Senin, 12 Desember 2011

Reformasi Polri

Oleh :
Bambang Widodo Umar
Pengajar Program Pascasarjana KIK – UI


Perkembangan Kepolisian
Lahirnya organisasi kepolisian modern di Indonesia dikenal setelah masuknya koloni negara Eropa ke Nusantara. Organisasi kepolisian modern yang pertama adalah Bailluw. Lembaga itu muncul di Batavia tahun 1620 fungsinya untuk melindungi orang-orang Belanda yang bekerja di Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Kemudian tahun 1897 Direktur Yustisi dan Binnenlandsch Bestuur mengubah Bailluw menjadi Polisi Kota, Polisi Pamong Praja (Bestuurspolitie), Polisi Lapangan (Veldpolitie), Polisi Umum (Algemeene Politie), Reserse (Gewestelijke Recherche), Polisi Perkebunan (Cultuurpolitie), Polisi Tambang, Polisi Pasar, Polisi Pengawas Jalan dan Bangunan, Polisi Laut, dan tahun 1912 membentuk Polisi Bersenjata.
Masa penjajahan Jepang, jenis-jenis kepolisian pada masa penjajahan Belanda dihapuskan diganti dengan satu susunan kepolisian saja. Pengorganisasiannya secara regional, tidak sentralistik seperti masa penjajahan Belanda. Namun pembentukannya tetap oleh pemerintah pusat (Jepang). Secara doktriner kedua bentuk kepolisian itu fungsinya untuk mengamankan pemerintah jajahan (Hindia Belanda maupun Jepang).
Setelah proklamasi kemerdekaan Negara Republik lndonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945 membentuk kepolisian negara berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 1 Okotober 1945, yang berkedudukan di dalam Kementerian Dalam Negeri. Pada tanggal 1 Juli 1946 berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 11/S.D kepolisian menjadi jawatan tersendiri, dan berada di bawah Perdana Menteri. Tahun 1960 MPRS mengeluarkan Ketetapan No 11/1960 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara adalah angkatan bersenjata, yang kemudian ditegaskan dengan UU No. 13 Tahun 1961 tentang Pokok Pokok Kepolisian Negara, bahwa polisi adalah bagian dari ABRl.
Pengintegrasian itu telah menimbulkan berbagai masalah di mana fungsi, tugas, dan perannya menjadi kontradiksi. Ini disebabkan oleh doktrin Dwi Fungsi ABRI yang menambah fungsi TNI dan Polri dalam bidang sosial politik. Dengan kekuasaan yang sangat besar dilekatkan pada kepolisian tersebut telah mengubah perilakunya menjadi penguasa hukum di masyarakat. Polisi di masyarakat bekerja dengan mengedepankan tindakan represif daripada preventif. Hal ini berlangsung hingga tahun 1998, kemudian terjadi reformasi dan keluarlah Tap MPR No.VI/MPR/2000 yang memisahkan Polri dari TNI, dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 menegaskan batasan fungsi masing-masing.
Melihat proses pembentukan organisasi kepolisian di Indonesia yang pertama oleh pemerintah, dapat dikatakan bahwa doktrin kepolisian yang dianut adalah state police atau kepolisian negara, dan doktrin itupun masih berlaku hingga saat ini.

