Selasa, 27 Desember 2011

“Mengugat Imprealisme terhadap Kedaulatan Rakyat atas Sumber Daya Alam”

Sejarah eksploitasi Sumber Daya Alam adalah Sejarah Penindasan, Pembunuhan serta sejarah konflik yang tidak berujung akibat keserakahan pemilik modal dan borjuasi yang senantiasa menggunakan alat kekuasaan (militer). Dimulai pada saat zaman kolonialisme Belanda, Jepang hingga sampai sekarang. Pada zaman penjajahan dulu, kita dapat melihat dengan jelas bahwa kepentingan kolonial di negeri jajahan adalah merampas hasil bumi secara terang-terangan kemudian membantai kaum pribumi yang melawan. Apakah kemudian sekarang sudah selesai? Jawabannya adalah belum. Walau dengan kemasan yang baru dan cara-cara yang lebih halus, penjajahan dan penindasan terhadap rakyat demi eksploitasi SDA tetap terjadi. Kasus yang akhir-akhir ini kita dengar misalnya, penolakan tambang yang dilakukan mahasiswa Aceh di kantor Gubernur yang berujung dengan pemukulan oleh aparat keamanan terhadap mahasiswa, kemudian kasus mesuji di lampung, dimana dipicu oleh konflik tanah pada tahun 1997 terjadi perjanjian kerjasama antara PT SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan. Perjanjian tersebut untuk masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan lagi kepada warga.Selama kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat kompensasi. Namun hal itu tidak pernah terwujud, hingga masyarakat melawan dan jatuh korban tewas. Kemudian kasus BIMA-NTB, warga meminta pembatalan izin tambang emas. Warga menilai tambang emas di Lambu dan Sape dapat merusak lahan pertanian dan tambak milik mereka. Polisi kemudian melakukan pembubaran paksa terhadap pendemo dan tembakan dilepaskan ke arah warga. Warga pun lari menyelamatkan diri. Akhirnya, dua warga tewas akibat tembakan. Aris Rahman (19) dan pelajar bernama Syaiful alias Mahfud (17). Aceh, Lampung, NTB, Papua adalah contoh kecil, masih banyak sederetan kasus-kasus lain di Negeri ini yang bersumber dari eksploitasi SDA melahirkan konflik tanah dan penindasan terhadap Rakyat. Hal ini apabila terus dibiarkan bukan tidak mungkin akan terus menimbulkan korban-korban baru. Kedaulatan atas SDA sebenarnya secara tertulis telah di atur dalam Konstitusi (UUD 1945) di dalam Pasal 33 dan UU No. 11 tentang Pemerintahan Aceh. Namun, di dalam aturan UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pemerintah malah memberikan akses yang sangat luas kepada Investor untuk menguasai hak atas tanah dan fasiltas-fasilitas dalam usaha eksploitasi SDA. Tentunya, ini sama saja dengan memberikan akses bagi penjajah untuk menindas bangsanya sendiri dan merampas KEDAULATAN RAKYAT ATAS SUMBER DAYA ALAM. Apalagi, saat ini perusahaan-perusahaan selalu menggunakan aparat keamanan untuk pengamanan, sehingga siapa saja yang memprotes bisa-bisa menjadi korban terjangan peluru mereka, bukankah peluru yang dibeli dengan uang rakyat seharusnya melindungi Rakyat? Anehnya, peluru itu malah melindungi pemilik modal. Belum lagi persoalan Pemiskinan Struktural dan Pelangaran HAM, Intimidasi, serta Pembodohan yang terus bertambah . Dan hal ini tentu saja tidak bisa di biarkan kawan-kawan. Sebagai mahasiswa, tentunya kita harus memiliki sensitivitas terkait hal ini, penindasan tentu tidak akan berhenti ketika kita tidak melawan terhadap Rezim dan Sistem yang Pro Kapitalis!!!! Bagi kawan-kawan yang sudah sadar dan memiliki semangat perlawanan untuk melawan Penjajahan oleh Pemilik Modal melalui Alat Negara, maka bisa bergabung bersama kami dalam mimbar bebas tersebut. Salam Pembebasan!!! Tunduk di tindas atau Bangkit melawan, karena Mundur adalah Pengkhianatan!!!!!

Minggu, 18 Desember 2011

Ali Moertopo dan Dunia Intelijen

Ali Moertopo dan Dunia Intelijen Oleh : Syaifudin Bidakara 16 Jul 2003 – 1:32 pm (cuplikan dari buku bertajuk “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974”, Heru Cahyono, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998) Halaman 44-50: 6 ALI DAN DUNIA INTELIJEN Saya dengar pada tahun 1966, Ali Moertopo ditugasi oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk menjadi perwira penghubung untuk melaksanakan proses rekonsi liasi antara Indonesia-Malaysia. Operasi intelijen ini disebut Opsus (Operasi Khusus). Beserta Kolonel Ali Moertopo waktu itu antara lain Brigjen Kemal Idris dan Asisten I Kopur Kostrad LB Moerdani. Belakangan nama Opsus ini melembaga dan seakan-akan menjadi cap bagi segala kegiatan operasi intelijen, tidak saja di bidang militer, tetapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. [1] [1] Lihat, Heru Cahyono, Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: dari Pemilu sampai Malari, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992) hlm. 65. Mungkin lantaran sudah percaya, sekali waktu sebagai Kepala Opsus itulah Ali Moertopo rupanya diserahi lagi tugas oleh Pak Harto, namun kali ini tugasnya ialah rekayasa politik yang dikenal pula dengan sebutan penggalangan (conditioning), rekaya dari atas (engineering from above). Rekayasa politik pada waktu itu memang mutlak kita butuhkan karena Angkatan Darat menghadapi bahaya selain PKI, kekuasaan Bung Karno, dan juga masyarakat Nasakom. Kita ini saat itu boleh dikata berjuang sendirian, tak ada teman, sementara kekuatan-kekuatan yang anti-PKI –yakni PSI dan Masjumi—jauh sebelumnya sudah dibubarkan oleh Bung Karno. Sementara dalam rangka memenangkan pemilihan umum 1971, Kino-Kino sendiri, khususnya yang tergabung dalam Trikarya, tidak tampak memainkan partisipasi aktif dalam proses kampanye. Sekber Golkar lebih banyak dikelola oleh kelompok Ali Moertopo, Hankam, dan Menteri Dalam Negeri; khususnya dua yang pertama. Operasi-operasi Opsus bermanfaat dalam memperkuat Sekber Golkar. Pelaksanaan operasi biasanya dengan jalan interensi ke dalam rapat-rapat atau musyawarah partai, untuk kemudian “memanipulasi” konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan, sehingga pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Operasi penggalangan oleh Opsus juga guna menjamin bahwa kelompok-kelompok yang mungkin dapat mengobarkan permusuhan, tidak memegang kendali organisasi yang masih dapat menghimpun dukungan besar. Target pertama adalah partai nasionalis terbesar, PNI. Operasi yang dilakukan Opsus menghasilkan terpilihnya Hadisubeno, menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan Dwifungsi ABRI. Lalu diikuti dengan rekayasa terhadap partai kecil IPKI dari kelompok nasionalis lainnya, sehingga kongres tahunan pada bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro pemerintah. Tindakan yang sama juga menimpa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kongres 22 Oktober 1970 berakhir dengan kekisruhan besar karena munculnya dua badan eksekutif sekaligus, yang salah satunya memperoleh dukungan dari Opsus. Operasi-operasi serupa dalam waktu hampir bersamaan ditujukan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia). Rekayasa terhadap kalangan Islam juga cukup terkemuka, yakni bagaimana Opsus melakukan rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam modernis dengan basis masa dari bekas-bekas partai Masjumi. Sementara terhadap Islam tradisional dilakukan penggalangan melalui organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisional untuk ditarik masuk Golkar. Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya sejak awal menyadari mengenai kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI –yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angtakan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial. Sehingga policy umum militer ketika itu sebenarnya adalah menghancurkan kekuatan ekstrim kiri PKI, dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Soekarno pada umumnya, sambil secara amat berhati-hati mencegah naiknya sayap Islam. Tugas Opsus adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak dan merekayasa sifatnya dalam waktu yang pendek lagi cepat. Misalnya tentang PWI. Kalau PWI waktu itu orientasinya masih ke Bung Karno, maka kita ubah pimpinannya. Seperti itu urusan Ali Moertopo. Semua partai direkayasa dengan tujuan untuk membangun poros Pancasila, sehingga yang Nasakom dikeluarkan dari semua organisasi yang ada. Pada kondisi saat itu, rekayasa semacam ini tak bisa disalahkan, bahkan walaupun saya tidak terlibat, secara obyektif saya menilai Ali Moertopo sangat besar jasanya, bahwa rekayasa-rekayasa yang dilakukan oleh Ali Moertopo memang amat diperlukan. Operasi semacam itu dimaksudkan untuk menata kehidupan politik, khususnya menyangkut pembenahan infrstruktur politik (untuk mendobrak infrastruktur politik yang berorientasi pada ideologi dan golongan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan pola yang diperlukan bagi pembangunan), termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan fungsional. Lha, bagaimana Pak Harto sebagai pemegang SP-11 mampu melaksanakan tugasnyakalau MPR/DPR-nya masih dominan Nasakom? Tentu tidak mungkin. Seperti PNI, walaupun partai tersebut anti-PKI tetapi PNI ada masalah dengan Bung Karno karena memiliki hubungan dekat dengan Bung Karno. Waktu itu PKI juga meniupkan isu bahwa Angkatan Darat mau mengadakan kup terhadap Bung Karno. Akibatnya PNI bukan main curiganya terhadap Angkatan Darat, termasuk kecurigaan yang datang dari angkatan-angkatan lain yaitu Angkatan Laut, Angkatan Udara, maupun Polri. Tidak dapat disangsikan lagi, Ali Moertopo adalah tokoh yang berperanan amat penting dalam sukses Golkar pada pemilihan umum 1971, sekaligus membuat pamornya naik di mata Pak Harto. Ia adalah tokoh yang mendapat tugas langsung dari Pak Harto untuk suatu tugas conditioning, dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan ekstrim mana pun. Sejarah kemudian mencatat Opsus-nya Ali memainkan peranan yang menonjol dan disegani sekaligus ditakuti dan dibenci lantaran dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak. Kendati tidak bisa dielakkan timbulnya rasa sakit dan luka di mana-mana, saya akui jasa Ali (dalam konteks tugas conditioning) amatlah besar bagi perjuangan Orde Baru dalam mengamankan Pancasila. Kecuali lembaga studi tertentu [tds], lembaga kedua yang diperkuat oleh Ali Moertopo adalah Opsus, yang kelak terlihat gejala-gejala semakin berfungsi sebagai intelijen di samping intelijen resmi yang telah ada. Semula, pada permulaan Orde Baru, Opsus mesti diakui bermanfaat dalam menggalang reformasi politik (political reform) guna memperkuat poros Pancasila dan menetralisasi kekuatan Nasakom melalui rekayasa-rekayasa terhadap semua orsospol dan organisasi kemasyarakatan dan profesi. (tds = tambahan dari saya: yang dimaksud lembaga studi tertentu adalah CSIS) Selain berfungsi intelijen, Opsus menjadi tempat untuk pengembangan disinformation system yang secara vertikal ditujukan untuk memberi pengaruh kepada penciptaan opini dari pusat pengambilan keputusan politik (centre of political power), yaitu Pak Harto. Manipulasi informasi oleh Opsus ini juga membawa pengaruh secara horizontal ke berbagai lapisan masyarakat dan lapisan kelembagaan. Disinformation system antara lain melahirkan suatu tindakan yang bersifat represif berikut praktek-praktek menghilangkan jejak dengan cara macam-macam. Ali kelihatan sangat antusias menjalani kehidupan dan petualangan intelijennya. Sebagai Komandan Opsus, ia mengembangkan organisasi