Oleh : Muhajir Abdul Azis*
Sudah 3 hari aku ikut Workshop Reformasi Sektor Keamanan (RSK) yang dibuat oleh Kontras Aceh di Banda Aceh. Bicara tentang sektor keamanan pasti langsung terbayang adalah militer, polisi, intelijen, dan lainnya yang mempunyai kuasa menggunakan senjata di negeri ini. Acaranya asik dan pastinya menambah ilmu bagi aku, ini untuk pertama kalinya aku ikut workshop yang berhubungan dengan isu ini, sebelumnya tak pernah, bahkan berdiskusi dengan kawan-kawan aku kekurangan referensi ketika bicara tentang sepak terjang militer di negeri ini.
Jika ada yang tanya sama aku tentang militer, pasti yang akan aku ceritakan adalah tentang TNI Yonif 112 Dharma Jaya yang ketika konflik dulu pernah memukul bapakku karena ketiduran waktu jaga malam, atau tentang Brimob BKO Mabes Polri yang dulu pernah menghantamkan popor senjata AK-56 ke perutku di Simpang Dodik Lamteumen.
Pematerinya juga mantap (menurut aku), ada Bambang Widodo Umar, mantan perwira polisi yang sekarang menjadi guru besar Sosiologi Hukum UI dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian; ada Saiful Haq, aktivis muda yang konsen dengan isu pertahanan dan juga dosen di Universitas Pertahanan Indonesia; dan yang terakhir ada Jaleswari Pramodhawardhani, peneliti LIPI yang konsen dengan bisnis TNI pasca reformasi 1998.
Bambang Widodo Umar bicara tentang sepak terjang Polri. Bagaimana Polri yang sampai hari ini belum bisa memisahkan diri dari TNI, yang berbeda cuma bajunya tapi isinya tidak. Polri seharusnya menjadi sipil, sipil yang dipersenjatai oleh negara. Tugasnya bukan lagi untuk pertahanan negara, tapi lebih sebagai pengayom masyarakat. Yang dihadapi bukan lagi ancaman dari luar, tapi rakyatnya sendiri. Humanisme dan sosial masyarakat menjadi modal utama bagi polisi dalam berhadapan dengan masyarakat. Tapi fakta dilapangan masih belum seperti yang diharapkan, polisi masih belum bebas dari karakter militer. Militer tugasnya menghancurkan, baik hidup atau mati, sedangkan polisi melumpuhkan, melumpuhkan untuk ditangkap dan kemudian dimintai keterangannya. Yang terjadi masih saja polisi suka sekali latah untuk mengeluarkan pelurunya ke sasaran yang mematikan di tubuh penjahat. Ujian yang paling berat dan tugas yang paling utama harus dikerjakan polisi adalah mengubah mindset para polisi dari seorang prajurit militer menjadi sipil. Sipil berbeda jauh dengan militer. Begitu intisari yang disaring dalam diskusi dengan Bambang Widodo Umar.
Saiful Haq menjelaskan tentang strategi pertahanan yang sedikit salah yang masih diterapkan oleh Indonesia. Mungkin ini dosanya Orde Baru yang sangat memanjakan Angkatan Darat yang sampai sekarang belum bisa diubah. Komando Teritorial (Mabes, Kodam, Korem, Kodim, Koramil sampai Babinsa) merupakan kesalahan fatal, sistem pertahanan TNI paralel dengan sistem pemerintahan sipil yang sampai ke tingkat desa. Seharusnya, dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, gelar pasukan harus di intensifkan di perairan, dan secara otomatis pertahanan laut harus kuat. Yang terjadi sekarang justru kita kuat di darat, tapi laut lemah. Tentara kita masih melihat ancaman datang dari darat dan dari dalam, seperti gerakan rakyat dan separatisme, padahal jika rakyat tidak lapar maka gerakan arus bawah itu tidak akan pernah ada. Ancaman yang paling jelas itu datang dari luar melalui laut, penyelundupan dan illegal fishing yang dilakukan nelayan asing dengan peralatan canggih adalah buktinya.
Yang terakhir adalah materi dari Mbak Jaleswari Pramodhawardhani, peneliti LIPI ini sebenarnya juga tak jauh-jauh berbeda materinya dengan Saiful Haq. Tapi ada yang menarik dari apa yang diutarakan oleh beliau, yaitu pertama tentang watak prajurit militer sendiri yang sulit diubah, dan yang kedua tentang hegemoni militeristik yang masih menghinggapi rakyat Indonesia. Watak prajurit TNI masih belum bersih dari masa orde baru, beliau mengatakan bahwa ini ada hubungannya dengan para jenderal TNI sekarang yang notabene adalah didikan orde baru. TNI masih suka menjadi pedagang dan politisi, hingga tak heran jika bisnis TNI masih merajalela dan politik belum bisa dihilangkan dalam tubuh TNI. Tentara kita belumlah menjadi netral seperti apa yang selama ini digembar gemborkan.
Hegemoni militeristik, masyarakat sipil Indonesia masih menganggap sesuatu yang hebat tentang militer. Militer dianggap sebagai sosok yang seksi sekaligus menakutkan. Dalam dunia bisnis, seorang pengusaha selalu berusaha untuk mendapatkan kerja sama dengan militer. Dengan mendapatkan dukungan dari militer maka suatu urusan menjadi mudah. Maka tak heran jika bisnis militer susah sangat untuk dihentikan.
Dalam bidang politik juga seperti itu, para politisi di negeri ini seakan tak enak jika tak mengikutsertakan TNI dalam barisan politiknya. Dalam setiap analisis selalu posisi TNI yang menjadi analisis utama, dimana posisi prajurit berdiri. Jangan heran, jika mengubah mindset TNI kadang juga terkendala dengan masyarakat sipil yang tak mau memulainya. Jika mau mengubah posisi TNI kita kearah lebih baik, maka perbaikan harus holistik, tidak boleh parsial dan setengah-setengah. Semoga serdadu kita semakin jaya, semakin dekat dengan rakyat dan selalu profesional. Semoga!
* Penulis adalah Tokoh Pemuda Lhoong Aceh Besar dan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Hukum Unsyiah.
http://ideas-aceh.com/2011/08/11/reformasi-sektor-keamanan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar