Jumat, 01 Maret 2013

Sejarah Perang Aceh

Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda, 1873-1904 Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, & mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, & langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3. 198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira. Penyebab Terjadinya Perang Aceh Perang Aceh disebabkan karena: Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania. Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania. Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan. Strategi Siasat Snouck Hurgronje Mata-mata Belanda Untuk mengalahkan pertahanan & perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan & ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh [De Acehers]. Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala [yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala] dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi & membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur militer & sipil di Aceh [1898-1904]. Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya. Kronologi Perang Aceh Pertama Perang Aceh Pertama [1873-1874] dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, & beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yg menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera yg di situ banyak terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yg mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran GubJen James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan sesuai yg diharapkan. Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler & sesudah kematiannya tugasnya digantikan oleh Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen. Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan senapan Beaumont untuk pertama kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan Belanda ke Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali [dan di saat yg kedua kalinya tewaslah Köhler]. Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal 16 April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavaljé namun tak dapat menduduki lebih lanjut karena keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas & terluka. Serdadu Belanda tak cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut. Di samping itu, jumlah artileri [berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali musuh. Mereka sendiri harus menarik diri dari pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi dengan GubJen Loudon] & kembali ke Pulau Jawa. Menurut George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir bila mendapatkan titik lain yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman tak dapat memberikan kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran sungai & saat itu sedang berlangsung muson yg buruk, yg karena itulah kedatangan pasukan baru jadi sulit. Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak disalahkan akibat kegagalan ekspedisi itu. Dari situlah GubJen James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para bawahan harus memberikan penilaian atas atasan mereka. Penyelidikan tersebut kemudian juga banyak menuai kontroversi & menimbulkan “perang kertas” sesudah Perang Aceh I [dokumen & tulisan pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus]. Penyelidikan itu masih berawal, sesudah Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf Brigade II GCE. van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya ialah selama itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yg untuk itu pamannya EC. van Daalen, yg merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama sesudah kematian panglima tertinggi sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang jenius yg malang sesudah kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan & selama penyelidikan itu [meskipun kemudian meninggal] Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui bahwa pemerintah Hindia-Belanda tak diberi cukup informasi atas terganggunya pembekalan senjata pada pasukan itu. Loudon tak mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapatkan Militaire Willems-Orde & untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang tunjangan pensiun. Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada tanggal 12 Mei 1874. Yang khas ialah pembawa medali tersebut juga dapat diberi gesper bertulisan “ATJEH 1873-1874″ pada pita Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven. Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde & Medaille voor Moed en Trouw. Perang Aceh Kedua Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Perang Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873 sesudah kegagalan serangan pertama. Pada saat itu, Belanda sedang mencoba menguasai seluruh Nusantara. Ekspedisi yg dipimpin oleh Jan van Swieten itu terdiri atas 8. 500 prajurit, 4. 500 pembantu & kuli, & belakangan ditambahkan 1. 500 pasukan. Pasukan Belanda & Aceh sama-sama menderita kolera. Sekitar 1. 400 prajurit kolonial meninggal antara bulan November 1873 sampai April 1874. Setelah Banda Aceh ditinggalkan, Belanda bergerak pada bulan Januari 1874 & berpikir mereka telah menang perang. Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan & dianeksasi. Namun, kuasa asing menahan diri ikut campur, sehingga masih ada serangan yg dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah & pengikutnya menarik diri ke bukit, & sultan meninggal di sana akibat kolera. Pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku Ibrahim yg bernama Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah [berkuasa 1874-1903]. Perang pertama & kedua ini ialah perang total & frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, & tempat-tempat lain. Perang Aceh Ketiga, Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya. Perang Aceh Keempat Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan. Taktik Perang belanda Menghadapi Aceh Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yg dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah mampu & menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari & mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yg dilakukan Belanda ialah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan & Tengku Putroe [1902]. Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya & beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polim. Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2. 922 orang dibunuhnya, yg terdiri dari 1. 773 laki-laki & 1. 149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap & diasingkan ke Sumedang. Surat perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte verklaring, Traktat Pendek] tentang penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja [Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yg rumit & panjang dengan para pemimpin setempat. Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat]. Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara & diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang [Nippon]. sebab umum perlawanan aceh sebutkan sebab terjadinya perlawanan rakyat aceh terhadap jepang sejarah penjajah jan van swieten perlawanan rakyat aceh terhadap penjajah jepang di pimpin oleh sejarah teuku umar di meulaboh.com sejarah nusantara strategi belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat aceh perang aceh (1873- 1904) perang aceh (1873- 1904) perang aceh (1873- 1904) perang aceh (1873- 1904) perang aceh melawan belanda perang aceh (1873- 1904) sebab sebab munculnya perlawanan di aceh perang aceh (1873- 1904) Sumber: http://www.sejarahnusantara.com/sejarah-aceh/sejarah-perang-aceh-melawan-belanda-1873-1904-10038.htm

Rabu, 27 Februari 2013

Makam Sejarah Pase

Sejarah telah mencatat bahwa di Aceh Utara pernah berdiri kerajaan Islam Pasai. Hingga sekarang, di sana banyak terdapat makam (grave) para pembesar, baik muslim maupun nonmuslim sebagai bukti di Pasai sebagai kerajaan agung pada masa itu. Makam-makam tersebut kini perlu pemugaran sebagai situs sejarah. Berikut tuhoe mencatat sejumlah makam yang memiliki pertalian darah (hubungan) dengan Kerajaan Pasai. Jika punya waktu, melayatlah walau sekedar mengingat bahwa sebesar apa pun kemegahan masa hidup, ke alam kubur jua kembali kita. Grave Sultan Malikul Dhahir Sultan Malikul Dhahir adalah anak pertama dari Sultan Malikussaleh yang mengambil alih pimpinan Kerajaan Samudera Pasai dari tahun 1297-1326 M. Makamnya terletak di Gampông Beuringen, Kecamatan Samudera ± 17 km dari Kota Lhokseumawe. Posisi makam ini bersebelahan dengan makam Malikussaleh. Batu nisannya terbuat dari granit, terpahat surat At-Taubah ayat 21-22 serta teks yang diterjemahan, “Kubur ini kepunyaan tuan yang mulia, yang syahid bernama Sultan Malik Adh-Dhahir, cahaya dunia dan sinar agama. Muhammad bin Malik Al-Saleh, wafat malam Ahad 12 Zulhijjah 726 H (19 Nopember 1326 M). Makam Nahrisyah Nahrisyah adalah seorang ratu dari Kerajaan Samudera Pasai yang memegang pucuk pimpinan tahun 1416-1428 M. Ratu Nahrisyah dikenal arif dan bijak. Ia bertahta dengan sifat keibuan dan penuh kasih sayang. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia pada masanya sehingga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa tersebut. Makamnya terletak di Gampông Kuta Krueng, Kecamatan Samudera ± 18 km sebelah timur Kota Lhokseumawe, tidak jauh dari Makam Malikussaleh . Surat Yasin dengan kaligrafi yang indah terpahat dengan lengkap pada nisannya. Tercantum pula ayat Qursi, Surat Ali Imran ayat 18 19, Surat Al-Baqarah ayat 285 286, dan sebuah penjelasan dalam aksara Arab yang artinya, “Inilah makam yang suci, Ratu yang mulia almarhumah Nahrisyah yang digelar dari bangsa chadiu bin Sultan Haidar Ibnu Said Ibnu Zainal Ibnu Sultan Ahmad Ibnu Sultan Muhammad Ibnu Sultan Malikussaleh, mangkat pada Senin 17 Zulhijjah 831 H” (1428 M). Grave of Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah Teungku Sidi Abdullah Tajul Milah berasal dari Dinasti Abbasiyah dan merupakan cicit dari khalifah Al-Muntasir yang meninggalkan negerinya ( Irak ) karena diserang oleh tentara Mongolia. Beliau berangkat dari Delhi menuju Samudera Pasai dan mangkat di Pasai tahun 1407 M. Ia adalah pemangku jabatan Menteri Keuangan. Makamnya terletak di sebelah timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya terbuat dari marmer berhiaskan ukiran kaligrafi, ayat Qursi yang ditulis melingkar pada pinggiran nisan. Sedangkan di bagian atasnya tertera kalimat Bismillah serta surat At-Taubah ayat 21-22. Makam Perdana Menteri Situs ini disebut juga Makam Teungku Yacob. Beliau adalah seorang Perdana Menteri pada zaman Kerajaan Samudera Pasai sehingga makamnya digelar Makam Perdana Menteri. Beliau mangkat pada bulan Muharram 630 H (Augustus 1252 M). Di lokasi ini terdapat 8 buah batu pusara dengan luas pertapakan 8 x 15 m. Nisannya bertuliskan kaligrafi indah surat Al-Ma’aarij ayat 18-23 dan surat Yasin ayat 78-81. Makam Teungku 44 Makam ini berjuluk Makam Teungku 44 (Peuet Ploh Peuet) karena di sini dikuburkan 44 orang ulama dari Kerajaan Samudera Pasai yang dibunuh karena menentang dan mengharamkan perkawinan raja dengan putri kandungnya. Makam ini dapat ditemui di Gampông Beuringen, Kecamatan Samudera ± 17 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Pada nisan tersebut bertuliskan kaligrafi yang indah surat Ali Imran ayat 18. Grave of Teungku Di Iboih Makam Teungku Di Iboih adalah milik Maulana Abdurrahman Al-Fasi. Sebagian arkeolog berpendapat bahwa makam ini lebih tua daripada makam Malikussaleh. Makam ini terletak di Gampông Mancang, Kecamatan Samudera ± 16 km sebelah Timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya dihiasi dengan kaligrafi yang indah terdiri dari ayat Qursi, surat Ali Imran ayat 18, dan surat At-Taubah ayat 21-22. Makam Batee Balee Makam ini merupakan situs peninggalan sejarah Kerajaan Samudera Pasai. Tokoh utama yang dimakamkan pada Situs Batee Balee ini adalah Tuhan Perbu yang mangkat tahun 1444 M. Lokasinya di Gampông Meucat, Kecamatan Samudera, sebelah Timur Kota Lhokseumawe. Di antara nisan-nisan tersebut ada yang bertuliskan kaligrafi dari surat Yasin, Surat Ali Imran, Surat Al’Araaf, Surat Al-Jaatsiyah, Surat Al-Hasyr. Makam Ratu Al-Aqla Ratu Al-Aqla adalah putri Sultan Muhammad (Malikul Dhahir ), yang mangkat pada tahun 1380 M. Makam ini berlokasi di Gampông Meunje Tujoh, Kecamatan. Matangkuli ± 30 km sebelah timur Kota Lhokseumawe. Batu nisannya dihiasi dengan kaligrafi indah berbahasa Kawi dan bahasa Arab. Sumber : http://kekayaanaceh.blogspot.com/2012/06/makam-sejarah-di-pase.html

Tokoh gampong harapkan pidana ringan diproses hukum adat

BANDA ACEH - Sejumlah tokoh masyarakat gampong yang berasal dari Kota Banda Aceh dan Aceh Besar yang hadir mengharapkan agar penyelesaian tindak pidana ringan yang terjadi di dalam gampong bisa dilakukan dengan hukum adat yang berlaku di dalam gampong masing-masing. Hal itu dikatakan langsung beberapa tokoh gampong kepada Kapolda Aceh Iskandar Hasan dan juga Irwasum Polri Fajar Prihantoro dalam Dialog Keude Kupi yang dilaksanakan oleh Polda Aceh, di Stone Cafe Banda Aceh, Jumat malam, 19 Oktober 2012. Adnan Harun, Imum Mukim Pagar Air Kecamatan Ingin Jaya Aceh Besar yang hadir dalam dialog tersebut menyatakan sesuai dengan Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat maka ada 18 kasus tindak pidana ringan yang bisa diselesaikan di tingkat gampong. Selama ini, menurut Harun, di kawasan mukim Pagar Air, aturan tersebut sudah berjalan dengan baik. “Akan tetapi kami meminta kepada Pak Kapolda agar aturan ini bisa terus berjalan dengan, tidak perlu harus berurusan dengan polisi jika ada masalah di gampong, polisi cukup sebagai pendamping,” kata Harun. Teuku Nanta, Keucik Gampong Seutui Kota Banda Aceh menyatakan selama ini program penyelesaian kasus tindak pidana ringan antara polisi dengan aparat gampong hanya berjalan dengan polisi di tingkat Polsek. “Ada beberapa warga kampung kami yang punya kasus tapi langsung melaporkan ke Polres atau Polda, tidak ke Polsek, sehingga kami tidak bisa ikut campur untuk menyelesaikannya,” kata Nanta. Untuk kasus tersebut, Nanta berhadap kepada Kapolda Aceh agar bisa mengintruksikan kepada jajarannya untuk mengembalikan penyelesaian kasus tindak pidana ringan yang terjadi di dalam gampong kepada aparat gampong. Menjawab harapan tersebut, Iskandar Hasan selaku Kapolda Aceh langsung menyatakan akan mengkoordinasikan kasus-kasus yang selama ini dilaporkan ke Polres dengan Kapolres setempat. “Nanti pak Moffan bisa menindaklanjuti kasus tersebut,” kata Iskandar Hasan kepada Teuku Nanta menunjuk Kapolresta Banda Aceh Kombes Moffan MK. Menurut Iskandar Hasan, jajaran Polda Aceh saat ini sedang menggalakkan penyelesaian kasus tindak pidana ringan yang terjadi di masyarakat bisa diselesaikan dengan musyawarah tokoh gampong. “Ini merupakan program kita selama ini sebagai bentuk program polisi masyarakat,” kata Iskandar Hasan yang didampingi Irwasum Polri Komisaris Jenderal Fajar Prihantoro. Dalam Dialog Keudee Kupi tadi malam, Polda Aceh khusus mengundang sejumlah tokoh masyarakat di tingkat gampong dan mukim yang berada dalam kawasan Kota Banda Aceh dan juga Kabupaten Aceh Besar. Hadirnya tokoh masyarakat gampong tersebut juga ikut dihadiri oleh Wakil Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Jamal dan Bupati Aceh Besar Mukhlis Basyah. [] Sumber : http://www.atjehpost.com/read/2012/10/20/24895/0/69/Tokoh-gampong-harapkan-pidana-ringan-diproses-hukum-adat