Dinamika Ancaman Keamanan
Pengaruh global sesudah berakhirnya perang dingin awal 1990-an antara blok negara kapitalis dengan blok negara komunis ialah, timbulnya tipe baru dalam dunia keamanan. Tipe konflik yang merambah negara-negara maju lebih didasarkan pada soal keagamaan, etnis dan tindak pidana non-konvensional, sedangkan di negara-negara berkembang berlatar belakang ekonomi yang menjurus ke budaya kekerasan (culture of violence). Keduanya sama-sama melibatkan oknum militer, meski di negara berkembang belum sampai pada pengorganisasian dengan komando yang jelas. Namun runtuhnya wibawa peradilan ikut menyemarakkan tumbuhnya kriminalitas. Yang mengejutkan adalah, laju peredaran dan penggunaan obat-obat terlarang telah menyusup dikalangan masyarakat kelas bawah dan ada indikasi keterlibatan petinggi pemerintahan dalam perdagangan narkotika (Itali, Thailand, Panama, dan Columbia).
Typical dan intensitas kejahatan pun mengalami pergeseran yang mengarah pada kualitas baik dalam hal pelaku, alat, waktu maupun sasaran kejahatan. Modus operandi juga bergeser ke arah konspirasi jahat, di mana apabila salah satu pihak tertangkap dan membuka rahasia pihak lain bisa dipastikan akan menerima akibat yang fatal. Dimensi kejahatan sebagai dampak negatif dari pembangunan telah menyusup di bidang-bidang kehidupan baik di bidang politik, sosial-budaya, hukum maupun peradilan, demikian pula terhadap kehidupan beragama, dan kehidupan keluarga.
Ancaman dibidang keamanan tersebut menunjukkan indikasi perubahan bentuk. Masalah keamanan yang semula terkait dengan perilaku menyimpang dari aturan-aturan normatif kini cenderung berubah menjadi patologi sosial. Kesenjangan ekonomi menjadi faktor determinan timbulnya pola yang mengarah ke bentuk kejahatan. Hal ini didukung oleh temuan hasil penelitian United Nations Development Program (UNDP) yang dilakukan tahun 1994 tentang human development antara lain melaporkan bahwa, terdapat korelasi antara bidang keamanan dengan pembangunan ekonomi. Salah satu rekomendasinya menyatakan bahwa dalam rangka pembangunan perlu disusun upaya mencapai kebebasan kembar (twin freedoms), yaitu kebebasan manusia dari rasa takut dan kebebasan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup (living condation). Dari pemikiran itu lahirlah perspektif keamanan manusia (human security) yang tidak dapat dipisahkan dengan perspektif kesejahteraan (prosperity) dalam proses pembangunan.
Keamanan manusia dalam konteks pembangunan tidak dapat dicapai hanya dengan membenahi ekonomimakro melalui perimbangan neraca perdagangan, efisiensi pengeluaran sektor publik, serta penghapusan subsidi. Pembangunan yang berorientasi keamanan manusia pada dasarnya untuk menghilangkan kemiskinan dan kesenjangan sosial melalui pertumbuhan ekonomi makro dan mikro secara seimbang, dilandasi pula dengan investasi dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (Elson, 1997).
Pendekatan keamanan manusia menuntut diwujudkannya : (1) Keadilan hukum; (2) Penyelesaian konflik secara damai; (3) Pelarangan kekerasan; (4) Demokratisasi ekonomi; (5) Demokratisasi hukum (peradilan); (6) Perubahan umur kerja; (7) Simetri dalam informasi; (8) Multikulturalisme dan multireligionisme; (9) Perhatian terhadap hak hak manusia dengan relativisme kultural; (10) Pengaturan sistem keamanan; (11) Demokratisasi pendidikan dan layanan kesehatan; (12) Ekoteknologi; (13) Pengusangan perang dan kekerasan; (14) Pelestarian lingkungan; dan (15) Demokratisasi lembaga internasional maupun transnasional (Hampson, 2002).


