Rabu, 09 Maret 2011

Quo vadis gerakan mahasiswa Aceh : Organisasi Mahasiswa Ibarat Rumah Tanpa Penghuni....!!!!


Oleh : Herlin
Mahasiswa adalah kelas sosial di masyarakat yang mempunyai konotasi religius, moralis, intelektual, dan humanis. Kelas ini unik karena menghubungkan dimensi ketuhanan, yaitu MAHA, yang inheren dengan makna Yang Mutlak, Kebenaran Absolut; dan kemakhlukan, yaitu SISWA, sosok manusia pembelajar, sebuah perilaku dinamis untuk menyempurna yang senantiasa dinamis, bergerak.

Sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang “maha”, tugas dan tanggung jawab mahasiswa lebih berat daripada makhluk sosial lainnya. Dia diberi mandat oleh Tuhan untuk menggaungkan kebenaran, karena Tuhan adalah Sang Kebenaran. Mahasiswa menatap realitas sosial dengan sikap:

1. Kritis, karena realitas sosial bisa jadi adalah hasil konstruksi kekuasaan yang tidak selalu benar
2. Rasional, karena realitas sosial harus disikapi dengan nalar rasional, bukan reaktif-emosional;
3. Independen, karena menyikapi segala realitas sosial harus tanpa beban beban sejarah, patronase dan primordialisme. sehingga mahasiswa haruslah menjadi corong rakyat terhadap segala bentuk kebijakan dan praktik kekuasaan Negara, penyambung lidah rakyat dan kaum tertindas

Gerakan mahasiswa di Indonesia merupakan fenomena historis yang hamper tidak terlupakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan, gerakan mahasiswa setidaknya telah meruntuhkan dua rezim pasca kolonial di Indonesia yaitu rezim Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya dan Rezim Soeharto dengan Orde barunya.

Dalam geliat gerakan mahasiswa tak sedikit sejumlah mahasiswa yang gugur dan syahid di jalan Tuhan dalam upaya menegakan keadilan, kemanusiaan dan kebenaran. Karena itu sudah semestinya penguasa yang saat ini menduduki tampuk kekuasaan merealisasikan cita-cita,aspirasi, dan moralitas dari pengorbanan mereka agar kesalahan tidak berulang. Sebagai gerakan moral yang berinplikasi politik, gerakan mahasiswa telah menjadi “mitos” tersendiri di bumi pertiwi.

Namun seiring dengan langkah jaman gerakan mahasiswa kini berada di persimpangan jalan yang membingunkan. dimana tarikan antara perjuangan moral bertarung dengan rayuan elit politik untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan yang saat ini tidak pernah merasakan penderitaan rakyat.

Disinilah mahasiswa diuji apakah ia akan konsisten sebagai perjuang moral atau terjerumus kedalam lembah apa yang disebut sebagai “penghianatan kaum inteletual” yang mercumbu dengan penguasa yang dzalim.

Didepan terlihat tantangan dimana masyarakat baik di indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia akan mengalami perkembangan penuh sehingga semua nilai manusiawi yang mungkin ada akan terealisasi dan manusia akan mencapai kesempurnaan, kesejahteraan dan pada akhirnya kebajikan yang aktual.



Melihat sejenak fenomena Gerakan Mahasiswa Aceh

Gerakan Mahasiswa Aceh telah tercatat dalam buku Record of Aceh, mereka telah pernah menciptakan sejarah dalam dinamika politik ke Acehan. Faktor apa yang mendorong mereka mampu melahirkan terobosan-terobosan serta idea-idea besar tersebut. Benarkah mahasiswa Aceh seperti yang digambarkan oleh Ahmad Human Hamid (1999) merupakan satu generasi yang lahir tidak hanya membaca dan mendengar kisah Aceh. Selama 10 tahun mereka hidup dibawah bayang-bayang ketakutan daerah Operasi Militer (DOM). Namun karena kesadaran yang dimiliki oleh rakyat, mahasiswa Aceh bersatu dengan gaya hidup rakyat, sekejam apapun bentuk yang di lakukan tetap saja akan melahirkan bibit perlawanan. Maka apabila tradisi perlawanan itu mendapat momentum maka usaha-usaha perubahan adalah merupakan jawabannya

Pada saat itu mahasiswa memiliki musuh bersama yaitu militer, sehingga pada saat itu mahasiswa mampu mengorganisir diri dan melawan untuk keluar dari kungkungan kekejaman rezim orde baru dengan DOM nya.