tersebut menjadi organisasi intelijen partikelir dengan mengambil alih fungsi-fungsi intelijen dari Bakin (Badan Koordinasi Intelijen). Tersadap kemudian bahwa ia memiliki ambisi-ambisi untuk mencapai posisi puncak di dunia intelijen. Ini merupakan perkembangan menarik dari pribadi seorang Ali Moertopo mengingat ia sebelumnya tidak dikenal berkecimpung dalam intel. Maka ketika ia di Opsus, saya menyebutnya sebagai intel palsu. Intel yang asli adalah Jenderal Sutopo Juwono atau Jenderal Yoga Sugama. (Saya kurang mengetahui apakah Ali Moertopo pernah mendapat pendidikan intelijen, entah itu di dalam atau di luar negeri. Hanya dengar-dengar ia pernah sebentar belajar intelijen di Bogor pada sekitar tahun 1950-an). [tds] (tds = tambahan dari saya: yang di Bogor untuk pendidikan dasar, sedangkan yang baru-baru ini diresmikan Megawati adalah sekolah intel untuk tingkat lanjutan, berlokasi di BATAM, diresmikan 9 Juli 2003 lalu). Bidang garapan Opsus sangat luas meliputi aspek ekonomi, intelijen, sampai melaksanakan penyelundupan bear-besaran. Tahun 1970-an organisasi ini pernah melakukan penyelundupan besar-besaran agar barang di dalam negeri menjadi murah. Waktu itu menjelang lebaran, beberapa kapal masuk dari Singapura menyelundupkan tekstil dan baju jadi. Di Opsus, Ali Moertopo memiliki sejumlah orang kepercayaan. Tangan kanan Ali di bidang keuangan adalah Kolonel Ngaeran dan Kolonel Giyanto bagian “grasak-grusuk” cari uang. Saudara Giyanto dikatakan yang tahu di mana disimpannya uang-uang Opsus di luar negeri. Bidang operasi Kolonel Sumardan, sementara Kol. Pitut Soeharto bidang penggalangan politik Islam seperti menggarap PPP, NU, dan bekas DI. Di bagian pembinaan umat Islam ini, Pitut membina umat yang belum tergabung dalam suatu organisasi atau mereka yang masih liar. Bekas-bekas Darul Islam, umpamanya, itu urusan Pitut. Sebagai gambaran mengenai sepak-terjang unsur-unsur Opsus, seorang bekas sejawat Pitut belakangan mengatakan, “Saya tidak senang dengan cara main Pitut, sebab bisa hancur sendiri. Ia terlalu banyak manuver, membohongi orang di sana-sini, tak malu walau ketahuan, air mukanya tetap biasa saja. Saya tidak mau begitu, nanti tidak punya sahabat. Buktinya sekarang, saat sudah bukan apa-apa lagi maka orang enggan menemuinya, sekadar menengok sekalipun.” Mengikuti pola di dalam pengorganisasian intelijen, keanggotaan Opsus terbagi dua, di samping ada anggota organik (member of the organization) juga terdapat anggota jaring (member of the net). Anggota jaring kurang terikat, bila suatu proyek selesai maka bubar pula mereka, karena yang ada di sini biasanya dengan motivasi mencari uang atau sekedar advonturisme. Yang termasuk anggota organik Opsus antara lain Pitut Soeharto, Letkol Utomo, Utoro SH. Sedangkan yang tergolong anggota jaring ialah Bambang Trisulo, Leo Tomasoa, Lim Bian Koen, Liem Bian Kie, Monang Pasaribu, Daoed Joesoef, dr. Suryanto, dan banyak yang lainnya lagi. [tds] (tds = tambahan dari saya: Daoed Joesoef adalah salah seorang pendiri CSIS, dan ketika menjadi Menteri Pendidikan menerbitkan peraturan tidak libur selama Ramadhan, juga merubah tahun ajaran baru dari Januari ke Juli. Liem Bian Khoen dan Liem Bian Khie adalah kakak beradik yang bernama Sofyan Wanandi dan Yusuf Wanandi. Sofyan Wanandi sejak awal Orde Baru menjadi pengusaha, ketika Habibie menjadi presiden, ia sangat kritis. Yusuf Wanandi tetap di CSIS sampai kini). Abdul Gafur disebut-sebut sebagai salah seorang bekas anggota jaring Opsus dan sempat dekat dengan lembaga studi tertentu, namun belakangan renggang. Dana untuk Opsus besar sekali dan nyaris tak terbatas, entah dari mana dapatnya, di samping dari “usaha” sendiri yang dilakukan oleh para anggota organisasi, Soedjono Hoemardani juga biasa “mengusahakan” pendanaan bagi Opsus. Jadi kalau sepintas terlihat bahwa Opsus begitu kuat, antara lain berkat kuatnya dukungan pembiyaan. Berapa persisnya anggaran Opsus, kita tidak pernah tahu, tapi yang jelas di bawah Ali Moertopo organisasi tersebut kelihatan kaya-raya dan dana mereka jauh lebih banyak dari yang dipunyai oleh intel Kopkamtib misalnya. Ali Moertopo dan Dunia Intelijen (cuplikan dari buku bertajuk “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974”, Heru Cahyono, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998) Halaman 68-73:10 SUASANA DI BAKIN Rupa-rupanya benar dugaan orang bahwa sasaran Ali Moertopo ialah menguasai intelijen, sebab disadari Opsus tidak berkompeten melakukan tugas-tugas intelijen. Dengan diangkatnya ia menjadi Deputy Bakin, maka secara perlahan-lahan (creeping) Ali menguasai intelijen. Ketua Bakin Jenderal Sutopo Juwono terlihat sangat kikuk mengenai bagaimana menghadapi Ali Moertopo sebagai salah satu deputi-nya di Bakin. Ali Moertopo dilukiskan kerap berbeda irama dengan kebijaksanaan atasan ketimbang mendengarkan petunjuk Kabakin Sutopo Juwono. Dalam kaitan ini, Ali kerap berdalih bahwa ia berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Situasi ini niscaya menyulut pertentangan yang amat tajam di dalam tubuh Bakin antara yang berafiliasi kepada Deputi III Ali Moertopo dengan yang condong pada Kepala Bakin Sutopo Juwono yang bekerja dengan menegakkan norma-norma intelijen. Terlihat betul bahwa Ali sangat berkepentingan menjadi pimpinan Bakin. Deputi Bakin kala itu ada empat, urusan penggalangan kebetulan bidangnya Ali Moertopo, bidang security Brigjen Soeprapto (yang kemudian diganti Brigjen Slamet TW), lalu deputi intel luar dan dalam negeri adalah Jenderal Nicklany, dan bidang pendidikan Jenderal Hernowo, serta laporan-laporan intel ditangani Jenderal Samosir. Dalam ketegangan di tubuh Bakin antara Sutopo-Ali, terlihat bahwa Kolonel Atwar Nurhadi dan Kolonel Suluh Dumadi berafiliasi kepada Sutopo. Deputi I bidang penyelidikan Dalam Negeri, Jenderal Nicklany (almarhum) secara tegas juga mengambil sikap menentang sepak terjang Ali Moertopo di Bakin. Sementara pengikut-pengikut Ali Moertopo antara lain Kolonel Sumardan, Kolonel Marsudi, Letkol Pitut Soeharto, Letkol Alexiyus Sugiyanto, dan Letkol Suhardi Oetomo. Brigjend Soeprapto (Deputi II Bakin bidang Keamanan, mantan Kasintel Kodam Diponegoro), terlihat enggan melibatkan diri. Di antara pengikut-pengikut Ali Moertopo di Bakin terdapat sejumlah orang yang kemudian ketahuan sebagai PKI. Salah satunya ialah Kolonel Marsudi, yang ditangkap dan dijebloskan ke RTM pada tahun 1969. Marsudi dikenal pula orang dekat Pak Harto sewaktu Pak Harto masih letnan kolonel memimpin serangan ke Yogya. Sebagai asisten intel Pak Harto, yang pertama kali masuk ke Yogya adalah pasukan Marsudi. Kalau seorang pemimpin menggunakan dua cara sekaligus, alat yang institusional dan yang free wheelers, harus betul-betul sinkron di antara keduanya. Di sini situasinya dulu lebih ruwet lagi, mengapa demikian, karena Ali Moertopo juga sebagai salah satu deputi di Bakin untuk urusan penggalangan. Salah satu contoh yang sangat memusingkan Ka Bakin Jenderal Sutopo Juwono adalah ketika Ali punya ide untuk menggunakan orang-orang DI. Ka Bakin Sutopo Juwono melarang, “Jangan, risikonya terlalu besar nanti, sebab orang-orang DI suka macam-macam, karena merasa punya jasa ikut menghancurkan G30S segala macam, nanti mereka bisa menagih janji. Maka lebih baik jangan!” Tapi Ali tidak nggugu (tidak mendengarkan) apa yang dikatakan atasannya, malah ia jalan sendiri dengan alasan: “Lho, saya tidak di bawah Pak Topo saja kok. Saya juga di bawah Pak Harto langsung, saya bertanggungjawab kepada Pak Harto, jadi tidak perlu semua langkah saya dipertanggungjawabkan kepada Pak Topo. Masalah ini tidak perlu saya pertanggungjawabkan kepada Pak Topo, tapi kepada Pak