
Secara bersamaan, kelompok mahasiswa yang kedua ini menghadapi sejumlah benturan. Selain konsekuensi secara akademis, pun secara sosial mengundang banyak tanya tentang keberpihakan: siapa sebenarnya yang layak disebut “mahasiswa”; yang taat aturan-kah atau yang memerdekakan dirinya dari aturan tersebut-kah?
Pertanyaan antara siapakah yang bermahasiswa: yang belajar rutin di ruang kuliah-kah atau mereka yang banyak luangkan waktunya berdiskusi di taman-taman baca-kah? Tak jarang, secara psikologis fenomena ini membuat disparitas yang sangat demarkatif antara dua kelompok anutan di atas.
Pada kenyataannya, jenis kesadaran baru mulai mendesak muncul, perlahan menggantikan persepsi keidealan “mahasiswa”, mengkonstruk pengertian bahwa bermahasiswa adalah bagaimana bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat dan setelah sarjana dapat pekerjaan layak. Ini mulai mewabah menyusul semakin tidak berpihaknya sistem pembelajaran dan kurikulum pendidikan di negara kita. Wajar kalau kemudian, tradisi belajar dengan segala dinamikanya, banyak berpengaruh dalam membangun seperti apa prototipe gerakan kemahasiswaan saat ini.
Tak terkecuali, pergeseran prototipe gerakan mahasiswa juga didasari oleh sejauh mana evolusi pengertian belajar di kalangan mahasiswa itu sendiri.
Idealisme yang terbangun saat menjalani proses bermahasiswa – asal tidak terjajah oleh sistem pendidikan mekanistik dan newtonian saat ini, menjadi senjata pamungkas dalam menggerakkan sejumlah potensi yang dimiliki mahasiswa. Yang lebih konkrit adalah basis massa yang begitu besar di negara kita.
Penyikapan atas tirani yang mengangkangi rakyat atau atas ketidakadilan sosial – seperti yang jamak dicatat sejarah – banyak terbangun atas solidaritas intelektual yang dikuatkan oleh masih besarnya irritabilitas sosial yang dimiliki mahasiswa. Tetapi kuantitas dan kualitas pergerakan mahasiswa ini, kemudian menunjukkan grafik massifitas yang menurun seiring dengan semakin menguatnya hegemoni kekuasaan dalam kampus.
Relatif berbeda dengan masa lalu, saat mana kampus selalu menjadi satu suara untuk rakyat, baik itu birokrat, dosen maupun mahasiswanya. Pergeseran tradisi pembelajaran secara signifikan kini telah berhasil menutup ruang-ruang kreatifitas mahasiswa dalam membangun pergerakan akibat sempitnya kesempatan aktualisasi. Birokrat kampus malah menjadi musuh bersama karena menjadi kaki tangan tirani. Dan cenederung mengekang kebebasan berekspresi mahasiswa melalui bentuk regulasi yang dibuatnya.
Tak jarang juga terjadi, sebagian dosen, bahkan akhirnya menjadi rival bagi mahasiswa, khususnya dalam proses yang menunjukkan keberpihakannya terhadap pembelaan mahasiswa atas realitas sosial yang terjadi, saat diperhadapkan dengan kepentingan akademik yang diasuhnya.
Kondisi di atas semakin diperparah oleh menjangkitnya ideologi kapitalisme dalam benak sebagian besar masyarakat kita. Budaya instan menjadi warna harian yang selalu kita saksikan, menyerang siapa saja, tak terkecuali mahasiswa. Hampir seluruh sendi-sendi masyarakat digerogoti virus yang bernama materialisme, termasuk dunia mahasiswa. Sehingga menyebabkan gerakan mahasiswa menjadi semakin lemah.
Gerakan mahasiswa yang saat ini banyak dikemas dalam bentuk aksi massa, mobilisasi massa, extra-parliament movement cenderung mulai menurun intensitasnya, kalaupun ada cenderung tanpa memperhatikan efektifitas atau goal yang dituju. Pemahaman tentang tri dharma perguruan tinggi yang dicekoki oleh para senior-seniornya di kampus melalui ospek akan menjadi sia-sia tanpa adanya follow up. Doktrin tentang idealisme kepada mahasiswa-mahasiswa baru juga sangat minim bahkan cenderung nihil, sehingga sikap apatisme mahasiswa semakin bertambah. Jangankan untuk melihat kondisi sosial masyarakat, untuk melihat dan mengkritisi sekelilingnya saja, misalnya kampus tidak pernah mereka lakukan. Belum lagi tekanan dari pihak rektorat yang kadang-kadang cenderung mengkebiri hak-hak mahasiswa dalam meyampaikan aspirasi melalui berbagai kebijakan akademik yang sangat ketat. Di tingkat kampus, ormawa-ormawa yang ada tidak memberikan banyak manfaat terhadap perkembangan pemikiran kritis mahasiswa. Bahkan ormawa-ormawa itu sendri terlalu larut dalam buaian program-program seminar, dan lebih ahli dalam membuat proposal karena orientasinya adalah untuk mendapatkan sedikit recehan dari hasil kegiatan (program).
Gerakan mahasiswa makin hari cenderung semakin lemah, proses kaderisasi ditingkat mahasiswa juga minim, akibatnya rantai gerakan yang dibangun menjadi putus, tidak kontinyu, karena kurangnya penanaman nilai-nilai kritis mahasiswa terhadap kondisi social. Pada puncaknya akan melahirkan mahasiswa yang apatis yang tidak peduli terhadap persoalan social, serta akan terjebak dalam budaya hedonisme.
Rekonstruksi ulang terhadap gerakan mahasiswa saat ini sudah saatnya dilakukan, mengingat transformasi budaya dan perubahan iklim politik yang begitu cepat serta pertumbuhan laju pembangunan, yang harus selalu dikontrol secara social oleh mahasiswa. Disinilah peran mahasiswa untuk bisa menjadi agent of control yang sebenarnya. Kegiatan yang bersifat edukatif dan pengembangan dalam bentuk membaca dan berdiskusi, bakti social serta berorganisasi merupakan salah satu contoh yang efektif dalam membangun kerangka berpikir kritis. Sehingga mahasiswa tidak lagi terjebak dengan budaya hura-hura atau budaya hedonisme yang tidak membawa manfaat justru lebih banyak membawa dampak negatif.
Untuk itu mari kita “Rekonstruksi” gerakan ini!. Karena hanya ada dua pilihan bagi anda para mahasiswa, “mencetak sejarah, atau digilas oleh sejarah karena hanya menjadi penonton”. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat!!!

MEMBONGKAR IDENTITAS MAHASISWA SEBAGAI SOSIAL KONTROL

Oleh : Herlin
Mahasiswa, sebuah kelas social yang hari ini kembali dipertanyakan eksistensinya, hangar-bingar teriakan reformasi “98” oleh kaum intelektual di zamannya merupakan sebuah saksi sejarah dimana pada saat itu kaum intelektual mempunyai posisi yang dominant dalam struktur social dan politik serta mendapat tempat di hati masyarakat ketika proses perubahan system yang diharapkan itu terwujud dengan jatuhnya rezim orba yang telah berkuasa secara otoriter selama 32 tahun lamanya. Namun kini, semua itu menjadi kenangan sebuah kenangan manis yang masih tersisa dan tenggelam seiring perjalanan waktu. Saat ini, mahasiswa hanya sebuah label yang ditambalkan bagi seorang yang menuntut ilmu demi mendapatkan selembar ijazah dan sebuah gelar “sarjana”, tidak lebih dari itu. Sedangkan fungsinya sebagai control social tidak pernah lagi kita lihat bahkan kita rasakan saat ini.
Bila kita tilik lebih jauh, selama ini terjadi diferensiasi sosial di dalam tubuh mahasiswa, pada awalnya pola pemikiran kritis serta peka terhadap kondisi social yang selama ini telah dicontohkan oleh para founding father negeri. Mahasiswa telah kehilangan sejarahnya.
Padahal para founding father negeri ini telah berpikir kritis sejak mereka menjadi mahasiswa dan mereka sudah mulai berpikir untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa. Mereka punya daya tahan yang kuat terhadap tekanan baik secara fisik dan psikologi pada saat menghadapi penjajah demi tujuan memperjuangkan bangsanya menuju kesejahteraan rakyat. Mereka dekat dengan rakyat-rakyat kecil, kelas buruh, dan eksponen-eksponen sipil lain yang belum mapan.

Namun kondisi itu sekarang tidak lagi kita temui, kalaupun ada, hanya segelintir mahasiswa yang masih punya semangat dan jiwa revolusioner, sementara yang lain terjebak dalam budaya hedonisme yang tidak jelas ujung-ujungnya. Seakan-akan mahasiswa tidak lagi mempunyai tanggung secara sosial dan moral terhadap kondisi masyarakat secara keseluruhan. Padahal, kalau mau kita kupas lebih jauh, peran sentral mahasiswa terhadap perubahan merupakan hal yang sangat penting dan ditunggu-tunggu oleh rakyat.

Padahal, kalau kita lihat secara histories mahasiswa sebagian besar dari desa, nah ada tradisi yang kebersamaan yang kental di desa, misalnya adanya prinsip gotong royong ketika ada event-event tertentu di desa, kemudian ketika masuk ke kampus semangat kebersamaan yang telah dibangun itu bukannya malah hilang, namun bisa dipupuk lebih baik lagi, agar semangat ini tumbuh dengan subur dan dapat menjadi ruh terhadap perubahan, namun sayangnya hal ini tidak bisa terwujud dikarenakan adanya disorientasi historis ketika mereka masuk kampus.

Kampus juga memiliki organisasi-organisasi kemahasiswaan, yang sejatinya tujuan-tujuan organisasi mahasiswa adalah bagaimana bisa mendorong budaya kritis mahasiswa, wadah bagi mahasiswa untuk berdiskusi dan mengembangankan kemampuan intelektualitasnya dalam melihat persoalan social baik di kampus maupun di luar kampus, namun sayangnya hal ini jarang sekali terjadi dan hampir mustahil kita temui.

Selama ini bisa kita lihat dikampus berbagai macam aktivitas mahasiswa yang cenderung terkesan tidak bermanfaat bagi rakyat secara keseluruhan, misalnya seminar-seminar, pelatihan-pelatihan dan berbagai macam lokakarya yang tidak mencapai ending sesuai harapan, padahal kalau kita lihat dari judul kegiatannya sangat menarik dan terkesan konstekstual, namun sampai pada akhirnya kegiatan yang dibiayai oleh dana kampus yang bersumber dari mahasiswa maupun dari APBN atau APBK tidak pernah mencapai out put yang diharapkan dan tidak membawa dampak apapun demi perubahan. Semangat yang dibangun juga bukan untuk mengembangkan intelektualitas, namun hanya untuk mencari sedikit keuntungan materi dari proposal-proposal yang buat ketika akan membuat program-program yang saya sebutkan tadi.