Reformasi POLRI
Reformasi Polri dimulai sejak dipisahkannya organisasi kepolisian dari militer berdasarkan TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI, dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peranan Polri dan TNI. Selanjutnya Polri menyusun Buku Biru “Reformasi Menuju Polri Yang Profesional”, yang isinya adalah konsepsi tentang perubahan Polri dari aspek struktural meliputi perubahan posisi organisasi di dalam ketatanegaraan, struktur dan susunan jabatan. Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi, doktrin, fungsi, kewenangan, dan kompetensinya. Aspek kultural meliputi perubahan sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem anggaran, sistem kepegawaian, manajemen dan operasional kepolisian.
Konsep reformasi Polri tersebut sebenarnya masih terdapat ketidakjelasan dalam hal (1) Paradigma Polri berkaitan dengan sistem keamanan dalam negeri yang selaras dengan UU Pertahanan No. 3 Tahun 2002, UU Pemerintahan No. 32 Tahun 2004, , UU TNI No. 34 Tahun 2004; (2) Netralitas Polri dalam posisinya di bawah Presiden selaku kepala pemerintahan; (3) Hubungan secara sistemik antara Polri dengan PPNS, dan satuan-satuan pengamanan lainnya; (4) Bisnis polisi melalui yayasan Polri; dan (5) Lembaga eksternal pengawas anggota Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
Dalam proses reformasi, elit politik telah mendudukan otonomi kepolisian secara luas, seperti menempatkan Polri di bawah Presiden, struktur kepolisian terpusat, mandiri dalam sistem penyidikan tindak pidana, mandiri dalam sistem kepegawaian, mandiri dalam sistem anggaran, hal ini mengakibatkan Polri cenderung menjadi bagian dari suatu rezim kekuasaan yang menjauhkan diri dari kapasitas kontrol masyarakat.
Pelaksanaan reformasi Polri juga bersifat konvensional. Hal ini dapat dilihat dari (1) Pelaksanaannya secara top down, di mana satuan wilayah sekedar sebagai pelaksana kebijakan; (2) Tidak disertai ruang bagi satuan bawah untuk melakukan inovasi; (3) Tidak disertai reward and punishment; dan (4) Tidak disertai jaminan bahwa setiap pergantian pimpinan tidak akan terjadi perubahan kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin sebelumnya.
Reformasi di bidang rekrutmen masih terdengar suara sumbang di mana untuk masuk sekolah bintara harus mengeluarkan sejumlah biaya. Juga untuk masuk Secapa, Selapa, PTIK, Sespim Polri, maupun Sespati Polri. Setidaknya perlu ada hubungan baik dengan pemegang wewenang di lingkungan pendidikan tersebut. Demikian pula dalam pelaksanaan pendidikan masih menganut metode pengajaran yang bersifat militer seperti cara pengajaran yang bersifat instruktif, kurang bersifat dialogis. Pengetahuan yang diajarkan bersifat doktriner (Juklak, Juknis, Perkap dll), masih banyak mata pelajaran di dalam kelas kurang pelajaran yang bersifat membangun ketrampilan. Para pendidik kurang profesional (bukan asli dosen tetapi anggota polisi yang dipindahkan selaku Gadik). Di bidang anggaran telah dicapai perubahan sistem penganggaran yang cukup baik untuk mengurangi kebocoran dana. Di bidang kepegawaian telah dicapai sistem penggolongan sendiri. Di bidang operasional masih menggunakan manajemen operasional militer, baik dalam operasi rutin maupun operasi khusus.
Sebagaimana diatur pasal 5 (2) UU No. 2 Tahun 2002, kepolisian di Indonesia merupakan polisi nasional. Dalam konteks struktural, akuntabilitas polisi dari tingkat Polsek (Kapolsek) secara hirarkis bertanggungjawab ke Mabes Polri (Kapolri). Sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya dalam hal pengendalian polisi dapat berjalan efektif dari kesatuan atas hingga ke kesatuan bawah. Kelemahannya kurang responsif terhadap tuntutan masyarakat apalagi terhadap masyarakat lokal. Demikian pula rentan akan politisasi penguasa sehingga kurang berperan memenuhi kepentingan masyarakat umum.
Alasan klasik mengapa Polri sampai terlibat dalam usaha bisnis adalah untuk mendukung kesejahteraan anggota atau untuk menambah pendapatan pribadi karena masih terbatas. Ada tiga bentuk usaha yang terkait dengan bisnis Polri, yaitu koperasi, yayasan, dan perorangan. Usaha itu sudah berlangsung sejak masa Orde Baru berkuasa, sewaktu Polri masih bergabung dalam ABRI. Di lingkungan Polri, bisnis itu ada yang sejalan dengan wewenang yang dimiliki, seperti bisnis di bidang pengadaan sarana administrasi SIM, STNK, BPKB (SSB), plat nomor kendaraan, dan asuransi kecelakaan lalu-lintas. Usaha pengadaan SSB yang dilakukan oleh Inkopol sejak 2004 telah dimasukkan ke dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak.
Bisnis Polri dapat juga berlangsung dalam hubungan pertemanan antara polisi dengan pengusaha yang dilandasi dengan sifat patron klien. Pengusaha punya uang, sedangkan polisi punya kekuasaan hukum. Hubungan antara pelindung dengan yang dilindungi secara timbal balik, ada kalanya polisi sebagai pelindung ketika pengusaha terjerat pada sutau perbuatan melanggar hukum, dan juga sebaliknya pengusaha bisa menjadi pelindung ketika polisi membutuhkan dukungan untuk menembus otoritas atasan dalam rangka mengejar karir, atau membantu usaha untuk kenaikan pangkat, mendapatkan jabatan, masuk pendidikan, atau menetralisir hubungan dengan atasan yang kurang baik. Dari sinilah kerusakan moral polisi itu sangat mungkin terjadi.
Dampak bisnis Polri terhadap kehidupan di bidang sosial politik dan ekonomi adalah karena bisnis Polri itu dimungkinkan sejalan dengan kewenangannya, maka dapat terjadi monopoli dalam suatu usaha, misalnya dalam pengelolaan SIM, STNK, BPKB, Plat Nomor Kendaraan. Hal ini secara administratif menjadi peluang timbulnya kolusi antara petugas Polri dengan pelaksana bisnis Polisi sehingga kemungkinan-kemungkinan terjadinya manipulasi pemasukan baik ke kas negara maupun ke yayasan Polisi sendiri sangat besar.