Harto.” Ali waktu itu menjabat Asisten Pribadi Presiden dan di samping ia masih mempunyai alat sendiri yang disebut Operasi Khusus (Opsus). Dus, masalahnya Ali Moertopo punya dua topi, dan kadang-kadang Sutopo Juwono merasa kepontal-pontal (selalu ketinggalan), terutama dalam penggalangan politik dalam negeri. Posisi Ali Moertopo sebagai Opsus dan Aspri membuat ia tidak bisa diserang dari mana-mana. Sangat kuat. Bagi kita, kalau melihat Opsus, senantiasa melihat Pak Harto; juga, kalau melihat Aspri ya melihat Pak Harto. Berani dan suka nekad, serta lebih banyak menuruti kemauan sendiri: itulah Ali! Sehingga banyak sekali kegiatan Ali Moertopo atau bawahannya yang tidak sinkron dengan kegiatan anggota-anggota Bakin lainnya. Langkah-langkah Ali Moertopo menjadi selalu kurang pas dengan apa yang digariskan Jenderal Sutopo Juwono sebagai Ka Bakin. Seperti masalah penggalangan bekas-bekas DI Jawa Barat. Lantaran Bakin melarang, maka yang membina kemudian adalah Opsus. Oleh Jenderal Topo itu dinilai sudah melanggar, karena Ali Moertopo sebagai deputi Bakin tidak lagi mendengarkan kata-kata atasannya. Para bekas DI semula dibina oleh Kodam Siliwangi supaya mereka jangan melakukan gerakan-gerakan lagi. Tapi sekonyong-konyong ditarik oleh Ali Moertopo ke Jakarta, namun dalam hal ini Kodam Siliwangi tidak bisa beruat apa-apa. Sedari itu hubungan Siliwangi dengan Ali Moertopo menjadi kurang baik. Mereka yang ditarik ke Jakarta, antara lain anaknya Kartosuwiryo yaitu Dodo Kartosuwiryo, sebagian lagi adalah bekas teman-teman Ali Moertopo di Pekalongan seperti Adah Zaelani [tds] dan Amir Fatah. Hubungan Ali dengan Dodo sudah dibina sejak ramai-ramai Subandrio hendak ditangkap. Sempat terdengan Dodo bersedia berhubungan karena mau dipakai untuk membunuh Soebandrio. (Kelak, mungkin karena pembinaannya yang kurang baik, akhirnya mereka lepas kendali, dan akhirnya menjadi bumerang dan menentang pemerintah, yaitu melalui kasus pemboman BCA dan juga kasus Woyla [tds]. Ibarat Ali Moertopo membina macan, lantas sang macan menjadi besar dan akhirnya memakan “majikan”-nya sendiri). (tds = tambahan dari saya: yang dimaksud pastilah Adah Djaelani, yang kini menjadi petinggi Ma’had Al-Zaytun) (tds = tambahan dari saya: Pemboman BCA dan pembajakan Woyla tidak ada kaitannya dengan orang-orang bekas DI, tetapi berkaitan dengan kasus Komando Jihad. Mungkin Soemitro agak bingung membedakan antara Rahmat Basuki (pelaku pemboman BCA 1984) dengan Tahmid Rahmat Basuki putra Kartosoewiryo). Sejak memasuki tahun 1970-an sudah tercipta suasana yang kisruh, tawur terus, antara intelijen resmi dengan Opsus. Ketegangan antara Nicklany dengan Ali Moertopo sangat terasa, apa persoalan yang sebenarnya tidak pernah jelas, mungkin karena penggunaan agen. Dibanding hubungan Topo-Ali, ketegangan Nicklany-Ali lebih memuncak dan terasa sampai di permukaan. Saya dengar ketidaksukaan Jenderal Nick terhadap Jenderal Ali Moertopo karena Ali yang belakangan masuk Bakin telah mengambil langkah-langkah sendiri yang berbeda dengan garis kebijakan Bakin sebelumnya. Pendek kata, dengan masuknya Ali di Bakin, Jenderal Nick merasakan suasana yang agak lain. Perbedaannya terletak pada soal penggalangan-penggalangan, antara lain mengenai penggalangan bekas-bekas DI yang semula dibina oleh Siliwangi kemudian tiba-tiba ditarik ke Jakarta/Bakin oleh Ali Moertopo. Bekas-bekas DI itu diberi uang segala. Teman-teman di Bakin, serta tentunya juga rekan-rekan di Siliwangi yang pernah sempat “berkelahi” dan berperang dengan DI merasa dongkol jadinya, “Bekas-bekas musuh kok dapat duit, kita malah tidak.” “Lho mereka itu DI, sementara kami ini pernah berperang melawan Adah Zaelani atau baku tembak dengan Dodo Kartosuwiryo. Anak buah atau sahabat kita pernah mati. Lho, mengapa kemudian ketemu di tempatnya Ali Moertopo di Bakin,” demikianlah perasaan yang senantiasa tetap terbersit di kalangan Siliwangi. Semua di atas kembali membuktikan bahwa struktur yang tumpang-tindih antara yang institusional dengan yang free wheelers memang membikin kacau. Kalau semuanya akur saja, sudah ruwet, apalagi jiak ada ketidakharmonisan yang sedikit banyak dipengaruhi pula oleh watak masing-masing. Lantaran yang paling keras menghadapi Ali Moertopo di dalam tubuh Bakin adalah Jenderal Nicklany, maka Nick pun jadi sasaran tembak. Sampai suatu ketika Pak Harto membicarakan mengenai rencana pemindahan untuk sementara (almarhum) Jenderal Nicklany ke New York sebagai atase militer. Mengenai soal Nick ini, kita sungguh merasakan bahwa itu merupakan keinginan Ali Moertopo karena Ali kelihatan “berat” menghadapi Nick. Kecuali Nick, di Bakin praktis tidak seorang pun berani berhadapan secara konfrontatif terhadap Ali. Mengenai rencana pemindahan Jenderal Nick, saya berpendapat hal tersebut bukan urusan saya melainkan urusan Pak Harto, sebab mereka langsung di bawah Pak Harto. Namun, belakangan saya menyesal juga tidak memberi sekadar saran kepada Pak Harto, karena kemudian saya ketahui bahwa Nick cuma menjadi korban dari manuver Ali. Tapi rencana tidak baik Ali baru saya ketahui setelah Nicklany terlanjur dipindahkan, sehingga saya tidak bisa beruat apa-apa lagi. Dengan maksud menggeser Nick, maka Ali membuat isu bahwa di Jawa Tengah ada gerakan yang hendak mendiskreditkan Pak Harto, di mana tuduhan jatuh kepada Nick. Tersiar kabar bahwa telah beredar isue macam-macam seperti Pak Harto membeli rumah, dan sebagainya. Dilihat urut-urutannya, gerakan tersebut pertama kali dilaporkan melalui Opsus, terus sampai ke lembaga studi tertentu, dan akhirnya dilaporkan ke istana. Kepala Bakin Sutopo Juwono lantas mengadakan rapat staf dan memerintahkan anak buahnya untuk coba melihat ke Jawa Tengah, apa benar ada gerakan mendiskreditkan Presiden. Tim Bakin pun turun ke lapangan, namun mereka tidak menemukan kegiatan apapun di sana. Dan, memang sebenarnya semua itu cuma karangan, cerita reka-reka yang dibikin oleh seseorang. Itu diperkuat oleh keterangan Jenderal Jayus (almarhum) yang menegaskan bahwa Jawa Tengah aman-aman saja. Tapi, segalanya sudah terlambat dan terlanjur dipercaya oleh Presiden. Sempat Pak Harto memanggil pula Panggabean, entah apa kaitannya, dan tak berapa lama Nick dipindah ke Washington pada tahun 1972. Jenderal Topo Juwono pun memprotes Panggabean, dengan mengatakan bahwa kalau memang bersalah, semestinya yang harus disalahkan bukan Nick melainkan Ketua Bakin-nya. Itulah cara Ali Moertopo untuk menggeser Nicklany. Dalam benak Jenderal Topo mulai muncul pertanyaan mungkinkah cara-cara semacam itu akan digunakan Ali Moertopo untuk memukul sasaran yang lebih besar kelak? Ali Moertopo dan Dunia Intelijen (cuplikan dari buku bertajuk “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974”, Heru Cahyono, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998) Halaman 90-94:15[/i] INTELIJEN UNTUK KEPENTINGAN LAIN Kembali ke soal trick-trick Ali Moertopo, ada sedikit cerita. Kebetulan Sutopo Juwono dan Ali Moertopo sedang di Hankam di mana pas sedang ada rapat. Mereka duduk-duduk tidak jauh dari ruang rapat, sehingga bisa mendengar apa yang dibicarakan. Terdengar bahwa Pak Sumrohadi (almarhum) mau diangkat jadi Puspen Hankam. Ali Moertopo seolah-olah tidak acuh. Tapi tidak sampai satu jam, Sutopo Juwono ditelepon oleh Sumrohadi, “Hei benar tidak aku dicalonke karo (dicalonkan oleh) Ali Moertopo untuk jadi Puspen Hankam.” Seraya tertawa dan geleng-geleng kepala Jenderal Topo menjelaskan bahwa itu urusan Hankam dan bukan urusan Ali Moertopo, cuma kebetulan memang ia mendengar pembicaraan mengenai hal itu. “Kalau soal benar memang benar mau dijadikan Puspen Hankam, tapi tidak ada hubungannya dengan Ali Moertopo. Memang kita dengar pembicaraannya itu, tapi cuma dengar, lho wong kita orang luar kok cuma tamu,” kata Topo. Jadi semacam itulah gaya Ali yang secara kurang terpuji memanfaatkan dan memanipulasi informasi untuk kepentingan politik dia. Banyak kejadian seperti itu, “He, kamu sudah saya usulkan jadi gubernur,” kata Ali, yang agaknya tahu banyak mengenai pembicaraan sebelumnya karena ia dekat dengan Pak Harto. Ali menelepon mendahului Mendagri yang mestinya paling berwenang. Kalau yang bersangkutan termakan omongan tersebut, maka “ditarik-tarik tali” untuk dianggap sebagai anak buah Ali Moertopo. Yang demikian terjadi di departemen mana-mana, di Deplu, di Depdagri, dan lain-lain. Kalau menurut saya sebetulnya yang paling mendongkol tapi diam saja adalah Mendagri Amir Machmud, lantaran ia “dipotongi” terus oleh Ali Moertopo. Praktek-praktek semacam ini dulu dipakai pula oleh PKI. Umpamanya, mendatangi perwira yang sedang menjalani pendidikan, lantas mengatakan bahwa seusai pendidikan akan dipromosikan. Ternyata PKI sudah memiliki akses ke Adjen/SUAD 3. Dan, memang yang dijanjikan itu benar-benar terjadi, sehingga otomatis perwira bersangkutan akan merasa berhutang budi kepada PKI. Oleh para bekas anak buahnya Ali Moertopo dikenal sebagai tokoh yang lihai. Abdul Gafur, disuarakan sebagai salah seorang bekas anak buah Ali, sampai-sampai melukiskan Ali dalam operasi-operasinya mirip tokoh kesayangannya Ian Flemming dalam lakonlakon operasi intel James Bond 007. Yang disebut lihai bisa bermakna positif bisa pula negatif. Kala sisi positif yang mengamuka maka kelihaian tersebut akan memberi manfaat bagi kepentingan umum, bangsa dan negara. Tapi saat sisi negatif yang muncul, maka kelihaian digunakan untuk kepentingan-kepentingan sempit seperti ambisi politik pribadi, kepentingan politik segolongan tertentu dengan cara menebar fitnah atau disinformasi dengan maksud menjatuhkan atau menjegal orang-orang yang dianggap bisa menjadi penghalang. Ali Moertopo menjadi tokoh yang sulit diterka saat mengatakan bahwa para sarjana yang ada di CSIS sebagai sarjana advonturir. Kurang jelas bagi saya mengapa ia tega memburuk-burukkan pula kawan seiring. Zulkifli Lubis –yang oleh orang banyak disebut-sebut sebagai bapak intel Indonesia—pun dicap advonturir oleh Ali Moertopo. Ceritanya beberapa anak buah Opsus ketemu Zulkifli Lubis, nah sepanjang pertemuan para anak buah Opsus kelihatan berulang kali mengangguk-anggukan kepala mendengar Zulkifli bicara, entah mungkin didorong oleh rasa kagum atau karena mau menghormati orangtua. Tapi, rupanya Ali Moertopo kurang suka melihat sikap anak buahnya tersebut, maka sepulangnya dari rumah Zulkifli, ia memberi pengarahan, “Eh, untuk apa tadi semua manggut-manggut. Omongan Zulkifli Lubis tidak usah diikuti sebab ia advonturir.” Namun salah satu modus operasi Ali justru adalah dengan mengumpulkan para advonturir, semua kekuatan ia pelihara termasuk bekas DI/TII. Sebagaimana diakuinya, “Yang advonturir bukan tidak ada manfaatnya, semua bermanfaat.” Atau saat ditanya, mengapa orang-orang bekas Permesta (seperti Kolonel Somba, Kolonel Lendi Tumbelaka, dan lain-lain) dimanfaatkan/dipakai lagi, Ali Moertopo berkilah, “Kalau mereka [para bekas Permesta] itu dilepas akan liar, maka lebih baik kita kandangkan.” Jadi, dalam hal ini Ali terpaku pada teori penggalangan yang menggariskan bahwa tidak ada kawan atau lawan, pokoknya siapa pun kalau menyokong akan dijadikan kawan. Ali Moertopo memanfaatkan sementara kekuatan-kekuatan bekas Permesta dan bekas DI/TII, dengan pelbagai pendekatan termasuk insentif material. Inilah taktik Ali dalam memupuk kekuatan-kekuatan demi kepentingan politiknya. Saya tentu saja bertanya-tanya apakah dalam menjalankan teorinya untuk “mengandangkan” para bekas pemberontak itu, Ali juga lapor kepada Pak Harto. Apakah Presiden telah diyakinkan bahwa tindakan tersebut benar, mengingat risikonya yang tidak kecil. Pertanyaan semacam ini pantas dilontarkan mengingat dalam kasus ketegangan di Bakin akibat Ali suka “jalan sendiri” mengumpulkan para bekas DI/TII, ia senantiasa berkelit bahwa tidak perlu bertanggung jawab kepada Ketua Bakin (Badan Koordinasi Intelijen) melainkan kepada Pak Harto. Menurut informasi yang berhasil saya korek, untuk beberapa kasus Ali melaporkannya kepada Presiden, namun beberapa kasus lainnya tidak melapor. Penggalangan terhadap para anggota DI/TII konon lebih banyak tidak dilaporkan, sebab pada tahun 1978 Presiden diberitakan marah besar menyaksikan ada Komando Jihad yang antara lain sempat membangun DI di Jawa Timur melalui Haji Ismail Pranoto (sering dipanggil orang dengan sebutan singkat: Hispran). Komando Jihad adalah hasil penggalangan Ali Moertopo melalui jaringan Hispran di Jatim. Tapi begitu keluar, langsung ditumpas oleh tentara, sehingga menjelang akhir 1970-an ditangkaplah sejumlah mantan DI/TII binaan Ali Moertopo seperti Hispran, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hasan, serta dua putra Kartosoewiryo Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. Kelak ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, terungkap beberapa keanehan. Pengadilan itu sendiri dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan umat Islam. Dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan [tds] umpamanya, dalam persidangan ia mengaku sebagai orang Bakin. “Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin.” [1] Belakangan Danu mati secara misterius, tak lebih dari 24 jam setelah ia keluar penjara, dan konon ia mati diracun. [1] Lihat Tempo, 24 Desember 1983. (tds = tambahan dari saya: Danu Mohammad Hassan dan pasukannya (TII) setelah menyerahkan diri kepada pasukan Ali Moertopo (di Jawa Tengah) kemudian digunakan oleh Ali untuk memata-matai bekas DI/TII. Setiap bulan kebutuhan ekonomisnya dipenuhi Ali Moertopo melalui Giyanto. Salah seorang putra Danu yaitu Helmy Aminuddin, seorang pendiri harakah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin versi Indonesia), yang kelak menjadi komunitas inti Partai Keadilan. Dari sini, ada yang berspekulasi bahwa Partai Keadilan merupakan bikinan intelijen. Hal ini merupakan spekulasi yang menyesatkan. Menurut salah seorang mantan intel Bakin kawan Danu yang kini masih hidup, intelijen memang “mendirikan” partai tapi yang jelas bukan Partai Keadilan) Pemanfaatan kelompok bekas-bekas DI/TII agaknya memang dianggap menguntungkan. Melalui pola “Pancing dan Jaring” [2} para bekas DI itu dikumpulkan lantas dikorbankan (dikirim ke bui) melalui sebuah peristiwa yang semakin mengesankan bahwa Islam senantiasa berkelahi dengan ABRI, senantiasa memberontak, supaya timbul rasa alergi terhadap Islam. [2] Salah satu teori yang biasa dipraktekkan dalam dunia intelijen yang artinya mengajak orang untuk ikut dalam sebuah proyek, tapi orang yang bersangkutan kelak akan dijerumuskan atau dikorbankan. Kelak semua rekayasa dan kerusuhan politik akan terjadi dengan memanfaatkan para bekas DI/TII yang telah digalang itu (“dipancing dan dijaring”): Peristiwa 15 Januari dengan mengorbankan kelompok Ramadi (Ramadi sendiri santer diberitakan mati secara misterius di RSPAD Gatot Subroto), Peristiwa Komando Jihad yang antara lain membawa kematian pada diri Danu Mohammad Hassan, Peristiwa Lapangan Banteng, Peristiwa Woyla. [tds] Alhasil, semua kerusuhan itu pada dasarnya adalah produk rekayasa intelijen. (tds = tambahan dari saya: Peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla, merupakan keberhasilan provokasi Najamuddin, intel Bakin yang menyusup ke dalam jama’ah Imran). Semoga tulisan mengenai Ali Moertopo dan Dunia Intelijen bermanfaat sumber //swaramuslim.net/more.php?id=A457_0_1_0_M“>