Kalau kita mau jujur melihat, bahwa sebenarnya anggaran public yang dihabiskan oleh mahasiswa untuk membuat kegiatan-kegiatan seremonial tersebut dipertanggung jawabkan secara public, mengingat prinsip dari penggunaan keuangan Negara harus transparan dan akuntabel. Kalau tidak, berarti mahasiswa juga telah memulai untuk melakukan korupsi sejak dini, dan akhirnya kampus hanya akan melahirkan intelektual-intelektual yang koruptif.

Semangat tersebut seharusnya harus dihindari, mengingat mahasiswa merupakan agent of change atau social control yang mempunyai tanggung jawab social yang besar terhadap arah pembangunan bangsa ke depan. Setiap rezim yang berkuasa tidak semuanya sempurna, nah ketidaksempurnaan itu seharusnya dikritisi oleh mahasiswa dengan berbagai metode, bukan malah ikut-ikutan masuk ke dalam system tanpa ada tujuan untuk memperbaiki dan merubahnya.

Saat ini mahasiswa telah lalai dengan tanggung jawabnya secara moral, mereka terhegemoni oleh system dan kekuasaan yang berlaku. Walaupun buruk, mahasiswa hanya mengikuti saja dan terkesan tidak punya nilai tawar lagi. Ini terjadi akibat apa? Akibat dari ketidakpedulian mahasiswa terhadap kondisi objektif dan fenomena yang terjadi. Kekuatan mahasiswa secara massif hari ini tidak mampu lagi di bangun, sehingga yang terjadi adalah terpecahnya kekuatan mahasiswa menjadi berbagai kubu-kubu, yang kemungkinan ini bisa dimanfaatkan oleh segelintir elit-elit kepentingan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Semangat solidaritas dan persatuan mahasiswa sangat mempengaruhi terhadap perubahan yang akan di capai, tanpa adanya dua hal tersebut akan sangat sulit mencapai perubahan itu, mengingat dinamika politik dan social yang selama ini dibangun telah secara massif dimanfaatkan dan digunakan oleh segelintir elit-elit politik. Kondisi ini dipengaruhi oleh sikap apatis mahasiswa selama ini, kecenderungan tidak perduli terhadap kondisi yang sedang terjadi akan memberikan kontribusi yang negative bagi proses pembangunan.

Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa telah kehilangan identitasnya akibat dari sikap hedonis, apatis, dan rasa solidaritas yang semakin hari semakin menurun dan sangat tidak ekuivalen dengan kecerdasan serta intelektualitas yang diagung-agungkan selama ini. Kecerdasan dan intelektualitasnnya tidak lagi dibarengi dengan kepekaan social yang tinggi. Untuk merubah itu semua, maka itu perlu ada sebuah formula barumengenai orientasi mahasiswa yang sebenarnya.

Ada beberapa solusi yang di tawarkan atas persoalan di atas yaitu : Yang pertama, membangun budaya kritis mahasiswa dimulai pada saat mahasiswa itu pertama kali masuk ke kampus melalui berbagai mekanisme, bisa melalui ospek dll. Yang kedua, civitas akademika yang lain misalnya dosen juga memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk berfikir dan bersikap kritis terhadap perkembangan social dalam rangka mengaktualisasikan ilmu hal ini bisa dilakukan disela-sela memberikan materi perkuliahan. Yang ketiga, mahasiswa juga seharusnya meningkatkan aktivitas-aktivitas ilmiahnya yaitu membaca dan berdiskusi tidak mesti harus disesuaikan dengan bidang ilmu yang ditekuni, sejauh itu masih menyangkut persoalan social, ekonomi dan politik. Yang keempat, mahasiswa tidak membatasi diri dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan lembaga-lembaga di luar kampus seperti organisasi mahasiswa ekstra kampus, LSM, praktisi dll, karena peluang ilmu yang didapat bisa saja lebih besar daripada di kampus. Yang kelima, mahasiswa harus sering melakukan penelitian terhadap kondisi masyarakat secara langsung, agar bisa mengetahui dan menilai secara objektif kondisi social masyarakat. Yang keenam, organisasi mahasiswa internal kampus seperti BEM, DPM, dan UKM-UKM harus mampu menjadi mediator bagi pengembangan intelektualitas dan budaya kritis mahasiswa, sesuai dengan fungsi dan keberadaannya di dalam kampus.
***Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh sekaligus
Anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh (FKMA)***

POLITIK HUKUM

Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :
1. Satjipto Rahardjo
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum
dan penerapannya.
3. L. J. Van Apeldorn
Politik hukum sebagai politik perundang – undangan .
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.
5. Moh. Mahfud MD.
Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a) Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland
Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu. Politik hukum merupakan salah satu cabang atau bagian dari ilmu hukum, menurutnya ilmu hukum terbagi atas :
1. Dogmatika Hukum
2. Sejarah Hukum
3. Perbandingan Hukum
4. Politik Hukum
5. IlmU Hukum Umum
Sedangkan keseluruhan hal diatas diterjemahkan oleh Soeharjo sebagai berikut :
1. Dogmatika Hukum
Memberikan penjelasan mengenai isi ( in houd ) hukum , makna ketentuan – ketentuan hukum , dan menyusunnya sesuai dengan asas – asas dalam suatu sistem hukum.
2. Sejarah Hukum
Mempelajari susunan hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan peranan terhadap pembentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti penting apabila kita ingin memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku sekarang .
3. Ilmu Perbandingan Hukum
Mengadkan perbandingan hukum yang berlaku diberbagai negara , meneliti kesamaan, dan perbedaanya.
4. Politik Hukum
Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru didalam kehidupan masyarakat.
5. Ilmu Hukum Umum
Tidak mempelajari suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu sebagai suatu hal sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Ilmu Hukum umum berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian perihal hukum , kewajiban hukum , person atau orang yang mampu bertindak dalam hukum, objek hukum dan hubungan hukum. Tanpa pengertian dasar ini tidak mungkin ada hukum dan ilmu hukum.