Seluruh organisasi mahasiswa dan sipil berkoalisi dan membentuk front-front perlawanan menentang rezim yang korup dan kerap melanggar Hak Azasi Manusia (HAM), teriakan-teriakan perlawanan menggema di sana-sini di bumi serambi mekkah.

Namun kenyataanya saat ini amat jauh berbeda, dimana saat ini juga tidak lebih kurang (sama) bahkan bisa saja lebih banyak organisasi mahasiswa yang ada di aceh tidak membawa dampak yang positif bagi rakyat. Gerakan mahasiswa tidak lagi membangun sebuah kekuatan yang utuh dalam melawan musuh bersama, namun musuh itu tidak lagi ditemukan.

Saat ini organisasi mahasiswa hanya menjadi wadah untuk mencari keuntungan dalam bentuk kegiatan, atau dengan kata lain opportunis. Mereka tidak mampu lagi melihat persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Bahkan gerakan mahasiswa cenderung terjebak dalam politik praktis yang hanya berorientasi kekuasaan atau merapat kekuasaan hanya demi keuntungan yang ingin diperoleh, baik secara kelompok maupun secara pribadi.



Gerakan mahasiswa Aceh makin hari cenderung semakin lemah, proses kaderisasi ditingkat mahasiswa juga minim, akibatnya rantai gerakan yang dibangun menjadi putus, tidak kontinyu, karena kurangnya penanaman nilai-nilai kritis mahasiswa terhadap kondisi social. Pada puncaknya akan melahirkan mahasiswa yang apatis yang tidak peduli terhadap persoalan social, serta akan terjebak dalam budaya hedonisme.

Sebuah kenyataan pahit yang harus ditelan oleh gerakan mahasiswa saat ini adalah ketika organisasi baik di kampus dan di luar kampus tidak mampu lagi menjadi mesin produksi kader-kader gerakan mahasiswa, dan terkesan imponten atau loyo dalam melihat dan menganalisa persoalan yang selama ini terjadi, organisasi mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus hanya menjadi rumah-rumah kosong tanpa penghuni, dan kesannya hanya menjadi simbol, tanpa mampu berkontribusi untuk kemajuan Aceh.

Berbagai macam persoalan dari mulai kemiskinan, korupsi dan para korban pelanggaran HAM yang sampai hari ini belum mendapatkan keadilan, saat sangat jarang bahkan hampir tidak pernah disikapi secara kolektif oleh gerakan mahasiswa Aceh, padahal persoalan-persoalan tersebut akan semakin cepat tuntas apabila seluruh komponen mahasiswa Aceh bergerak dan memperjuangkan secara bersama.

Rekonstruksi ulang terhadap gerakan mahasiswa saat ini sudah saatnya dilakukan, mengingat transformasi budaya dan perubahan iklim politik di Aceh yang begitu cepat serta pertumbuhan laju pembangunan, yang harus selalu dikontrol secara social oleh mahasiswa. Disinilah peran mahasiswa untuk bisa menjadi agent of control yang sebenarnya. Kegiatan yang bersifat edukatif dan pengembangan dalam bentuk membaca dan berdiskusi, bakti social serta berorganisasi merupakan salah satu contoh yang efektif dalam membangun kerangka berpikir kritis. Sehingga mahasiswa tidak lagi terjebak dengan budaya hura-hura atau budaya hedonisme yang tidak membawa manfaat justru lebih banyak membawa dampak negatif.

Untuk itu mari kita “Rekonstruksi” gerakan ini!. Karena hanya ada dua pilihan bagi anda para mahasiswa, “mencetak sejarah, atau digilas oleh sejarah karena hanya menjadi penonton”. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat!!!