Senin, 25 Februari 2013

NILAI LEBIH

Kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi harus menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah untuk membeli sejumlah barang untuk kebutuhan hidupnya. Tetapi apakah upah itu? Bagaimana upah itu ditentukan? Upah adalah jumlah uang yang dibayar oleh kapitalis untuk waktu kerja tertentu. Yang dibeli kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya melainkan tenaga kerjanya. Setelah ia membeli tenaga kerja buruh, ia kemudian menyuruh kaum buruh untuk selama waktu yang ditentukan, misalnya untuk kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu atau 26 hari dalam sebulan (bagi buruh bulanan). Tetapi bagaimana kapitalis atau (pemerintah dalam masyarakat kapitalis) menentukan upah buruhnya sebesar 591.000 perbulan (di DKI misalny) atau 20 ribu per hari (untuk 7 jam kerja misalnya)? Jawabannya karena tenaga kerjanya adalah barang dagangan yang sama nilainya dengan barang dagangan lain. Yaitu ditentukan oleh jumlah kebutuhan sosial untuk memproduksikannya (cukup agar buruh tetap punya tenaga untuk bisa terus bekerja). Yaitu kebutuhan hidupnya yang penting yaitu kebutuhan pangan (Misalnya 3 kali makan), sandang (membeli pakaian, sepatu dll) dan papan (biaya tempat tinggal) termasuk juga untuk untuk menghidupi keluarganya. Dengan kata lain cukup untuk bertahan hidup, dan sanggup membesarkan anak-anak untuk menggantikannya saat ia terlalu tua untuk bekerja, atau mati. Lihat misalnya konsep upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Jadi upah yang dibayarkan oleh kapitalis bukanlah berdasarkan berapa besar jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh kapitalis. Misalnya saja sebuah perusahan besar (yang telah memperdagangkan sahamnyadi pasar saham) sering mengumumkan keuntungan perusahaan selama setahun untung berapa ratus milyar. Tetapi dari manakah keuntungan ini di dapat? Jelas keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan produksinya. Tetapi yang mengerjakan produksi bukanlah pemilik modal melainkan para buruh yang bekerja di perusahaannya lah yang menghasilkan produksi ini. Yang merubah kapas menjadi banang, merubah benang menjadi kain, merubah kain menjadi pakaian dan semua contoh kegiatan produksi atau jasa lainnya. Kerja kaum buruh lah yang menciptakan nilai baru dari barang-barang sebelumnya. Contoh sederhana misalnya. Seorang buruh di pabrik garmen dibayar 20.000 untuk kerja selama 8 jam sehari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter. Harga kain sebelum menjadi pakaian permeternya adalah 5000 atau 150.000 untuk 30 meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya-biaya produksi lainnya (misalnya listrik, keausan mesin dan alat-alat kerja lain) dihitung oleh pengusaha sebesar 50.000 seharinya. Total biaya produksi adalah 20.000 (untuk upah buruh) + 150.000 (untuk kain) + 50.000 (biaya produksi lainnya) sebesar 220.000. Tetapi pengusaha dapat menjual harga satu kainnya sebesar 50.000 untuk satu potong pakian atau 500.000 untuk 10 potong pakaian di pasaran. Oleh karena itu kemudian ia mendapatkan keuntungan sebesar 500.000 – 220.000 = 280.000. Jadi kerja 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai baru sebesar sebesar 240.000 (nilai tambah). Tetapi ia hanya dibayar sebesar 20.000. Sementara 220.000 menjadi milik pengusaha. Inilah yang disebut nilai lebih. Padahal bila ia dibayar 20.000, ia seharusnya cukup bekerja selama kurang dari 1 jam dan dapat pulang ke kontrakannya. Tetapi tidak, ia tetap harus bekerja selama 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk bekerja selama 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tadi bekerja kurang dari satu jam untuk dirinya (untuk menghasilkan nilai 20.000 yang ia dapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam lebih untuk pengusaha (220.000).

EKONOMI POLITIK

I. Produksi barang-barang kebutuhan adalah Basis dari Kehidupan Sosial Kita harus memulainya dari pemahaman yang sangat mendasar. Bahwa untuk mempertahankan dan melanjutkan hidupnya, manusia harus dapat mencukupi kebutuhan utamanya yaitu: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu manusia harus memproduksi semua kebutuhan-kebutuhannya. Dalam proses produksi inilah, manusia menggunakan dan mengembangkan alat-alat produksi (alat alat kerja dan obyek kerja) disamping tenaga kerjanya sendiri. Dari mulai tangan, kapak, palu, lembing, palu, cangkul hingga komputer serta mesin-mesin modern seperti sekarang ini. Alat-alat kerja (ada teknologi didalamnya) dan tenaga kerja manusia (ada pengalaman, ilmu pengetahuan didalamnya) tidak pernah bersifat surut melainkan terus berkembang maju disebut sebagai Tenaga produktif masyarakat. Tenaga produktif inilah yang mendorong maju perkembangan masyarakat. II. Hubungan Produksi, Tenaga Produktif dan Cara Produksi Dalam suatu aktivitas proses produksi guna memenuhi kebutuhannya manusia berhubungan dengan manusia lain. Karena Proses produksi selalu merupakan hasil saling hubungan antar manusia, maka sifat dari produksi juga selalu bersifat sosial. Saling hubungan antar manusia dalam suatu proses produksi ini disebut sebagai hubungan sosial produksi. Dari kegiatan produksi ini kemudian muncul kegiatan berikutnya yaitu distribusi dan pertukaran barang. Hubungan sosial produksi dalam sebuah masyarakat bisa bersifat kerja sama atau bersifat penghisapan. Hal ini tergantung siapakah yang memiliki atau menguasai seluruh alat-alat produksi (alat-alat kerja dan obyek kerja). Hubungan sosial produksi dan tenaga produktif (alat-alat produksi dan tenaga kerja) inilah kemudian membentuk suatu cara produksi dalam suatu masyarakat. Misalnya cara produksi komunal primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme dan sosialisme. Perubahan yang terjadi dari suatu cara produksi tertentu ke cara produksi yang lain terjadi akibat berkembangnya tenaga produktif dalam suatu masyarakat yang akhirnya mendorong hubungan produksi lama tidak dapat dipertahankan lagi dan menuntut adanya hubungan produksi baru. Inilah hukum dasar sejarah masyarakat dan merupakan sumber utama dari semua perubahan sosial yang ada. III. Kelas-kelas dalam masyarakat Berdasarkan Posisi dan hubungannya dengan alat-alat produksi inilah masyarakat kemudian terbagi kedalam kelompok-kelompok yang disebut kelas-kelas. Misalnya Dalam suatu masyarakat berkelas selalu terdapat dua kelas utama yang berbeda yang saling bertentangan berdasarkan posisi dan hubungan mereka dengan alat-alat produksi. Tetapi, tidak semua cara produksi masyarakat terdapat pembagian kelas-kelas. Dalam sejarah umat manusia terdapat suatu masa dimana belum terdapat pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas. Misalnya dalam cara produksi komunal primitif, alat-alat produksi dimiliki secara bersama (atau alat produksi adalah milik sosial). Posisi dan hubungan mereka atas alat-alat produksi adalah sama. Semua orang bekerja dan hasil produksinya dibagi secara adil diantara mereka. Karena alat produksi masih primitif hasil produksinya pun belum berlebihan diatas dari yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga tidak ada basis/alasan orang/kelompok untuk menguasai hasil kerja orang lain. Oleh karena itu tidak ada pembagian kelas-kelas dalam masa ini. Yang ada hanyalah pembagian kerja, ada yang berburu, bercocok tanam dan lain-lain. Masyarakat berkelas muncul pertama kali ketika kekuatan-kekuatan produksi (alat-alat kerja dan tenaga kerja) berkembang hingga menghasilkan produksi berlebih. Kelebihan produksi inilah yang pertama kali menjadi awal untuk kelompok lain untuk mengambil kelebihan produksi yang ada. Dalam setiap masyarakat berkelas yang ada selalu didapati adanya pengambilan/perampasan atas hasil produksi. Perampasan atas hasil produksi inilah yang kemudian sering dinamakan dengan penghisapan. Lain halnya dalam cara produksi setelah komunal primitif yaitu perbudakan, yang menghasilkan dua kelas utama yaitu budak dan pemilik budak. Dalam masa perbudakan alat-alat produksi beserta budaknya sekaligus dikuasai oleh pemilik budak. Budaklah yang bekerja menghasilkan produksi. Hasil produksi seluruhnya dikuasai oleh pemilik budak. Budak sama artinya dengan sapi, kerbau atau kuda. Pemilik budak cukup hanya memberi makan budaknya. Sementara dalam masa feodalisme (berasal dari kata feud yang berarti tanah) dimana terdapat dua kelas utama yaitu tuan feodal (bangsawan pemilik tanah) dengan kaum tani hamba atau petani yang pembayar upeti. Produksi utama yang dihasilkan didapatkan dari mengolah tanah. Tanah beserta alat-alat kerjanya dikuasai oleh tuan feodal atau bangsawan pemilik tanah. Kaum Tani hambalah yang mengerjakan proses produksi. Ia harus menyerahkan (memberikan upeti) sebagian besar dari hasil produksinya kepada tuan feodal atau para bangsawan pemilik tanah. Begitu pula halnya dalam sistem kapitalisme yang menghasilkan dua kelas utama yaitu kelas kapitalis dan kelas buruh. Proses kegiatan produksi utamanya adalah ditujukan bukan untuk sesuai dengan kebutuhan manusia, melainkan untuk menghasilkan barang–barang dagangan untuk dijual ke pasar, untuk mendapatkan keuntungan yang menjadi milik kapitalis. Keuntungan yang didapat ini kemudian dipergunakan untuk melipatgandakan modalnya. Keuntungan yang didapatkan dari hasil kerja buruh ini, dirampas dan menjadi milik kapitalis. Buruh berbeda dengan budak atau tani hamba. Buruh, adalah manusia bebas. Ia bukan miliknya kapitalis. Tetapi 7 jam kerja sehari atau lebih dalam hidupnya menjadi milik kapitalis yang membeli tenaga kerjanya. Buruh juga bebas menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis manapun dan kapanpun ia mau. Ia dapat keluar dari kapitalis yang satu ke kapitalis yang lain. Tetapi akibat sumber satu-satunya agar ia dapat hidup hanya menjual tenaga kerjanya untuk upah, maka ia tidak dapat pergi meninggalkan seluruh kelas kapitalis. Artinya buruh diikat, dibelenggu, diperbudak oleh seluruh kapitalis, oleh sistem kekuasaan modal, oleh sistem kapitalisme. Kita akan membahas persoalan lebih detail lagi.

Kamis, 21 Februari 2013

Pang Amin sang bandar tua

Oleh : QAFRAWI REINZA Nama Pang Amin juga di kenal di beberapa wilayah di luar kampung. Sudah jelaslah bagaimana pamor Pang Amin selama hidupnya. Terkenal dimana-mana. WAJAHNYA masih kusam. Dolah terbangun secara tiba-tiba. Sebuah suara tembakan membangunkan dari tidur lelapnya. Suara itu sebenarnya sudah tidak asing lagi baginya. Hanya saja sudah terlalu lama ia tak mendengarnya lagi. Lima tahun sudah setelah perdamaian antara GAM-RI di tahun 2005. Hari ini mungkin agak aneh. Mendengar suara temabakan di suasana damai. Ia bangkit dari kamarnya. Menuju ke depan jendela kamar seraya membukanya. Matanya terbelalak ketika melihat banyak polisi di sekitar pekarangan rumah tetangganya Pang Amin. Antara hitam dan putih ia melihat samar-samar Pang Amin di giring oleh polisi dengan tangan terikat. ***** Pang Amin adalah tetua di kampungnya Dolah. Umurnya kini sudah mencapai 45 tahun. Orangnya yang ramah membuat Pang Amin terkenal di seantero kampung. Sehari-harinya ia bekerja sebagai petani kacang. Sudah puluhan tahun Pang Amin menggarap ladang miliknya yang lumayan luas. Konon ceritannya ia memiliki sebagian besar ladang yang ada di kampung itu. Namun karena kebaikan hatinya ia membagi-bagi ladangnya kepada para penduduk yang kurang mampu. Setiap pagi ia menggendong cangkul dan sebilah parang kesayangannya. Seperti kebanyakan petani lainnya, kedua barang itu memang sangat sakral fungsinya. Sebagai petani kacang, ia tergolong petani yang sukses. Ia bahkan bisa menyekolahkan beberapa anak dari warga yang kurang mampu. Namun begitu Ia sendiri belum menikah. “Hidup melajang lebih enak. Saya belum bisa untuk memenuhi tanggungjwab kepada calon istri saya kelak” Itu alasannya yang ia kemukakan suatu waktu. Nama Pang Amin juga di kenal di beberapa wilayah di luar kampung. Sudah jelaslah bagaimana pamor Pang Amin selama hidupnya. Terkenal dimana-mana. **** Dolah kaget melihat keadaan itu. Dalam hatinya ia bertanya-tanya. Hal ikhwal apa yang terjadi dengan Pang Amin. Ia bergegas keluar dari kamarnya. Berusaha mengorek informasi dari tetangga lainnya. Beberapa warga ada juga yang terkaget-kaget melihat penangkapan Pang Amin secara tiba-tiba. Pang Amin yang tertunduk lesu langsung di bawa ke kantor polisi. Mobil polisi pun berlalu dengan cepat. Menurut informasi dari polisi, Pang Amin dituduh sebagai bandar narkoba di kota. Ia adalah ketua dari beberapa bandar kecil yang tersebar di kota itu. Banyak orang yang terkejut ketika mendengar informasi tersebut. “Saya masih ragu terhadap kebenaran tuduhan itu” terdengar suara Ayah Akop yang meragukan penagkapan Pang Amin. “Pasti ada yang memfitnah Pang Amin. Tidak mungkin ia menjadi bandar narkoba. Ia kan tahu hukum agama”, timpal Cuda Fatimah. Dolah yang berdiri disamping Cuda Fatimah pun mengiyakan apa yang didengar dari kedua teman akrab Pang Amin itu. Tidak mungkin Pang Amin menjual bubuk haram itu. Dalam hati, Dolah berfikir keras. Siapa yang sudah memfitnah Pang Amin? Mengapa adaorang yang tega memfitnah Pang Amin yang selama ini di kenal dengan sosok yang murah hati. Seingat Dolah, Pang Amin telah banyak membantu warga yang kurang mampu, mulai dari belanja dapur hingga keperluan biaya sekolah beberapa anak yatim. **** Seperti pada kebiasaan, apabila ada warga yang ditangkap karena hal kriminal, maka kepala desa akan ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan tentang si pelaku. Hari ini, Abu Musa selaku kepala desa dipanggil ke kantor polisi. Beberapa tetua kampung lainnya juga menemani Abu Musa. Dolah yang masih belia memaksa untuk ikut dalam rombongan itu. Ia tak mau ketinggalan informasi tentang sosok panutannya, Pang Amin. Setelah sampai di kantor polisi, Abu Musa langsung masuk ke ruangan interogasi. Beliau dicecar dengan beberapa pertanyaan yang mengejutkan. “Sudah beberapa tahun ini ini Pang Amin menjadi bandar narkoba terbesar di kota, apakah Bapak mengetahuinya?” tanya seoarng polisi di ruangan itu. “Saya tidak tahu apa-apa tentang hal itu, Pak. Pang Amin hanya seorang petani kacang di kampung saya. Ia dikenal dengan sosok yang murah hati. Saya juga terkejut apila bapak mengatakan, Pang Amin adalah bandar narkoba,” jawab Abu Musa dengan wajah lugunya. “Memang beberapa minggu belakangan ada beberapa orang yang datang kerumahnya. Tapi mereka terlihat seperti para tauke kacang yang ingin membeli kacang Pang Amin yang kebetulan baru saja panen”, Abu Musa melanjutkan jawabannya. Polisi itu kemudian melanjutkan dengan beberapa pertanyaan yang mungkin bisa memberikan informasi tambahan. Setelah satu jam lamanya, Abu Musa dipersilahkan meninggalkan ruangan kecil itu. **** Dengan perasaan yang tidak karuan Abu Musa keluar dari kantor polisi. Para tetua kampung langsung menyerbunya. Pertanyaan bertubi-tubi pun terdegar ditelinganya. Beliau berusaha menjawab pertanyaan mereka. “Pang Amin dituduh sebagai bandar narkoba. Polisi telah menemukan bukti-bukti yang meyakinkan terhadap keterlibatan Pang Amin dalam jaringan narkoba antar kota. Pang Amin sudah menjadi bandar narkoba selama beberapa tahun.” Jawab Abu Musa. Semua tetua kampung langsung terdiam. Terkejut dengan jawaban Abu Musa yang mencengangkan. Dolah yang mendengar jawaban Abu Musa langsung terdiam seribu bahasa. Bagaimana bisa sosok panutannya itu berubah menjadi serigala yang mengenakan bulu domba? Apakah harta Pang Amin tidak cukup membahagiakan hidupnya? Dolah hanya bisa berucap semoga apa yang didengarnya hanya fitnah belaka dan Pang Amin cepat kembali ke masyarakat seperti sedia kala.

Kamis, 02 Agustus 2012

Sekilas Tentang Reformasi Sektor Keamanan

Oleh : Muhajir Abdul Azis*

Sudah 3 hari aku ikut Workshop Reformasi Sektor Keamanan (RSK) yang dibuat oleh Kontras Aceh di Banda Aceh. Bicara tentang sektor keamanan pasti langsung terbayang adalah militer, polisi, intelijen, dan lainnya yang mempunyai kuasa menggunakan senjata di negeri ini. Acaranya asik dan pastinya menambah ilmu bagi aku, ini untuk pertama kalinya aku ikut workshop yang berhubungan dengan isu ini, sebelumnya tak pernah, bahkan berdiskusi dengan kawan-kawan aku kekurangan referensi ketika bicara tentang sepak terjang militer di negeri ini.

Jika ada yang tanya sama aku tentang militer, pasti yang akan aku ceritakan adalah tentang TNI Yonif 112 Dharma Jaya yang ketika konflik dulu pernah memukul bapakku karena ketiduran waktu jaga malam, atau tentang Brimob BKO Mabes Polri yang dulu pernah menghantamkan popor senjata AK-56 ke perutku di Simpang Dodik Lamteumen.

Pematerinya juga mantap (menurut aku), ada Bambang Widodo Umar, mantan perwira polisi yang sekarang menjadi guru besar Sosiologi Hukum UI dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian; ada Saiful Haq, aktivis muda yang konsen dengan isu pertahanan dan juga dosen di Universitas Pertahanan Indonesia; dan yang terakhir ada Jaleswari Pramodhawardhani, peneliti LIPI yang konsen dengan bisnis TNI pasca reformasi 1998.

Bambang Widodo Umar bicara tentang sepak terjang Polri. Bagaimana Polri yang sampai hari ini belum bisa memisahkan diri dari TNI, yang berbeda cuma bajunya tapi isinya tidak. Polri seharusnya menjadi sipil, sipil yang dipersenjatai oleh negara. Tugasnya bukan lagi untuk pertahanan negara, tapi lebih sebagai pengayom masyarakat. Yang dihadapi bukan lagi ancaman dari luar, tapi rakyatnya sendiri. Humanisme dan sosial masyarakat menjadi modal utama bagi polisi dalam berhadapan dengan masyarakat. Tapi fakta dilapangan masih belum seperti yang diharapkan, polisi masih belum bebas dari karakter militer. Militer tugasnya menghancurkan, baik hidup atau mati, sedangkan polisi melumpuhkan, melumpuhkan untuk ditangkap dan kemudian dimintai keterangannya. Yang terjadi masih saja polisi suka sekali latah untuk mengeluarkan pelurunya ke sasaran yang mematikan di tubuh penjahat. Ujian yang paling berat dan tugas yang paling utama harus dikerjakan polisi adalah mengubah mindset para polisi dari seorang prajurit militer menjadi sipil. Sipil berbeda jauh dengan militer. Begitu intisari yang disaring dalam diskusi dengan Bambang Widodo Umar.

Saiful Haq menjelaskan tentang strategi pertahanan yang sedikit salah yang masih diterapkan oleh Indonesia. Mungkin ini dosanya Orde Baru yang sangat memanjakan Angkatan Darat yang sampai sekarang belum bisa diubah. Komando Teritorial (Mabes, Kodam, Korem, Kodim, Koramil sampai Babinsa) merupakan kesalahan fatal, sistem pertahanan TNI paralel dengan sistem pemerintahan sipil yang sampai ke tingkat desa. Seharusnya, dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, gelar pasukan harus di intensifkan di perairan, dan secara otomatis pertahanan laut harus kuat. Yang terjadi sekarang justru kita kuat di darat, tapi laut lemah. Tentara kita masih melihat ancaman datang dari darat dan dari dalam, seperti gerakan rakyat dan separatisme, padahal jika rakyat tidak lapar maka gerakan arus bawah itu tidak akan pernah ada. Ancaman yang paling jelas itu datang dari luar melalui laut, penyelundupan dan illegal fishing yang dilakukan nelayan asing dengan peralatan canggih adalah buktinya.

Yang terakhir adalah materi dari Mbak Jaleswari Pramodhawardhani, peneliti LIPI ini sebenarnya juga tak jauh-jauh berbeda materinya dengan Saiful Haq. Tapi ada yang menarik dari apa yang diutarakan oleh beliau, yaitu pertama tentang watak prajurit militer sendiri yang sulit diubah, dan yang kedua tentang hegemoni militeristik yang masih menghinggapi rakyat Indonesia. Watak prajurit TNI masih belum bersih dari masa orde baru, beliau mengatakan bahwa ini ada hubungannya dengan para jenderal TNI sekarang yang notabene adalah didikan orde baru. TNI masih suka menjadi pedagang dan politisi, hingga tak heran jika bisnis TNI masih merajalela dan politik belum bisa dihilangkan dalam tubuh TNI. Tentara kita belumlah menjadi netral seperti apa yang selama ini digembar gemborkan.

Hegemoni militeristik, masyarakat sipil Indonesia masih menganggap sesuatu yang hebat tentang militer. Militer dianggap sebagai sosok yang seksi sekaligus menakutkan. Dalam dunia bisnis, seorang pengusaha selalu berusaha untuk mendapatkan kerja sama dengan militer. Dengan mendapatkan dukungan dari militer maka suatu urusan menjadi mudah. Maka tak heran jika bisnis militer susah sangat untuk dihentikan.

Dalam bidang politik juga seperti itu, para politisi di negeri ini seakan tak enak jika tak mengikutsertakan TNI dalam barisan politiknya. Dalam setiap analisis selalu posisi TNI yang menjadi analisis utama, dimana posisi prajurit berdiri. Jangan heran, jika mengubah mindset TNI kadang juga terkendala dengan masyarakat sipil yang tak mau memulainya. Jika mau mengubah posisi TNI kita kearah lebih baik, maka perbaikan harus holistik, tidak boleh parsial dan setengah-setengah. Semoga serdadu kita semakin jaya, semakin dekat dengan rakyat dan selalu profesional. Semoga!

* Penulis adalah Tokoh Pemuda Lhoong Aceh Besar dan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Hukum Unsyiah.
http://ideas-aceh.com/2011/08/11/reformasi-sektor-keamanan/