Berdasarkan atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan , maka objek ilmu politik hukum adalah “ HUKUM “.
Hukum yang berlaku sekarang , yang berlaku diwaktu yang lalu, maupun yang seharusnya berlaku diwaktu yang akan datang.

Yang dipakai untuk mendekati / mempelajari objek politik hukum adalah praktis ilmiah bukan teoritis ilmiah.
)Penggolongan lap Hukum yang klasik/tradisional dianut dalam tata hukum di Eropa dan tata hukum Hindia Belanda :
1. Hukum Tata Negara
2. Hukum Tata usaha
3. Hukum Perdata
4. Hukum Dagang
5. Hukum Pidana
6. Hukum Acara
 Lapangan Hukum Baru :
1. Hukum Perburuhan
2. Hukum Agraria
3. Hukum Ekonoimi
4. Hukum Fiskal
Pembagian Hukum secara tradisional antara lain : Hukum Nasional terbagi mejadi 6 bagian diantaranya :
a. Hukum Tata Negara
b. Hukum adminitrasi Negara
c. Hukum Perdata
d. Hukum Pidana
e. Hukum Acara Perdata
f. Hukum Acara Pidana
Hukum Nasional tradisional Mengandung “ Ide ”, “ asas ”, “ nilai “, sumber hukum ketika semua itu dijadikan satu maka disebut kegiatan POLITIK HUKUM NASIONAL.
.

I. RUANG GERAK POLITIK HUKUM SUATU NEGARA
Adanya Politik Hukum menunjukkan eksistensi hukum negara tertentu , bergitu pula sebaliknya, eksistensi hukum menunjukkan eksistensi Politik Hukum dari negara tertentu.
II. POLTIK HUKUM KEKUASAAN DAN WARGA MASYARAKAT
Politik Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para warga masyarakat . Di lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir menyatu dengan penggunaan kekuasaaan didalam kenyataan. Untuk mengatur negara , bangsa dan rakyat. Politik Hukum terwujud dalm seluruh jenis peraturan perundang – undangan negara.

III. LEMBAGA – LEMBAGA YANG BERWENANG
Montesquieu mengutarakan TRIAS POLITICA tentang kkuasaan negara yang terdiri atas 3 ( tiga ) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, antara lain :
a) Eksekutif
b) Legislatif
c) Yudikatif
Yang berfungsi sebagai centra – centra kekuasaaan negara yang masing – masing harus dipisahkan. Dalam kaitanya dengan Poliik Hukum yang tidak lain tidak bukan adalah penyusunan tertib hukum negara . Maka ketiga lembaga tersebut yang berwenang melakukannya.

REGIONALISME
Berasal dari kata “ Region” yang berarti “ daerah bagian dari suatu wilayah tertentu “. Dewasa ini regionalisme diartikan bagian dari dunia , yang meliputi beberapa negara yang berdekatan letaknya , yang mempunyai kepentingan bersama. Dengan kata lain Regionalisme adalah Suatu kerjasama secara kontinue antara negara – negara di dunia. Pada dasarnya Regionalisme sudah ada sejak dahulu kala seperti Regionalisme antara negara – negara SKANDINAVIA yang terdiri dari Swedia, Norwegia , dan Denmark. Begitu pula dengan BENELUX yang terdiri dari Belgia , Nederland dan Luxsemburg. Mereka bekerjasam dalam satu ikatan , namun perlu diketahui bahwa contoh – contoh diatas kurang mempunyai pengaruh terhadap Politik Hukum dunia. Keduanya tidak dianggap terlalu penting , lain halnya dengan NATO yang terdiri dari batasan negara Eropa Barat masih ditambah lagi dengan Turki dan Canada. Mereka punya pengaruh besar terhadap Politik Hukum negara – negara didunia dibandingkan dengan BENELUX.

TATA TERTIB DUNIA
Ada pemahaman yang baru mengenai ruang gerak bahwa Politik Hukum itu sendiri itu dinamis. Bersama dengan laju perkembangan jaman , maka ruang gerak Politik Hukum tidak hanya sebatas negara sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas negara hingga ke tingkat Internasional.
Menrut pendapatnya Sunaryati Hartono , Politik Hukum tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita dan di lain pihk. Sebagai salah satu anggota masyarakat dunia ,maka Politik Hukum Indonesia tidak terlepas pula dari Realita dan politik Hukum Internasional.


Kalau kita kaji antara POLITIK HUKUM dan ASAS-ASAS HUKUM maka akan terlihat konsep sebagai berikut :
• Politik Hukum di negara manapun juga termasuk di Indonesia tidak bisa lepas dari asas Hukum.
• diantara asas”itu terhadap asas yang dijadikan sumber tertib hukum bagi suatu negara.
• Asas hukum yang dijadikan sumber tertib Huykum/dasar Negara di sebut : GRUND NORM
• Di Indonesia yang dijadikan dasar negara adalah PANCASILA
• Asas hukum yang dijadikan dasar negara ini merupakan hasil proses pemikiran yang digali dari pengalaman Bangsa Indonesia sendiri; bukan diambil dari hasil perenungan belaka; bukan hal yang sekonyongkonyong masuk kedalam pemikiran masyarakat Indonesia tetapi :
1. ada yang bersifat Nasional
2. ada yang lebih khusus lagi seperti : kehidupan agama,suku,profesi, dll.
3. ada yang merupakan hasil pengaruh dari sejarah dan lingkungan masyarakat dunia.