Bidang pengawasan internal belum dapat menjamin akses publik lebih efektif mendeteksi dan menindaklanjuti setiap penyimpangan dan laporan/pengaduan atas sikap/tindakan anggota polisi yang melanggar disiplin, serta mengembangkan standar profesi/kode etik yang rasional dan menjamin keikutsertaan publik dalam pemantauan kebijakan dan penerapannya terutama yang berkaitan dengan pemberantasan KKN. Di sisi lain lembaga eksternal untuk mengawasi aktivitas polisi dalam melaksanakan tugas sehari-hari belum ada.
Dari uraian di atas tampak bahwa, tindak lanjut pemisahan Polri dari TNI belum mampu mengubah identitas Polri. Kebutuhan politik praktis seperti mengabaikan aspek mendasar dalam melakukan pembaharuan lembaga kepolisian secara keseluruhan. Pemisahan Polri dari TNI yang diharapkan dapat mengubah polisi yang militeristik menjadi polisi sipil yang independen tampak menjadi paradok dengan realitas politik. Bahkan ada kekhawatiran pemisahan itu menjadi pintu masuk bagi political performance kekuasaan transisi dari krisis legitimasi sosial yang hingga kini masih dihadapi.
Proyeksi Reformasi Polri
Setelah ± sebelas tahun reformasi Polri berlangsung sejalan dengan reformasi bidang politik banyak hal yang perlu dibenahi agar terarah sesuai dengan tujuannya. Secara umum dapat dikatakan, hingga kini reformasi Polri baru menyentuh aspek instrumental dan aspek struktural secara terbatas, sedangkan dari aspek kultural masih dalam taraf mencari bentuk “polisi sipil”. Karena itu reformasi Polri yang dijabarkan dalam Buku Biru “Reformasi Menuju Polri Yang Profesional” perlu ditata ulang agar lebih terarah untuk membangun polisi yang mandiri, profesional dan akuntabel dalam menjalankan tugasnya.
Penataan sistem kepolisian yang sesuai dengan alam demokrasi perlu dilakukan secara mendasar, adapun bidang-bidang yang perlu dibenahi adalah :
a. Bidang sistem kepolisian. Menata ulang pengorganisasian Polri yang selaras dengan sistem pemerintahan (otonomi daerah) dengan pilihan alternatif. Alternatif pertama, melembagakan “dekonsentrasi” kepolisian di mana tugas-tugas kepolisian di daerah dikoordinasikan kepada Gubernur sebagai kepala daerah, bersama para Kanwil dari departemen-departemen, sedangkan kepolisian nasional bertanggungjawab kepada Menkopolkam. Alternatif kedua, melembagakan “desentaralisasi” kepolisian di mana pertanggungjawaban tugas kepolisian didaerah kepada Gubernur selaku kepala daerah, sedangkan kepolisian nasional bertanggungjawab kepada Mendagri. Dari kedua model tersebut tugas kepolisian nasional adalah sebagai penegak hukum saja. Sejalan dengan hal itu perlu dibetulkan rumusan fungsi “Kompolnas” yang tercantum dalam UU No. 2 tahun 2002, bukan sekedar penasehat Presiden dalam bidang kepolisian, ikut memberi pertimbangan pemilihan Kapolri dan menerima keluhan masyarakat akan tetapi fungsi utamanya adalah “mengawasi” kinerja Polri dan memiliki kewenangan “investigasi” terhadap terhadap anggota maupun pejabat Polri yang melanggar undang-undang dalam menjalankan tugasnya. Dalam kaitan ini “penanggungjawab” keamanan dalam negeri adalah pada Mendagri bukan Kapolri, sebab sesungguhnya Polri hanyalah alat Negara. Untuk itu perlu dilakukan amandemen UU Polri, dan UU Pemerintahan.
b. Bidang perubahan kultur Polri. Dengan mengacu pada pembenahan kultur yang telah dilakukan Polri perlu pula disertai dengan instruksi (Presiden) agar Polri melepas seluruh simbol-simbol militer yang melekat dalam organisasi, administrasi, manajemen, pendidikan maupun personal polisi.
c. Bidang pembinaan sumber daya manusia polisi. Pembenahan terhadap sistem rekrutmen, pendidikan/pelatihan, dan pengembangan karier diarahkan untuk dikelola secara transparan, tidak memihak dan mengacu pada ketentuan merit system. Dalam kaitan ini untuk pengangkatan dan pemberhentian pimpinan polisi di kewilayahan harus mengakomodir penilaian publik dan pimpinaa formal/non formal setempat.
d. Bidang perbendaharaan. Penerapan sistem manajemen anggaran/keuangan yang transparan dan akuntabel, dengan sistem alokasi anggaran yang rasional terutama yang menyangkut kesejahteraan personel juga untuk menjamin tersalurkannya secara utuh agar dapat digunakan secara tepat dan efisien seluruh dukungan anggaran yang disediakan. Termasuk pengambilalihan dana non APBN yang diperoleh dari bisnis pada yayasan Polri, bantuan masyarakat, pemerintah daerah dan sumber lain untuk dimasukkan ke Kas Negara. Selain itu pangembangan manajemen logistik dalam hal pengadaan material dan pembangunan fasilitas termasuk inventarisasi kekayaan milik negara. Dalam hal ini diperlukan fungsi kontrol dari dewan agar lebih terarah pada sasaran program kerja Polri dan implementasinya secara valid dan terukur.
e. Bidang operasional. Perumusan kebijakan pengendalian diskresi terutama dalam penggunaan upaya paksa dan upaya kekerasan melalui kejelasan dalam prosedur tetap (Protap) atau peraturan Kapolri (Perkap) penegakan hukum, pengaturaan, penjagaan, patroli, dan pembenahan administrasi penanganan perkara (supaya setiap laporan/ pengaduan diadministrasikan dan diproses sesuai prosedur hukum, dikelola secara bertanggungjawab dan terbuka bagi akses publik). Perubahan pendekatan tugas yang berorientasi pelayanan dan perlindungan, serta pembinaan hubungan kemitraan yang akrab antara polisi dan masyarakat dalam penyelesaian perkara ringan khususnya pertikaian antar warga. Dalam strategi ini juga dikembangkan kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait dengan upaya pencegahan kejahatan aksi teror, anarkis, pemaksaan kehendak dan penyakit penyakit masyarakat yang meresahkan kehidupan.
f. Bidang pengawasan internal. Pengembangan sistem pengawasan manajerial dan personal (Irwasum, Irwasda, Divpropam Polri, Divpropam Polda) yang menjamin akses publik secara efektif mendeteksi dan menindaklanjuti adanya penyimpangan manajemen dan laporan/pengaduan dari masyarakat tentang sikap/tindakan anggota polisi yang melanggar disiplin, dan menerapkan standar profesi secara rasional serta menjamin keikutsertaan publik dalam pemantauan kebijakan dan penerapannya terutama yang berkaitan dengan pemberantasan KKN.