Senin, 12 Desember 2011

Reformasi Polri

Oleh :
Bambang Widodo Umar
Pengajar Program Pascasarjana KIK – UI


Perkembangan Kepolisian
Lahirnya organisasi kepolisian modern di Indonesia dikenal setelah masuknya koloni negara Eropa ke Nusantara. Organisasi kepolisian modern yang pertama adalah Bailluw. Lembaga itu muncul di Batavia tahun 1620 fungsinya untuk melindungi orang-orang Belanda yang bekerja di Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Kemudian tahun 1897 Direktur Yustisi dan Binnenlandsch Bestuur mengubah Bailluw menjadi Polisi Kota, Polisi Pamong Praja (Bestuurspolitie), Polisi Lapangan (Veldpolitie), Polisi Umum (Algemeene Politie), Reserse (Gewestelijke Recherche), Polisi Perkebunan (Cultuurpolitie), Polisi Tambang, Polisi Pasar, Polisi Pengawas Jalan dan Bangunan, Polisi Laut, dan tahun 1912 membentuk Polisi Bersenjata.
Masa penjajahan Jepang, jenis-jenis kepolisian pada masa penjajahan Belanda dihapuskan diganti dengan satu susunan kepolisian saja. Pengorganisasiannya secara regional, tidak sentralistik seperti masa penjajahan Belanda. Namun pembentukannya tetap oleh pemerintah pusat (Jepang). Secara doktriner kedua bentuk kepolisian itu fungsinya untuk mengamankan pemerintah jajahan (Hindia Belanda maupun Jepang).
Setelah proklamasi kemerdekaan Negara Republik lndonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945 membentuk kepolisian negara berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 1 Okotober 1945, yang berkedudukan di dalam Kementerian Dalam Negeri. Pada tanggal 1 Juli 1946 berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 11/S.D kepolisian menjadi jawatan tersendiri, dan berada di bawah Perdana Menteri. Tahun 1960 MPRS mengeluarkan Ketetapan No 11/1960 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara adalah angkatan bersenjata, yang kemudian ditegaskan dengan UU No. 13 Tahun 1961 tentang Pokok Pokok Kepolisian Negara, bahwa polisi adalah bagian dari ABRl.
Pengintegrasian itu telah menimbulkan berbagai masalah di mana fungsi, tugas, dan perannya menjadi kontradiksi. Ini disebabkan oleh doktrin Dwi Fungsi ABRI yang menambah fungsi TNI dan Polri dalam bidang sosial politik. Dengan kekuasaan yang sangat besar dilekatkan pada kepolisian tersebut telah mengubah perilakunya menjadi penguasa hukum di masyarakat. Polisi di masyarakat bekerja dengan mengedepankan tindakan represif daripada preventif. Hal ini berlangsung hingga tahun 1998, kemudian terjadi reformasi dan keluarlah Tap MPR No.VI/MPR/2000 yang memisahkan Polri dari TNI, dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 menegaskan batasan fungsi masing-masing.
Melihat proses pembentukan organisasi kepolisian di Indonesia yang pertama oleh pemerintah, dapat dikatakan bahwa doktrin kepolisian yang dianut adalah state police atau kepolisian negara, dan doktrin itupun masih berlaku hingga saat ini.

Dinamika Ancaman Keamanan
Pengaruh global sesudah berakhirnya perang dingin awal 1990-an antara blok negara kapitalis dengan blok negara komunis ialah, timbulnya tipe baru dalam dunia keamanan. Tipe konflik yang merambah negara-negara maju lebih didasarkan pada soal keagamaan, etnis dan tindak pidana non-konvensional, sedangkan di negara-negara berkembang berlatar belakang ekonomi yang menjurus ke budaya kekerasan (culture of violence). Keduanya sama-sama melibatkan oknum militer, meski di negara berkembang belum sampai pada pengorganisasian dengan komando yang jelas. Namun runtuhnya wibawa peradilan ikut menyemarakkan tumbuhnya kriminalitas. Yang mengejutkan adalah, laju peredaran dan penggunaan obat-obat terlarang telah menyusup dikalangan masyarakat kelas bawah dan ada indikasi keterlibatan petinggi pemerintahan dalam perdagangan narkotika (Itali, Thailand, Panama, dan Columbia).
Typical dan intensitas kejahatan pun mengalami pergeseran yang mengarah pada kualitas baik dalam hal pelaku, alat, waktu maupun sasaran kejahatan. Modus operandi juga bergeser ke arah konspirasi jahat, di mana apabila salah satu pihak tertangkap dan membuka rahasia pihak lain bisa dipastikan akan menerima akibat yang fatal. Dimensi kejahatan sebagai dampak negatif dari pembangunan telah menyusup di bidang-bidang kehidupan baik di bidang politik, sosial-budaya, hukum maupun peradilan, demikian pula terhadap kehidupan beragama, dan kehidupan keluarga.
Ancaman dibidang keamanan tersebut menunjukkan indikasi perubahan bentuk. Masalah keamanan yang semula terkait dengan perilaku menyimpang dari aturan-aturan normatif kini cenderung berubah menjadi patologi sosial. Kesenjangan ekonomi menjadi faktor determinan timbulnya pola yang mengarah ke bentuk kejahatan. Hal ini didukung oleh temuan hasil penelitian United Nations Development Program (UNDP) yang dilakukan tahun 1994 tentang human development antara lain melaporkan bahwa, terdapat korelasi antara bidang keamanan dengan pembangunan ekonomi. Salah satu rekomendasinya menyatakan bahwa dalam rangka pembangunan perlu disusun upaya mencapai kebebasan kembar (twin freedoms), yaitu kebebasan manusia dari rasa takut dan kebebasan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup (living condation). Dari pemikiran itu lahirlah perspektif keamanan manusia (human security) yang tidak dapat dipisahkan dengan perspektif kesejahteraan (prosperity) dalam proses pembangunan.
Keamanan manusia dalam konteks pembangunan tidak dapat dicapai hanya dengan membenahi ekonomimakro melalui perimbangan neraca perdagangan, efisiensi pengeluaran sektor publik, serta penghapusan subsidi. Pembangunan yang berorientasi keamanan manusia pada dasarnya untuk menghilangkan kemiskinan dan kesenjangan sosial melalui pertumbuhan ekonomi makro dan mikro secara seimbang, dilandasi pula dengan investasi dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (Elson, 1997).
Pendekatan keamanan manusia menuntut diwujudkannya : (1) Keadilan hukum; (2) Penyelesaian konflik secara damai; (3) Pelarangan kekerasan; (4) Demokratisasi ekonomi; (5) Demokratisasi hukum (peradilan); (6) Perubahan umur kerja; (7) Simetri dalam informasi; (8) Multikulturalisme dan multireligionisme; (9) Perhatian terhadap hak hak manusia dengan relativisme kultural; (10) Pengaturan sistem keamanan; (11) Demokratisasi pendidikan dan layanan kesehatan; (12) Ekoteknologi; (13) Pengusangan perang dan kekerasan; (14) Pelestarian lingkungan; dan (15) Demokratisasi lembaga internasional maupun transnasional (Hampson, 2002).


Reformasi POLRI
Reformasi Polri dimulai sejak dipisahkannya organisasi kepolisian dari militer berdasarkan TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI, dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peranan Polri dan TNI. Selanjutnya Polri menyusun Buku Biru “Reformasi Menuju Polri Yang Profesional”, yang isinya adalah konsepsi tentang perubahan Polri dari aspek struktural meliputi perubahan posisi organisasi di dalam ketatanegaraan, struktur dan susunan jabatan. Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi, doktrin, fungsi, kewenangan, dan kompetensinya. Aspek kultural meliputi perubahan sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem anggaran, sistem kepegawaian, manajemen dan operasional kepolisian.
Konsep reformasi Polri tersebut sebenarnya masih terdapat ketidakjelasan dalam hal (1) Paradigma Polri berkaitan dengan sistem keamanan dalam negeri yang selaras dengan UU Pertahanan No. 3 Tahun 2002, UU Pemerintahan No. 32 Tahun 2004, , UU TNI No. 34 Tahun 2004; (2) Netralitas Polri dalam posisinya di bawah Presiden selaku kepala pemerintahan; (3) Hubungan secara sistemik antara Polri dengan PPNS, dan satuan-satuan pengamanan lainnya; (4) Bisnis polisi melalui yayasan Polri; dan (5) Lembaga eksternal pengawas anggota Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
Dalam proses reformasi, elit politik telah mendudukan otonomi kepolisian secara luas, seperti menempatkan Polri di bawah Presiden, struktur kepolisian terpusat, mandiri dalam sistem penyidikan tindak pidana, mandiri dalam sistem kepegawaian, mandiri dalam sistem anggaran, hal ini mengakibatkan Polri cenderung menjadi bagian dari suatu rezim kekuasaan yang menjauhkan diri dari kapasitas kontrol masyarakat.
Pelaksanaan reformasi Polri juga bersifat konvensional. Hal ini dapat dilihat dari (1) Pelaksanaannya secara top down, di mana satuan wilayah sekedar sebagai pelaksana kebijakan; (2) Tidak disertai ruang bagi satuan bawah untuk melakukan inovasi; (3) Tidak disertai reward and punishment; dan (4) Tidak disertai jaminan bahwa setiap pergantian pimpinan tidak akan terjadi perubahan kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin sebelumnya.
Reformasi di bidang rekrutmen masih terdengar suara sumbang di mana untuk masuk sekolah bintara harus mengeluarkan sejumlah biaya. Juga untuk masuk Secapa, Selapa, PTIK, Sespim Polri, maupun Sespati Polri. Setidaknya perlu ada hubungan baik dengan pemegang wewenang di lingkungan pendidikan tersebut. Demikian pula dalam pelaksanaan pendidikan masih menganut metode pengajaran yang bersifat militer seperti cara pengajaran yang bersifat instruktif, kurang bersifat dialogis. Pengetahuan yang diajarkan bersifat doktriner (Juklak, Juknis, Perkap dll), masih banyak mata pelajaran di dalam kelas kurang pelajaran yang bersifat membangun ketrampilan. Para pendidik kurang profesional (bukan asli dosen tetapi anggota polisi yang dipindahkan selaku Gadik). Di bidang anggaran telah dicapai perubahan sistem penganggaran yang cukup baik untuk mengurangi kebocoran dana. Di bidang kepegawaian telah dicapai sistem penggolongan sendiri. Di bidang operasional masih menggunakan manajemen operasional militer, baik dalam operasi rutin maupun operasi khusus.
Sebagaimana diatur pasal 5 (2) UU No. 2 Tahun 2002, kepolisian di Indonesia merupakan polisi nasional. Dalam konteks struktural, akuntabilitas polisi dari tingkat Polsek (Kapolsek) secara hirarkis bertanggungjawab ke Mabes Polri (Kapolri). Sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya dalam hal pengendalian polisi dapat berjalan efektif dari kesatuan atas hingga ke kesatuan bawah. Kelemahannya kurang responsif terhadap tuntutan masyarakat apalagi terhadap masyarakat lokal. Demikian pula rentan akan politisasi penguasa sehingga kurang berperan memenuhi kepentingan masyarakat umum.
Alasan klasik mengapa Polri sampai terlibat dalam usaha bisnis adalah untuk mendukung kesejahteraan anggota atau untuk menambah pendapatan pribadi karena masih terbatas. Ada tiga bentuk usaha yang terkait dengan bisnis Polri, yaitu koperasi, yayasan, dan perorangan. Usaha itu sudah berlangsung sejak masa Orde Baru berkuasa, sewaktu Polri masih bergabung dalam ABRI. Di lingkungan Polri, bisnis itu ada yang sejalan dengan wewenang yang dimiliki, seperti bisnis di bidang pengadaan sarana administrasi SIM, STNK, BPKB (SSB), plat nomor kendaraan, dan asuransi kecelakaan lalu-lintas. Usaha pengadaan SSB yang dilakukan oleh Inkopol sejak 2004 telah dimasukkan ke dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak.
Bisnis Polri dapat juga berlangsung dalam hubungan pertemanan antara polisi dengan pengusaha yang dilandasi dengan sifat patron klien. Pengusaha punya uang, sedangkan polisi punya kekuasaan hukum. Hubungan antara pelindung dengan yang dilindungi secara timbal balik, ada kalanya polisi sebagai pelindung ketika pengusaha terjerat pada sutau perbuatan melanggar hukum, dan juga sebaliknya pengusaha bisa menjadi pelindung ketika polisi membutuhkan dukungan untuk menembus otoritas atasan dalam rangka mengejar karir, atau membantu usaha untuk kenaikan pangkat, mendapatkan jabatan, masuk pendidikan, atau menetralisir hubungan dengan atasan yang kurang baik. Dari sinilah kerusakan moral polisi itu sangat mungkin terjadi.
Dampak bisnis Polri terhadap kehidupan di bidang sosial politik dan ekonomi adalah karena bisnis Polri itu dimungkinkan sejalan dengan kewenangannya, maka dapat terjadi monopoli dalam suatu usaha, misalnya dalam pengelolaan SIM, STNK, BPKB, Plat Nomor Kendaraan. Hal ini secara administratif menjadi peluang timbulnya kolusi antara petugas Polri dengan pelaksana bisnis Polisi sehingga kemungkinan-kemungkinan terjadinya manipulasi pemasukan baik ke kas negara maupun ke yayasan Polisi sendiri sangat besar.
Bidang pengawasan internal belum dapat menjamin akses publik lebih efektif mendeteksi dan menindaklanjuti setiap penyimpangan dan laporan/pengaduan atas sikap/tindakan anggota polisi yang melanggar disiplin, serta mengembangkan standar profesi/kode etik yang rasional dan menjamin keikutsertaan publik dalam pemantauan kebijakan dan penerapannya terutama yang berkaitan dengan pemberantasan KKN. Di sisi lain lembaga eksternal untuk mengawasi aktivitas polisi dalam melaksanakan tugas sehari-hari belum ada.
Dari uraian di atas tampak bahwa, tindak lanjut pemisahan Polri dari TNI belum mampu mengubah identitas Polri. Kebutuhan politik praktis seperti mengabaikan aspek mendasar dalam melakukan pembaharuan lembaga kepolisian secara keseluruhan. Pemisahan Polri dari TNI yang diharapkan dapat mengubah polisi yang militeristik menjadi polisi sipil yang independen tampak menjadi paradok dengan realitas politik. Bahkan ada kekhawatiran pemisahan itu menjadi pintu masuk bagi political performance kekuasaan transisi dari krisis legitimasi sosial yang hingga kini masih dihadapi.
Proyeksi Reformasi Polri
Setelah ± sebelas tahun reformasi Polri berlangsung sejalan dengan reformasi bidang politik banyak hal yang perlu dibenahi agar terarah sesuai dengan tujuannya. Secara umum dapat dikatakan, hingga kini reformasi Polri baru menyentuh aspek instrumental dan aspek struktural secara terbatas, sedangkan dari aspek kultural masih dalam taraf mencari bentuk “polisi sipil”. Karena itu reformasi Polri yang dijabarkan dalam Buku Biru “Reformasi Menuju Polri Yang Profesional” perlu ditata ulang agar lebih terarah untuk membangun polisi yang mandiri, profesional dan akuntabel dalam menjalankan tugasnya.
Penataan sistem kepolisian yang sesuai dengan alam demokrasi perlu dilakukan secara mendasar, adapun bidang-bidang yang perlu dibenahi adalah :
a. Bidang sistem kepolisian. Menata ulang pengorganisasian Polri yang selaras dengan sistem pemerintahan (otonomi daerah) dengan pilihan alternatif. Alternatif pertama, melembagakan “dekonsentrasi” kepolisian di mana tugas-tugas kepolisian di daerah dikoordinasikan kepada Gubernur sebagai kepala daerah, bersama para Kanwil dari departemen-departemen, sedangkan kepolisian nasional bertanggungjawab kepada Menkopolkam. Alternatif kedua, melembagakan “desentaralisasi” kepolisian di mana pertanggungjawaban tugas kepolisian didaerah kepada Gubernur selaku kepala daerah, sedangkan kepolisian nasional bertanggungjawab kepada Mendagri. Dari kedua model tersebut tugas kepolisian nasional adalah sebagai penegak hukum saja. Sejalan dengan hal itu perlu dibetulkan rumusan fungsi “Kompolnas” yang tercantum dalam UU No. 2 tahun 2002, bukan sekedar penasehat Presiden dalam bidang kepolisian, ikut memberi pertimbangan pemilihan Kapolri dan menerima keluhan masyarakat akan tetapi fungsi utamanya adalah “mengawasi” kinerja Polri dan memiliki kewenangan “investigasi” terhadap terhadap anggota maupun pejabat Polri yang melanggar undang-undang dalam menjalankan tugasnya. Dalam kaitan ini “penanggungjawab” keamanan dalam negeri adalah pada Mendagri bukan Kapolri, sebab sesungguhnya Polri hanyalah alat Negara. Untuk itu perlu dilakukan amandemen UU Polri, dan UU Pemerintahan.
b. Bidang perubahan kultur Polri. Dengan mengacu pada pembenahan kultur yang telah dilakukan Polri perlu pula disertai dengan instruksi (Presiden) agar Polri melepas seluruh simbol-simbol militer yang melekat dalam organisasi, administrasi, manajemen, pendidikan maupun personal polisi.
c. Bidang pembinaan sumber daya manusia polisi. Pembenahan terhadap sistem rekrutmen, pendidikan/pelatihan, dan pengembangan karier diarahkan untuk dikelola secara transparan, tidak memihak dan mengacu pada ketentuan merit system. Dalam kaitan ini untuk pengangkatan dan pemberhentian pimpinan polisi di kewilayahan harus mengakomodir penilaian publik dan pimpinaa formal/non formal setempat.
d. Bidang perbendaharaan. Penerapan sistem manajemen anggaran/keuangan yang transparan dan akuntabel, dengan sistem alokasi anggaran yang rasional terutama yang menyangkut kesejahteraan personel juga untuk menjamin tersalurkannya secara utuh agar dapat digunakan secara tepat dan efisien seluruh dukungan anggaran yang disediakan. Termasuk pengambilalihan dana non APBN yang diperoleh dari bisnis pada yayasan Polri, bantuan masyarakat, pemerintah daerah dan sumber lain untuk dimasukkan ke Kas Negara. Selain itu pangembangan manajemen logistik dalam hal pengadaan material dan pembangunan fasilitas termasuk inventarisasi kekayaan milik negara. Dalam hal ini diperlukan fungsi kontrol dari dewan agar lebih terarah pada sasaran program kerja Polri dan implementasinya secara valid dan terukur.
e. Bidang operasional. Perumusan kebijakan pengendalian diskresi terutama dalam penggunaan upaya paksa dan upaya kekerasan melalui kejelasan dalam prosedur tetap (Protap) atau peraturan Kapolri (Perkap) penegakan hukum, pengaturaan, penjagaan, patroli, dan pembenahan administrasi penanganan perkara (supaya setiap laporan/ pengaduan diadministrasikan dan diproses sesuai prosedur hukum, dikelola secara bertanggungjawab dan terbuka bagi akses publik). Perubahan pendekatan tugas yang berorientasi pelayanan dan perlindungan, serta pembinaan hubungan kemitraan yang akrab antara polisi dan masyarakat dalam penyelesaian perkara ringan khususnya pertikaian antar warga. Dalam strategi ini juga dikembangkan kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait dengan upaya pencegahan kejahatan aksi teror, anarkis, pemaksaan kehendak dan penyakit penyakit masyarakat yang meresahkan kehidupan.
f. Bidang pengawasan internal. Pengembangan sistem pengawasan manajerial dan personal (Irwasum, Irwasda, Divpropam Polri, Divpropam Polda) yang menjamin akses publik secara efektif mendeteksi dan menindaklanjuti adanya penyimpangan manajemen dan laporan/pengaduan dari masyarakat tentang sikap/tindakan anggota polisi yang melanggar disiplin, dan menerapkan standar profesi secara rasional serta menjamin keikutsertaan publik dalam pemantauan kebijakan dan penerapannya terutama yang berkaitan dengan pemberantasan KKN.

P e n u t u p
Pada dasarnya reformasi Polri merupakan suatu upaya menentukan fungsi yang sesuai dengan kewenangannya dalam kaidah masyarakat demokrasi. Reformasi Polri seyogyanya ditentukan melalui proses dua arah, antara kebutuhan masyarakat akan rasa aman dan kebijakan nasional pada lapis otoritas politik beserta segenap perangkat politiknya, kesadaran dan pemahaman elit pejabat Polri untuk menyadari akan peran dan posisinya dalam membangun system kepolisian sebagai bagian dari demokratis.
Untuk menjamin pelaksanaan reformasi Polri dapat sesuai dengan sasaran dan program-program yang telah ditetapkan, diperlukan pengawasan secara non formal, cermat dan konsisten oleh masyakat sipil dengan memberi masukan kepada pemegang kebijakan secara terus-menerus. Selain itu juga ketepatan perumusan Renstra Polri dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR.



Bacaan :
Edwards, Charles. 1999. Changing Policing Theori, for 21st Century Societies. The Federation Press. Australia.

Friedmann, R. Robert. 1998. Community Policing, Comparative Perspectives and Prospect. Harvester Wheatsheaf. New York.

Hampson, Fen Osler, et.al. 2002. Madness in the Multitude: Human Security and World Disorder. Oxford: Oxford University Press.

Mabes Polri. 1999. Reformasi Menuju POLRI Yang Profesional.

Reiner, Robert. 1996. The Politics of the Police. Oxford University Press. New York.

Sutanto. 2005. Refleksi Pemikiran “POLRI Menuju Era Baru Pacu Kinerja Tingkatkan Citra”. Jakarta. KIK – UI Press.

United Nations Development Program (UNDP), 1994. Human Development Report. New York: Oxford University Press.