B. KERANGKA LANDASAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Negara RI lahir dan berdiri tanggal 17 Agustus 1945,proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut merupakan detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional ( Tatanan Hukum Nasional ).


C. MUNCULNYA POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Muncul pada tanggal 17 Agustus 1945 ,yaitu saat dikumandangkannya Proklamasi, bukan tanggal 18 Agustus 1945 saat mulai berlakunya konstitusi / hukum dasar negara RI.

D. SIFAT POLITIK HUKUM
Menurut Bagi Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam bukunya yang berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa Politik Hukum terdiri dari
a. Politik Hukum yang bersifat tetap ( permanen )
Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakkan hukum.
Bagi bangsa Indonesia , Politik Hukum tetap antara lain :
i. Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional.
Setelah 17 Agustus 1945, maka politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional , artinya telah terjadi unifikasi hukum ( berlakunya satu sistem hukum diseluruh wilayah Indonesia ). Sistem Hukum nasional tersebut terdiri dari:
1. Hukum Islam ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya)
2. Hukum Adat ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya )
3. Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematikanya)
ii. Sistem hukum nasional yang dibangun berdasrkan Pancasila dan UUD 1945.

iii. Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan pada suku , ras , dan agama. Kalaupun ada perbedaan , semata – mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka keasatuan dan persatuan bangsa.
iv. Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum , sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum .
v. Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
vi. Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.
vii. Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum ( keadilan sosial bagi seluruh rakyat ) terwujudnya masyarakat yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan konstitusi.
2. Politik Hukum yang bersifat temporer.
Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan .

E. CARA YANG DIGUNAKAN
Di Indonesia cara – cara yang digunakan untuk membentuk politik hukumnya tidak sama dengan cara – cara yang digunakan oleh:
• Negara Kapitalis
• Negara Komunis
• Negara yang fanatik religius
Tetapi menghindari perbedaan – perbedaan yang mencolok dan cara – cara yang ekstrim untuk mencapai keadilan dan kemakmuran , menolak cara – cara yang dianggap tepat oleh paham:
• Negara Kapitalis
• Negara Komunis
• Negara yang fanatik religius
Ketga cara ini merupakan cara yang ekstrim:
• Kapitalis
Menganggap bahwa manusia perorangan yang individualis adalah yanhg paling penting.
• Komunisme
Menganggap bahwa masyarakat yang terpenting diatas segalanya
• Fanatik religius
Merupakan realita bahwa manusia hidup di dunia ini harus bergulat untuk mempertahankan hidupnya ( survive ) , maka Politik Hukum kita pasti tidak akan menggunakan cara – cara kapitalis, komunis, dan fanatik religius.

F. SISTEM HUKUM NASIONAL
Hukum nasional suatu negara merupakan gambaran dasar mengenai tatanan hukum nasional yang dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Bagi Indonesia , tatanan hukum nasional yang sesuai dengan masyarakat Indonesia adalah yang berdasarkan Pancasila dengan pokok – pokoknya sebagai berikut :
1. Sumber dasar Hukum Nasional
Adalah kesadaran atau perasaan hukum masyarakat yang menentukan isi suatu kaedah hukum. Dengan demikian sumber dasar tatanan hukum Indonesia adalah perasaan hukum masyarakat Indonesia yang terjelma dalam pandangan hidup Pancasila. Oleh karena itu dalam kerangka sistem hukum Indonesia , Pancasila menjadi sumber hukum ( Tap MPRS No. XX/ MPRS / 1966 ).
2. Cita – cita hukum nasional
Dalam penjelasan UUD 1945 , dinyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 memuat pokok – pokok pikiran sebagai berikut :
1) Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan.
2) Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3) Negara yang berkedaulatan rakyat , berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
4) Negara berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Politik Hukum Nasional

Politik hukum yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan erat dengan wawasan nasional bidang hukum yakni cara pandang bangsa Indonesia mengenai kebijaksanaan politik yang harus ditempuh dalam rangka pembinaan hukum di Indonesia. Adapun arah kebijaksanaan politik dibidang hukum ditetapkan dalam GBHN.
Dalam TAP MPR dibawah ini terdapat politik hukum Indonesia yang menyangkut GBHN, antara lain:
a. TAP MPR No. 66 / MPRS / 1960
b. TAP MPR No. IV / MPR / 1973
c. TAP MPR No. IV / MPR / 1978
d. TAP MPR No. II / MPR / 1983
e. TAP MPR No. II / MPR / 1988
f. TAP MPR No. II / MPR / 1993
g. TAP MPR No. X / MPR / 1998
Tentang Pokok – pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sebagai haluan negara “.
h. TAP MPR No. VIII / MPR / 1998
Mencabut TAP MPR No. II / MPR/ 1998
i. TAP MPR No. X / MPR / 1998, tentang GBHN
j. Tap mpr No. IV / MPR / 1999 tentang GBHN 1999 sampai dengan 2004.



POLITIK HUKUM SEBAGAI ILMU
a.1. Batasan / Definisi Politik Hukum

Sesungguhnya ada banyak definisi yang diberikan oleh para ahli. Pada definisi-definisi yang diberfikan tersebut ternyata ada perbedaann batasan tentangf politik hukum.

Politik Hukum Perundang-undangan :
1.Tertulis adalah Undang-undang yang bersifat Permanen.
2. Tidak tertulis adalah Kebijakan Publik (bisa berubah “setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan keadaan”)
Sehingga keadaan dan kebutuhan yang berubah-ubah inilah yang menyebabkan pembicaraan Politik Hukum menjadi sangat kompleks, sebab antara kebutuhan dan keadaan suatu negara dengan negara lain bisa berbeda, waktu lalu bisa berbeda dengan waktu sekarang.

a.2. Ruang Lingkup Politik Hukum
Ruang Lingkup artinya situasi/tempat/faktor “lain yang berada di sekitar Politik Hukum yang berlaku sekarang, Hukum yang suidah berlaku dan Hukum yang akan berlaku.

a.3. Obyek Politik Hukum

Obyek yang dipelajari dalam Politik Hukum adalah Hukum-hukum yang bagaimana itu bisa berbeda-beda atau Hukum ini dihubung atau dilawankan dengan Politik.

a.4. Ilmu Bantu Politik Hukum
Yang dimaksud Ilmu bantu disini adalah Ilmu yang dipakai dalam mendekati/mempelajari Politik Hukum baik berupa konsep, “teori” dan penelitian. Sosiologi hukum dan Sejarah Hukum dalam hal ini sangat membantu dalam mempelajari Politik Hukum.

a.5. Metode Pendekatan Politik hukum
Metode adalah cara dalam mempelajari Politik Hukum Empirik adalah kenyataan (secara praktis untuk mendekati Politik Hukum adalah dengan melihat Konstitusi Negara)


POLITIK HUKUM LAMA
Politik Hukum Lama, di jalankan pada masa pemerintahan Hindia, Belanda, diawali sejak kedatangan atau zaman pemerintahan Hindia Belanda yang menerapkan asas Konkosedansi yaitu: menerapakn hubungan yang berlaku di Belanda berlaku juga di Hindia Belanda.
Di Hindia Belanda selain berlaku hukum adat dan Hukum Islam.
Sejak pendudukan penjajahan Belanda sampai dengan Indonesia merdeka tidak ada asvikasi hukum. Kalau menang Belanda berupaya untuk melakukan asifikasi (memberlakukan satu hukum untuk seluruh Rakyat di seluruh wilayah negara) tidak berhasil jug.
Asas Konkordansi
Yaitu pemberlakuan hukum Belanda disebuah wilayah Hindia Belanda.
Unifikasi Hukum adalah berlakunya suatu hukum di suatu wilayah negara untuk seluruh paalnya.
Kenapa hukum Islam masih berlaku ? karena sebagian besar pelakunya adalah beragama Islam.
Tetapi masuk terdapat orang-orang Indonesia yang tidak bulat “membela pemikiran barat”. A.c. Hamengku Buwono IX yang tetap mempertahankan Budaya Timur dengan menyatakan: jiwa barat dan timur dapat dilakukan dan bekerja sama secara ekonomomis tanpa harus kehilangan kepadiannya masing-masing. Selama tidak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam mator yang kay7a dalam tradisi.
Pandangan politik hukum penjajah Belanda di Hiondia Belanda;
1. secara keseluruhan politik hukum Belanda sama isinya dengan politik hwed untuk tanah atau aja hanya di Hindia Belanda.
2. panangan politik Hukum Belanda sama dengan politik umum dan politik hukum dari hampir smua orang Eropa dan orang negara baratt trhadap daerah timur yang mereka jajah.
3. umumnya daerah yang dapat mereka kuasai; Daerah di Afrika dan Asia.
4. dikatakan oleh mereka, kebudayaan barat, tinggi, baik, mul;ia,sedangkan kebudayaan timur rendah terbelakang, primitif, sangat bergantung pada alam.
5. orang yang berpegang pada kebudayaan barat maju sedangkan yang berpegang pada timur ketinggalan zaman.
6. pendidikan mereka memandang pendidikan asli rendah, pendidikan Islam rendah dapat dilihat pada daerah jajahan Inggris, perancis, Belanda.
7. Usaha penjajah Belanda memaksakan sistem kebudayaan ke Hindia Belanda berhasil sehingga pemikiran sebagian bangsa Indonesia berpihak pada penjajah Belanda atau Barat.
8. Jadi terjadi dikotomi timur dan Barat.


UNIFIKASI JAMAN PENJAJAHAN DI HINDIA BELANDA

Terlihat adanya usaha unifikasi melalui tahap tersebut pada masa penjajahan di Hindia Belanda antara lain; dalam bidang hukum dagang dan lalu lintas ekonomi, dengan tujuan utamanya adalah keinginan pemberlakuan hukum Belanda bagi seluruh orang di Hindia Belanda caranya ialah:
1. memulai memberlakukan peraturan-peraturan yang disusun oleh pemerintah Belanda itu untuk orang Belanda dan Eropa sendiri.
2. Kemudian memberlakukan Hukum Belanda pada orang yang menunjukkan dii dengan sukarela kepada hukum Belanda.
3. selanjutnya baru memberlakukan Hukum Belanda untuk orang yang dipersamakan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan orang-orang Belanda.

UNIFIKASI MASA INDONESIA MERDEKA

1. dizaman Indonesia merdeka maka tahap tertentu seperti diatas tak diperlukan memberlakukan suatu hukum gak tetap untuk yang lain atau menundukkan diri kepada kepada hukum tertentu tidak diperlukan lagi dalam hukum pemerintahan hukum di Indonesia merdeka, teutama dalam tindak hukum lalu lintas ekonomi dan keuangan baik untuk semua bangsa Indonesia sediri apalagi dalam hubungan dengan bangsa lain.
2. Khusus untuk sesama bangsa Indonesia terhadap kemungkinan memberlakukan pertahanan hukum bagi kekhususan orang Indonesia.
Menyangkut bidang yang disebut untuk dewa sesuai dengan bidang yang netral, tidak sulit mengunifikasikannya misal; KUHAP, tidak sulit dalam hak ;
1. Perasaan dan pemikiran anggota masyarakat untuk menyatukan peraturan-peraturannya.
2. sedangkan mengenai isinya tetap menghadapi kesulitan yang tak terhingga, misal bidang perdagangan dalam perdata yang berhubungan dengan perjanjian, bidang ini sudut isinya tetap tidak sangat sulit perasaan anggota masyarakat untuk menyatukannya.
3. mungkin di mintakan masukan yang diperlukan oleh pihak yang merasa bersangkutan dengan masalahnya, hal yang diangkat tersulit dalam dalam bidang hukum yang berhubungan dengan rasa kepercayaan keagamaan. Misalnya; bidang kekeluargaan, namun untuk bidang ini ini telah di rumus dengan suatu idang hukum yang berat.
KODIFIKASI

Menurut teori ada 2 macam kodifikasi hukum, yaitu ;
1. Kodifikasi terbuka
Kodifikasi terbuka adalah kodifikasi yang membuka diri terhadap terdapatnya tambahan – tambahan diluar induk kondifikasi. Pertama atau semula maksudnya induk permasalahannya sejauh yang dapat dimasukkan ke dalam suatu buku kumpulan peraturan yang sistematis,tetapi diluar kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan di luar kumpulan peraturan itu isinya menyangkut permasalahan – permasalahan dalam kumpulan peraturan pertama tersebut. Hal ini dilakukan berdasarkan atas kehendak perkembangan hukum itu sendiri sistem ini mempunyai kebaikan ialah;
“ Hukum dibiarkan berkembang menurut kebutuhan masyarakat dan hukum tidak lagi disebut sebagai penghambat kemajuan masyarakat hukum disini diartikan sebagai peraturan “.

2. Kodifikasi tertutup
Adalah semua hal yang menyangkut permasalahannya dimasukan ke dalam kodifikasi atau buku kumpulan peraturan.
Cacatan;
Dulu kodifikasi tertutup masih bisa dilaksanakan bahkan tentang bidang suatu hukum lengkap dan perkasanya perubahan kehendak masyarakat mengenai suatu bidang hukum agak lambat. Sekarang nyatanya kepeningan hukum mendesak agar dimana-mana yang dilakukan adalah Kodifikasi Terbuka.
Isinya;
1. Politik hukum lama
2. Unifikasi di zaman Hindia Belanda (Indonesia) gagal
3. Penduduk terpecah menjadi;
a. penduduk bangsa Eropa
b. Penduduk bangsa Timur Asing
c. Pendudk bangsa pribadi (Indonesia)
4. pemikiran bangsa Indonesia terpecah-pecah pula.
5. Pendidikan bangsa indonesia:
a. Hasil Pendidikan Barat.
b. Hasil Pendidikan Timur


POLITIK HUKUM BARU

Politik hukum baru di Indonesia muali pada tanggal 17 Agustus 1945 (versi Indonesia). Kemerdekaan Indonesia Belanda adalah; 19 desember 1949 yaitu sewaktu adanya KMB di Denhaag (Belanda).

Apa syarat untuk membuat atau membentuk Politik Hukum sendiri bagi suatu negara;
1. Negara tersebut negara Merdeka.
2. Negara tersebut yang mempunyai Kedaulatan keluar dan kedalam
• Kedaulatan keluar ; Negara lain mengakui bahwa Negara kita merdeka.
• Kedaulatan kedalam; Kedaulatan Negara diakui oleh seluruh Warga Negara.
3. Ada keinginann untuk membuat hukum yang tujuannya untuk mensejahterakan Masyarakat.

Sumber-sumber hukum bagi Politik antaralain ;
1. Konstitusi
2. Kebajiakan (tertulis atau undang-undang)
3. Kebijakan tidak tertulis atau tidak.
Antara lain :
1. UUD 1945 ~ suppel tapi
2. Perbidang atau perlapangan hukum
- perdata,pidana, dagang,tata usaha negara, tata negara.
@ Persektor
- ex : di sektor ekonomi, ketenaga kerjaan, Accantung, management, sosial politik, politik bisnis.
3. Kebijakan tidak tertulis dengan hukum adatnya.
Adat kita menyatu dengan sumber politik Hukum:
Contoh : 1. Hukum perkawinan, UU No. 1 1974 tetapi masih menyelenggarakan pertunangan. 2. Adanya pelarangan menikah antara 2 Agama yang berbeda.

Apa bahan baku dari politik Hukum (Indonesia hukum nasional yang baru)
1. Hukum Islam
2. hukum Adat
3. Hukum Barat
Ada :
1. cara rakyat Indonesia sebagian besar beragama Islam.
2. peraturan di Indonesia mengadopsi Asas “hukum Islam Bukti: UU No. 1. 1974 ~ asas monogami.
3. karena hukum aslinya rakyat Indonesia adalah Adat Indonesia.
4. hukum rakyat yang diambil oleh hukum Indonesia adalah sistemnya yang baik.

Pihak ytang tersebut dalam pembentukan Politik Hukum :
1. Negara ~ pemerintah
Parpol ~ partai.
Para Pakar ~ ahli hukum dengan tulisan dan doktren dan pendapat.
Warga Negara ~ Kesadaran Hukumnya ~ bila warga negara kesadraan hukum tinggi maka politik hukumnya tinggi begitu sebaliknya.

Bagi Indonesia politik Hukum dicantumkan dalam :
1. Konsitusi = garis besar politik Hukum.
2. UU = ketentuan Incroteto = ketentuan yang berlaku.
3. Kebijaksanaan yang lain = pelengkap untuk pemersatu.
4. Adat = Berupa Nilai.
5. GBHN = Berupa Program
6. Hukum Islam , yang diambil adalah nilainya.

Sedangkan dari sisi produk Perundang-undangan. Terjadi perubahan Politik Hukum, yakni: dengan dikeluarkannya beberapa UU yang semula belum ada, yakni :
1. UU No 14 tahun 1970 Tentang ketentuan kekeuasaan kehakiman.
2. UU No 5 Tahun 1960 Tentang ketentuan pokok Agraria.
3. UU lingkungan Hiduop.
4. UU Perburuhan.
5. UU Perbankan, Dsb.
Kemudian Prof. HAZAIRIN berpendapat bahwa :
• diPakainya Hukum Adsat sebagai sumber Hukum Nasional telah disebakan Hukum Adat sudah Eksis dalam budaya dan perasaan Bangsa Indonesia.
• Di pakainya Hukum Islam sebagai sumber Hukum Nasional karena mayoritas Penduduk Indonesia beragama Islam ~ Iman.
• Terhadap Hukum Adat dan Hukum Islam tersebut hanya diambil asas-asasnya saja.
• Hukum Barat dijadikan sumber Hukum Nasional juga berkaitan dengan urusan-urusan Internasional atau berkaitan dengan Hukum atau perdagangan Internasional.

Tahun 1979, PURNADI dan SURYONO SUKAMTO menyatakan : Hukum Negara (Tata Negara) adalah Struktur dan proses perangkaat kaedah-kaedah Hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta bwerbentuk tertulis.

Tahun 1986, JOHN BALL menyatakan : Persoalan Hukum di Indonesia adalah persoalan dalam rangka mewujudkan Hukum Nasional di Indonesia, yaitu persoalan yang terutama bertumpu pada realita alam Indonesia.

Tahun 1966, UTRECHT membuat buku dengan judul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”.
Tahun 1977, AHMAD SANUSI menyatakan PTHI hendaknya dipahami sebagai penguraian Deskritif-Analistis yang tekanannya lebih dikhususkan bagi Ilmu Hukum Indonesia, menjelaskan sifat-sifat spesifik dari Hukum Indonesia dengan memeberikan contoh-contohnya sendiri.
b.Persoalan Hukum di Indonesia dan Negara-negara baru lainnya tidak hanya sekedar penciptaan Hukum baru yang dapat ditujukan pada hubungan Perdata dan Publik dengan karekteristiknya yang telah cukup diketahui.
c. Harus diusahakan pendobrakan cara berpikir Hukum kolonial dan penggantinya dengan cara berpikir yang didorong oleh kebutuhan menumbuhkan Hukum setempat bagi Negara yang telah merdeka.
Tahun 1978 , DANIEL S. LEV menlis aspek Politiknya dengan menyatakan dan kedudukan Hukum di Negara republik indonesia sebaian besar merupakn perjuangan yang hanya dapat dimengerti secara lebih baik dengan memahami Sosial Poltik daripada kultural.
a. Hukum Indonesia harus memberi tempat kepada Rasa Hukum, Pengertian Hukum,Paham Hukum yang khas (Indonesia).
b. Hendaknya ada pelajaran Hukum indonesia.
Tahun 1952, DORMEIER membuka wacana dengan cara :
a. menulis buku “Pengantar Ilmu Hukum” (buku PIH karangannya ini adalah buku PIH pertama dalam Bahasa Indonesia).
b. Menukis bentuk-bentuk khusus Hukum yang berlaku di Indonesia.
Tahun 1955, LEMAIRE Deskripsi Hukum Indonesia.
Tahun 1965, DANIEL S.LEV. menyatakan Transformasi yang sesungguhnya terhadap ;
a. hukum masa Kolonial, terutama tergantung dari pembentukan Ide-ide baru, yang akan mendorong ke arah bentuk Hukum yang sama sekali berbeda dengan Hukum Kolonial.
b. Sejak sebelum kemerdekaan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia sudah banyak usulan agar Negara Republik indonesia memiliki Hukum Politik dsendiri, bukan Politik Hukum yang sama dengan Politik Hukum Belanda. Usulan-usulan tersebut.
Tahun 1929, KLEINTJES menulis dalam sebuah buku, yang isinya :
a. pokok-pokok Hukun Tentang Negara dan Hukum Antar Negara yang berlaku di Hindia Belanda.
b. Beberapa aspek pranata Hukum yang dijumpai di Hindia Belanda.
Tahun 1932, VAN VOLLEN HOVEN dalam pidatonya yang brjudul “Romantika Dalam Hukum indonesia” menyatakan :
a. Hukum Indonesia harusnya menuju “Hukum Yang Mandiri” dan jangan hanya menjadi tambahan saja bagi Hukum Belanda di Hindia Belanda.
b. Ideaalnya, sejak Tahun 1945 Indonesia sudah memiliki Politik Hukumnya sendiri yang sesuai dengan situasi dan kondisi Bangsa indonesia.