P e n u t u p
Pada dasarnya reformasi Polri merupakan suatu upaya menentukan fungsi yang sesuai dengan kewenangannya dalam kaidah masyarakat demokrasi. Reformasi Polri seyogyanya ditentukan melalui proses dua arah, antara kebutuhan masyarakat akan rasa aman dan kebijakan nasional pada lapis otoritas politik beserta segenap perangkat politiknya, kesadaran dan pemahaman elit pejabat Polri untuk menyadari akan peran dan posisinya dalam membangun system kepolisian sebagai bagian dari demokratis.
Untuk menjamin pelaksanaan reformasi Polri dapat sesuai dengan sasaran dan program-program yang telah ditetapkan, diperlukan pengawasan secara non formal, cermat dan konsisten oleh masyakat sipil dengan memberi masukan kepada pemegang kebijakan secara terus-menerus. Selain itu juga ketepatan perumusan Renstra Polri dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR.



Bacaan :
Edwards, Charles. 1999. Changing Policing Theori, for 21st Century Societies. The Federation Press. Australia.

Friedmann, R. Robert. 1998. Community Policing, Comparative Perspectives and Prospect. Harvester Wheatsheaf. New York.

Hampson, Fen Osler, et.al. 2002. Madness in the Multitude: Human Security and World Disorder. Oxford: Oxford University Press.

Mabes Polri. 1999. Reformasi Menuju POLRI Yang Profesional.

Reiner, Robert. 1996. The Politics of the Police. Oxford University Press. New York.

Sutanto. 2005. Refleksi Pemikiran “POLRI Menuju Era Baru Pacu Kinerja Tingkatkan Citra”. Jakarta. KIK – UI Press.

United Nations Development Program (UNDP), 1994. Human Development Report. New York: Oxford University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar