Rabu, 09 Maret 2011

Quo vadis gerakan mahasiswa Aceh : Organisasi Mahasiswa Ibarat Rumah Tanpa Penghuni....!!!!


Oleh : Herlin
Mahasiswa adalah kelas sosial di masyarakat yang mempunyai konotasi religius, moralis, intelektual, dan humanis. Kelas ini unik karena menghubungkan dimensi ketuhanan, yaitu MAHA, yang inheren dengan makna Yang Mutlak, Kebenaran Absolut; dan kemakhlukan, yaitu SISWA, sosok manusia pembelajar, sebuah perilaku dinamis untuk menyempurna yang senantiasa dinamis, bergerak.

Sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang “maha”, tugas dan tanggung jawab mahasiswa lebih berat daripada makhluk sosial lainnya. Dia diberi mandat oleh Tuhan untuk menggaungkan kebenaran, karena Tuhan adalah Sang Kebenaran. Mahasiswa menatap realitas sosial dengan sikap:

1. Kritis, karena realitas sosial bisa jadi adalah hasil konstruksi kekuasaan yang tidak selalu benar
2. Rasional, karena realitas sosial harus disikapi dengan nalar rasional, bukan reaktif-emosional;
3. Independen, karena menyikapi segala realitas sosial harus tanpa beban beban sejarah, patronase dan primordialisme. sehingga mahasiswa haruslah menjadi corong rakyat terhadap segala bentuk kebijakan dan praktik kekuasaan Negara, penyambung lidah rakyat dan kaum tertindas

Gerakan mahasiswa di Indonesia merupakan fenomena historis yang hamper tidak terlupakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan, gerakan mahasiswa setidaknya telah meruntuhkan dua rezim pasca kolonial di Indonesia yaitu rezim Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya dan Rezim Soeharto dengan Orde barunya.

Dalam geliat gerakan mahasiswa tak sedikit sejumlah mahasiswa yang gugur dan syahid di jalan Tuhan dalam upaya menegakan keadilan, kemanusiaan dan kebenaran. Karena itu sudah semestinya penguasa yang saat ini menduduki tampuk kekuasaan merealisasikan cita-cita,aspirasi, dan moralitas dari pengorbanan mereka agar kesalahan tidak berulang. Sebagai gerakan moral yang berinplikasi politik, gerakan mahasiswa telah menjadi “mitos” tersendiri di bumi pertiwi.

Namun seiring dengan langkah jaman gerakan mahasiswa kini berada di persimpangan jalan yang membingunkan. dimana tarikan antara perjuangan moral bertarung dengan rayuan elit politik untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan yang saat ini tidak pernah merasakan penderitaan rakyat.

Disinilah mahasiswa diuji apakah ia akan konsisten sebagai perjuang moral atau terjerumus kedalam lembah apa yang disebut sebagai “penghianatan kaum inteletual” yang mercumbu dengan penguasa yang dzalim.

Didepan terlihat tantangan dimana masyarakat baik di indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia akan mengalami perkembangan penuh sehingga semua nilai manusiawi yang mungkin ada akan terealisasi dan manusia akan mencapai kesempurnaan, kesejahteraan dan pada akhirnya kebajikan yang aktual.



Melihat sejenak fenomena Gerakan Mahasiswa Aceh

Gerakan Mahasiswa Aceh telah tercatat dalam buku Record of Aceh, mereka telah pernah menciptakan sejarah dalam dinamika politik ke Acehan. Faktor apa yang mendorong mereka mampu melahirkan terobosan-terobosan serta idea-idea besar tersebut. Benarkah mahasiswa Aceh seperti yang digambarkan oleh Ahmad Human Hamid (1999) merupakan satu generasi yang lahir tidak hanya membaca dan mendengar kisah Aceh. Selama 10 tahun mereka hidup dibawah bayang-bayang ketakutan daerah Operasi Militer (DOM). Namun karena kesadaran yang dimiliki oleh rakyat, mahasiswa Aceh bersatu dengan gaya hidup rakyat, sekejam apapun bentuk yang di lakukan tetap saja akan melahirkan bibit perlawanan. Maka apabila tradisi perlawanan itu mendapat momentum maka usaha-usaha perubahan adalah merupakan jawabannya

Pada saat itu mahasiswa memiliki musuh bersama yaitu militer, sehingga pada saat itu mahasiswa mampu mengorganisir diri dan melawan untuk keluar dari kungkungan kekejaman rezim orde baru dengan DOM nya.

Seluruh organisasi mahasiswa dan sipil berkoalisi dan membentuk front-front perlawanan menentang rezim yang korup dan kerap melanggar Hak Azasi Manusia (HAM), teriakan-teriakan perlawanan menggema di sana-sini di bumi serambi mekkah.

Namun kenyataanya saat ini amat jauh berbeda, dimana saat ini juga tidak lebih kurang (sama) bahkan bisa saja lebih banyak organisasi mahasiswa yang ada di aceh tidak membawa dampak yang positif bagi rakyat. Gerakan mahasiswa tidak lagi membangun sebuah kekuatan yang utuh dalam melawan musuh bersama, namun musuh itu tidak lagi ditemukan.

Saat ini organisasi mahasiswa hanya menjadi wadah untuk mencari keuntungan dalam bentuk kegiatan, atau dengan kata lain opportunis. Mereka tidak mampu lagi melihat persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Bahkan gerakan mahasiswa cenderung terjebak dalam politik praktis yang hanya berorientasi kekuasaan atau merapat kekuasaan hanya demi keuntungan yang ingin diperoleh, baik secara kelompok maupun secara pribadi.



Gerakan mahasiswa Aceh makin hari cenderung semakin lemah, proses kaderisasi ditingkat mahasiswa juga minim, akibatnya rantai gerakan yang dibangun menjadi putus, tidak kontinyu, karena kurangnya penanaman nilai-nilai kritis mahasiswa terhadap kondisi social. Pada puncaknya akan melahirkan mahasiswa yang apatis yang tidak peduli terhadap persoalan social, serta akan terjebak dalam budaya hedonisme.

Sebuah kenyataan pahit yang harus ditelan oleh gerakan mahasiswa saat ini adalah ketika organisasi baik di kampus dan di luar kampus tidak mampu lagi menjadi mesin produksi kader-kader gerakan mahasiswa, dan terkesan imponten atau loyo dalam melihat dan menganalisa persoalan yang selama ini terjadi, organisasi mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus hanya menjadi rumah-rumah kosong tanpa penghuni, dan kesannya hanya menjadi simbol, tanpa mampu berkontribusi untuk kemajuan Aceh.

Berbagai macam persoalan dari mulai kemiskinan, korupsi dan para korban pelanggaran HAM yang sampai hari ini belum mendapatkan keadilan, saat sangat jarang bahkan hampir tidak pernah disikapi secara kolektif oleh gerakan mahasiswa Aceh, padahal persoalan-persoalan tersebut akan semakin cepat tuntas apabila seluruh komponen mahasiswa Aceh bergerak dan memperjuangkan secara bersama.

Rekonstruksi ulang terhadap gerakan mahasiswa saat ini sudah saatnya dilakukan, mengingat transformasi budaya dan perubahan iklim politik di Aceh yang begitu cepat serta pertumbuhan laju pembangunan, yang harus selalu dikontrol secara social oleh mahasiswa. Disinilah peran mahasiswa untuk bisa menjadi agent of control yang sebenarnya. Kegiatan yang bersifat edukatif dan pengembangan dalam bentuk membaca dan berdiskusi, bakti social serta berorganisasi merupakan salah satu contoh yang efektif dalam membangun kerangka berpikir kritis. Sehingga mahasiswa tidak lagi terjebak dengan budaya hura-hura atau budaya hedonisme yang tidak membawa manfaat justru lebih banyak membawa dampak negatif.

Untuk itu mari kita “Rekonstruksi” gerakan ini!. Karena hanya ada dua pilihan bagi anda para mahasiswa, “mencetak sejarah, atau digilas oleh sejarah karena hanya menjadi penonton”. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat!!!

Senin, 11 Oktober 2010

MAHASISWA SEBAGAI AGENT PERUBAHAN

Oleh : Herlin

Menyandang gelar mahasiswa merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan. Betapa tidak, ekspektasi dan tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu besar. Pengertian mahasiswa tidak bisa diartikan kata per kata. Mahasiswa juga bukanlah hanya sekedar orang yang belajar di perguruan tinggi. Tapi pengertian mahasiswa lebih dari itu. Mahasiswa adalah seorang “agent of change”.
Seorang agen pembawa perubahan. Menjadi seorang yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini. Masyarakat awam melihat mahasiswa sebagai tempat dimana harapan akan suatu perubahan mereka gantungkan. Secara garis besar, setidaknya ada 3 peranan mahasiwa, yaitu :
1. Peranan moral,
2. Sosial dan ;
3. Intelektual.
Yang pertama peranan moral, dunia kampus merupakan dunia di mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka mau. Disinilah dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing sebagai indidu untuk dapat menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan moral yang hidup dalam masyarakat.
Kedua adalah peranan sosial. Selain tanggung jawab individu, mahasiswa juga memiliki peranan social, yaitu bahwa keberadaan dan segala perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Yang terakhir adalah peranan intelektual. Mahasiswa sebagai mahluk yang digadang-gadang sebagai insan intelek haruslah dapat mewujudkan status tersebut dalam ranah kehidupan nyata. Dalam arti menyadari betul bahwa fungsi dasar mahasiswa adalah bergelut dengan ilmu pengetahuan dan memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia miliki.
Peranan mahasiwa dalam kaitannya untuk mewujudkan kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik, bangsa ini tidak akan pernah mempunyai harapan bila para pemudanya, khususnya mahasiswa, hanya pandai berbicara “Indonesia bisa berubah”, “ Kami bisa merubah Indonesia”, atau “ Indonesia masih punya harapan “, tanpa pernah melakukan tindakan nyata, tanpa pernah memberikan kontribusi nyata untuk Indonesia yang lebih baik. Karena segala janji dan ikrar takkan pernah berarti apa-apa tanpa diiringi dengan tindakan nyata. Untuk itu, setiap mahasiswa harus bersinergi, berfikir kritis dan bertindak konkret, untuk secara bersama-sama menjadi pelopor dalam pembaharuan kehidupan bangsa.
Seorang mahasiswa tidak pernah salah. Ketika apa yang ia bicarakan benar maka berati ia hebat. Tetapi ketika apa yang ia bicarakan salah maka itu karena ia sedang belajar. Jadi penting bagi kita semua bahwa sebagai mahasiswa kita tidak boleh takut untuk terus belajar. Belajar tidak hanya didapat di bangku perkuliahan. Belajar berorganisasi dan kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya dapat meningkatkan pemahaman kita tentang kehidupan yang sebenarnya.
Tapi pertanyaannya, mengapa kita harus berbuat sesuatu untuk rakyat? Mengapa bukan orang lain? Sebagai seorang mahasiswa yang kehidupan kampusnya disubsidi dari pajak penghasilan rakyat, kita tidak boleh melupakan tridharma perguruan tinggi yang terakhir yaitu, pengabdian masyarakat. Oleh karena itu, kita tidak boleh menjadikan kampus sebagai menara gading yang jauh dari masyarakat, tetapi kita harus menjadikan kampus kita ini sebagai menara air yang menyejukkan dan memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.
Untuk mewujudkan semua itu, setidaknya ada 3 hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang mahasiswa yang menjadi seorang aktivis sosial, yaitu:
 Kita tidak boleh melupakan tugas utama kita sebagai mahasiswa yang harus bertanggung jawab atas keilmuan dan kompetensi diri sebagai bagian dari civitas akademika.
 Kita juga tidak boleh melupakan tanggung jawab kita terhadap kedua
orang tua sebagai seorang anak dimana setiap orang tua pastilah menginginkan anaknya untuk sukses dan dapat menjadi kebanggaan bagi mereka.
 Semua dilakukan secara seimbang, sesuai dengan porsinya masing-masing. Artinya kita dapat menyeimbangkan semua kewajiban kita sebagai seorang anak, seorang mahasiswa, seorang aktivis, dan lain sebagainya.
Demikianlah, dapat jelas terlihat bahwa peranan mahasiswa sebagai agen perubahan bukanlah sekedar jargon bukan pula hanya sebuah slogan tetapi hal ini harus dijadikan sebagai pemicu untuk dapat direalisasikan ke dalam kehidupan nyata. Bahwa kita, mahasiswa sudah menyatakan komitmen bahwa kita tidak akan hanya sekedar berpangku tangan, bahwa kita akan berbuat sesuatu untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
***Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Unimal 2010-2011 dan Dewan Pendiri Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh***

Rabu, 21 Juli 2010

Singkronisasi antara Implementasi Hukum dan Peran Pemerintah dalam Memenuhi serta Menjamin Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bagi Rakyat Indonesia

Oleh : Herlin
Transisi demokrasi di Indonesia dalam taraf tertentu telah membuka ruang yang lebih luas bagi hak-hak rakyat untuk berekspresi, berorganisasi dan mengeluarkan pendapat dibandingkan denga jaman Orde Baru yang otoriter. Intinya hak-hak sipil telah diberi tempat dan ruang yang luas, bahkan dalam level tertentu telah dijamin oleh undang-undang

Namun, transisi demokrasi tersebut ironisnya berjalan berbarengan dengan krisis ekonomi yang tidak juga menemui jalan keluar. Fomula liberalisasi ekonomi dari IMF dan Bank Dunia yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto hingga SBY terbukti lebih beracun dari penyakit krisis yang hendak diobati. Formula liberalisasi terbukti mengakibatkan hak-hak sosial rakyat dilanggar oleh negara dan kepentingan modal. Tanggung jawab subsidi negara dikurangi bahkan dicabut, semata mengikuti logika pasar bebas. Akibat pengabdian rejim transisi demorkasi pada pasar bebas kehidupan rakyat semakin dimiskinkan dan terjerabut dari hak-hak sosial-ekonominya, bahkan yang paling dasar sekalipun. Akses rakyat kepada kesehatan dan pendidikan semakin sempit; pengangguran meningkat tajam; upah nyata buruh semakin kecil; subsidi negara dihapuskan/dikurangi. Di sisi lain kontrol rakyat atas berbagai ekosistem kehidupan juga tercerabut atau bahkan dihancurkan oleh kekuatan pasar bebas yang eksplosif dan negara.

Agar hak-hak sosial ekonomi rakyat tidak ditundukan secara total oleh kekuatan pasar, harus dikembangkan berbagai strategi dan inisiatif agar sistem-sistem sosial-ekonomi kerakyatan bisa direbut kembali demi gerakan di akar rumput dan dipertahankan untuk melawan pengrusakan lingkungan ekosob yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar bebas. Perjuangan menuntut hak-hak ekosob akan menyediakan syarat untuk dapat didorong oleh gerakan menjadi isu umum yang betul-betul menjadi kebutuhan dalam realitas konkrit kehidupan rakyat kebanyakan.

Inisiatif pemerintah RI yang sudah meratifikasi konvenan hak-hak Ekosob jangan juga menjadi ilusi akan dijalankan. Ratifikasi ini harus dipaksa agar dijadikan undang-undang dan mengikat pelaku bisnis, kepentingan modal dan pemerintahan lokal. Bentuk kongkritnya adalah anggaran negara dan anggaran daerah yang betul-betul dirumuskan demi kepentingan sosial, bukan kepentingan elit politik dan kepentingan pasar.

Anggaran negara yang mengabdi pada kepentingan dasar rakyat bukanlah sebuab mimpi. Di i Brasil, dinegara bagian Porto Alegre, sejak tahun 1990 an, rakyat menentukan perumusan anggaran pembangunan melalui mekanisme Anggaran Partisipatoris (Participatory Budget). Dengan cara itu anggaran pembangunan negara setiap tahun, disesuaikan dengan kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan pemilik modal atau pasar. Untuk sampai ketahap seperti itu, rakyat disana juga perlu untuk mendemokratiskan kekuasan eksekutif di level lokal. Caranya dengan partisipasi rakyat untuk mendukung dan menguasai pemerintahan di level distrik/kabupaten dan negara bagian dengan mendukung calon eksekutif yang memperjuangkan platform anggaran partisipatoris.

Dengan otonomi daerah dan ruang demokrasi yang lebih luas sekarang ini, sebetulnya ada kesempatan apa yang terjadi di Porto Alegre juga bisa terjadi disini. Problemnya adalah, apakah gerakan disini mau bersatu untuk perjuangan politik yang mengabdi pada kepentingan rakyat, atau bersatu untuk tujuan eskistensi politik belaka.

Karena, hak Sipol adalah problem keseharian yang paling mencolok dalam negara yang tidak demokratis. Namun, itu tidak berarti bahwa hak Ekosob telah terpenuhi dalam negara otoriter. Kita mungkin masih ingat bagaimana ORBA dulu mempopulerkan jargon yang lebih kurang berbunyi "politic no, economy yes". Seolah hak ekonomi atau kesejahteraan masyarakat telah dipenuhi dengan baik oleh Negara. Padahal, jargon itu hanyalah kamuflase yang digunakan sebagai topeng untuk melegitimasi tindakan brutal negara terhadap hak-hak Sipol rakyat.

Yang terjadi adalah pelanggaran terhadap hak-hak Ekosob tidak terungkap karena tidak adanya ruang untuk mempublikasikan penistaan Negara terhap hak-hak itu. Sebab, kebebasan pers adalah kemewahan yang tak terbeli dalam negara yang dikontrol oleh pemerintahan despotik. Karenanya, pengungkapan tragedi kelaparan, kematian akibat epidemic, dll menjadi aib yang selalu ditutupi oleh penguasa diktator. Jadi, dalam kalimat sederhana mungkin bisa dikatakan 'jangankan menuntut hak atas pelayanan kesehatan, hak berbicara saja masih belum terpenuhi'.

Hal tersebut menjadi penting untuk diungkap kembali, karena akhir-akhir ini kita seringkali mendengar 'gugatan' bahwa kesejahteraan ekonomi lebih terpenuhi ketika orde baru disbanding sekarang. Reformasi dianggap hanya mempersulit peningkatan kesejahteraan rayat. Padahal tudingan itu melupakan berbagai problem krusial terkait kesejahteraan dimasa orde baru, yang tidak terungkap karena tidak adanya kebebasan media di masa itu. Bukan karena hidup rakyat yang lebih sejahtera. Selain itu juga harus dipahami bahwa kondisi hidup rakyat yang semakin terpuruk saat ini adalah bagian dari problem masa lalu.
Hal inilah yang mengakibatkan perjuangan atas hak-hak ekosob seringkali baru menjadi agenda prioritas setelah penguasa otoriter tumbang, seperti situasi tengah kita alami sekarang.

Kedua, dalam penegakan ke dua kovenan tersebut, terdapat dua strategi yang berbeda, yang dalam skema perekonomian global saat ini, justru semakin menjauhkan komitmen negara dalam pemenuhan Hak Ekosob. Sebab, kovenan yang mengatur masalah hak-hak Sipol, bertendensi membatas intevensi Negara dalam pemenuhannnya, sehingga lazim dikenal dengan istilah hak-hak negative (negative rights). Sementara upaya Pemenuhan hak-hak ekosob justru sebaliknya. Negara malah akan melakukan pelanggaran jika tidak aktif berperan dalam pemenuhan hak-hak ini.

Sehingga, hak Ekosob juga lazim dikenal sebagai hak-hak positif (positive rights). Namun, yang jadi perkara -terkait pemenuhan hak Ekosob – adalah kebijakan ekonomi sejak krisis mendera di tahun 1997 secara gamblang diabdikan pada kepentingan pasar. Konsekwensinya, peran negara dalam aktivitas pemenuhan kesejahteraan rakyat dikurangi. Program pelayanan umum makin ditinggalkan oleh pemerintah, karena pendukung neoliberal meyakini bahwa pasar punya mekanisme sendiri untuk mengatur itu.

Peran negara dipangkas sedimikian rupa, menjadi hanya sebatas fasilitator bagi berkembangnya pasar. Hal ini tercermin dari alokasi APBN untuk bidang sosial yang terus dikebiri. Beban hutang yang luar biasa telah memaksa pemerintah untuk memperketat dan melakukan efisiensi dalam APBN. Sehingga, berbagai subsidi dikurangi, bahkan dicabut. Faktanya bisa diamati dari gencarnya IMF mendesak agar sektor-sektor pelayanan dasar segera diliberalisasi dan penghapusan berbagai subsidi di bidang yang terkati dengan hajat hidup orang banyak seperti ; BBM, listrik, telekomunikasi, produk pertanian,dll.

Semua arah kebijakan tersebut hadir sebagai 'kutukan' dan malapetaka bagi rakyat, yang sudah termarjinalkan selama puluhan tahun. Sebab, policy itu memicu melonjaknya harga-harga barang, ditengah pendapatan rakyat yang semakin menurun. Hal tersebut, tentu saja semakin melemahkan daya beli masyarakat, yang diperburuk oleh ambisi pemerintah untuk terus menggenjot pendapatan dari sektor pajak.

Hasilnya adalah kesejahteraan rakyat semakin tergerus. Sebab, rakyat ditinggal sendirian menghadapi serangan program neoliberal yang hadir untuk merampas semua pelayanan dasar negara terhadap mereka. Kebijakan yang mengandung unsur subsidi negara, oleh IMF dianggap tidak produktif karena bertentangan dengan logika pasar. Karenanya, kebijakan dimaksud, hanya akan semakin mempersempit akses masyarakat terhadap pemenuhan hak Ekosob, termasuk hak atas kesehatan karena biaya berobat yang semakin tak terjangkau. Contoh yang lebih telanjang adalah pengingkaran negara terhadap hak rakyat atas pendidikan, yang juga menjadi hak dasar yang diatur dalam kovenan Ekosob. Setiap tahun kita bisa meilihat betapa pemerintah melakukan pelanggaran terhadap amanat konstitusi, karena tidak pernah merealisasikan anggaran pendidikan yang telah diatur sebesar 20%.

Kebijakan pemulihaan ekonomi yang takluk buta dibawah komando program neo liberal seperti dipraktekan saat ini, akan semakin memperburuk realisasai komitmen pemerintah pada pemenuhan hak-hak Ekosob. Sebab, kebijakan tersebut pastinya tidak diarahkan untuk membangun ribuan ruang kelas yang ambruk yang secara nyata menafikan hak rakyat atas pendidikan. Selain itu kebijakan neoliberal tentu tidak akan peduli terhadap upaya peningkatan upah buruh, pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil dan terisolir serta hak dasar lain yang terangkum dalam kovenan Ekosob. Karena, pembiayaan untuk sektor semacam ini, sekali lagi, hanya akan dianggap pemborosan
Sehingga, secara kritis dapat dikatakan bahwa strategi pemulihan ekonomi yang tempuh saat ini lebih terlihat sebagai upaya untuk meladeni kepentingan neoliberal dan untuk melunasi hutang yang konon sulit terbayarkan bahkan untuk beberapa generasi kedepan.

Dalam situasi ketika negara seperti lepas tangan dari tanggung jawab sosialnya, nasib warga akan sangat ditentukan oleh aktivitas ekonomi mereka sendiri. Orang-orang yang tidak memiliki keahlian dan sumber
daya ekonomi yang cukup akan termajinalisasi. Benar bahwa pemerintah mencoba melakukan upaya pemenuhan hak Ekosob melalui program-program seperti pembagian beras miskin (raskin), pemberian kartu berobat murah, pembagian Bantuan Langsung Tunai (BTL), bantuan operasional sekolah, dll. Namun, rangkaian program 'charity' tersebut, lebih terlihat sebagai pelipur lara atas dinaikkannya harga BBM. Karenanya, perlindungan serupa itu hanya bersifat artificial, bukan jawaban terhadap penderitaan panjang yang mendera rakyat selama bertahun-tahun. Sebab, kebijakan yang diambil bukan merupakan program jangka panjang yang didukung langkah-langkah komprehensif untuk pencapain target-target yang terukur dalam rentang waktu tertentu.

Kondisi ini menjadi penjelas bahwa hak-hak Ekosob belum menjadi prioritas pemerintah dan secara gamblang menafikan konstitusi (UUD 1945) yang dalam pembukaannya telah secara tegas mengatur bahwa "tujuan bernegara adalah menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’’ . Disisi lain, economic recovery memang telah menunjukkan sinyal perbaikan, yang ditandai oleh nilai kurs Rupiah yang cenderung stabil. Namun, hal tersebut belum secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum. Apalagi, seperti dilansir berbagai media, perbaikan kurs rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh banyaknya besaran investasi portofolio yang ditanamkan di pasar modal atau bursa saham. Bukan investasi asing langsung (foreign direct investment) yang datang untuk mengembangkan usaha di Indonesia. Seperti diketahui, investasi portfolio adalah jenis investasi yang dapat bergerak dalam hitungan detik, perpindahannya dari satu negara ke negara lain terjadi dalam satu kedipan mata. Sehingga para pelaku investasi model ini lebih tepat disebut spekulan ketimbang investor, yang jika melarikan modalnya ke luar negri bisa mengancam krisis ekonomi seperti yang terjadi di awal 1997.

Hal inilah yang menyebabkan kenapa perbaikan ekonomi saat ini tidak berbanding lurus dengan jumlah angka kemiskinan yang malah cenderung naik, serta angka pengangguran, angka anak putus sekolah dan berbagai wabah penyakit seperti, demam berdarah, flu burung, diare, dll, yang tidak pernah tertangani secara tuntas dan menjadi ancaman pembunuhan yang terus menghantui warga dalam setiap musim tertentu. Situasi ini tentu menjadi sebuah ironi ditengah gencarnya pemerintah mengkampanyekan perbaikan kondisi hak asasi manusia sebagai agenda utamanya.

Hak Atas Kesehatan dan Tanggung Jawab Negara
Sebagai produk perang dingin, perjuangan atas hak Sipol menjadi prioritas utama yang diperjuangkan oleh para perjuang HAM, sebagai antitesa terhadap banyaknya korban akibat brutalitas Negara yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Namun, fakta mencengangkan mengungkap bahwa ternyata korban yang meninggal akibat kelaparan, penyakit menular dan berbagai soal yang terkait dengan masalah kemiskinan jauh lebih banyak dari korban karena kekerasan Negara. Thomas Pogge (2004) dalam artikelnya "World Poverty and Human Rights", yang mengutip data World Health Organisation (WHO), mencatatat bahwa diperkirakan ada 18 juta korban yang meninggal setiap tahunnya karena kasus yang terkait dengan masalah kemiskinan atau 1/3 dari jumlah total korban jiwa yang ditaksir sebesar 270 juta sejak berakhirnya perang dingin. Karenanya, berpijak pada fakta itu maka perjuangan pemenuhan hak Ekosob, harus ditempatkan dalam posisi setara dengan perjuangan hak Sipol. Kaitannya dengan hak rakyat atas kesehatan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pembukaan konstitusinya lebih spesifik mendefenisikan kesehatan sebagai "Suatu kondisi yang baik dan sempurna fisik, mental dan sosial dan bukan hanya kondisi penyakit atau kelemahan fisik belaka" . Dengan demikian, hak atas kesehatan, semestinya harus lebih diposisikan dalam kerangka kerja preventive. Hal ini bermakna bahwa pemerintah harus bertindak lebih cepat dalam mencegah timbulnya suatu penyakit, misalnya dengan mendorong terciptanya lingkungan yang bersih, sarana air bersih dan sanitasi yang memenuhi standar kesehatan, dll. Tindakan reaktif pemerintah, layaknya pemadam kebakaran, yang diambil setelah jatuhnya korban jiwa, karenanya sangat jauh dari semangat untuk memenuh hak rakyat atas kesehatan.
Kovenan hak Ekosob memang mengakomodasi pemenuhan secara bertahap atau progresif oleh Negara atas hak-hak itu termasuk hak atas kesehatan. Sebab, disadari pencapaian paling maksimal membutuhkan waktu yang lama. Namun ada kewajiban dasar yang mengikat pemerintah untuk melakukan realisasi secara segera (immediate realization), khususunya terhadap soal yang terkait dengan "pengurangan angka kelahiran dan kematian bayi, pencegahan dan penanggulangan epidemic, endemik, serta peningkatan kondisi yang dapat menjamin terjangkaunya sarana medis bagi penderita penyakit"

Karena itu, ruang yang diberikan oleh kovenan tersebut untuk Pemenuhan secara progresif, tidak bisa dipakai sebagai dalih untuk menunda pemenuhan hak atas kesehatan. Yang harus dipastikan adalah apakah Negara tidak atau belum mampu ataukah Negara memang tidak mau dan tidak peduli terhadap itu. Sehingga, hal yang mesti diamati adalah sejauh mana kebijakan pemerintah memberi prioritas terhadap Pemenuhan kesehatan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari misalnya ; berapa besar anggaran yang dialokasikan untuk itu. Karena hal tersebut akan berimplikasi pada fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang bisa disediakan untuk masyarakat. Dari sini kemudian dapat diketahui apakah Negara tidak mampu atau tidak mau memenuhi hak itu. Tapi seringkali kita dipertontonkan sesuatu yang sangat kontras di republik ini, jika kita membandingkan layanan kesehatan yang dinikmati pejabat dan rakyat. Karena, pejabat bisa mendapat fasilitas yang sangat mewah untuk itu, namun disaat yang sama di rumah sakit umum ada orang yang ditolak berobat karena tidak punya biaya.

Padahal seperti dikutip diatas, pasal 12 kovenan Ekosob yang mengatur masalah hak atas kesehatan mencantumkan kata standar tertinggi yang mestinya dinimati setiap orang untuk pelayanan kesehatan fisik dan mental. Kata tertinggi dalam pasal tersebut berimplikasi pada elemen-elemen mendasar atau prinsip-prinsip yang mesti dipenuhi Negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan seperti ; ketersedian, aksesibilitas dan akseptibilitas dan kualitas. Karena itu Negara memiliki obligasi untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak rakyat atas kesehatan.
Hal inilah yang menyebabkan kenapa persoalan tingkat kematian bayi misalnya, juga menjadi salah satu parameter untuk menentukan berhasil tidaknya pembangunan di suatu negara. Sebab, pembangunan mestinya berjalan linear dengan peningkatan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Untuk itu masyarakat juga harus terus aktif untuk mendesak pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai. Karena, sangat sulit berharap kebaikan pemerintah yang saat ini didominasi oleh para politisi 'kepala batu' untuk memenuhi hak-hak konstitusional tersebut.
"Karya ini dimuat dalam Buku : Menanti Kebangkitan Hukum Indonesia karya Mahasiswa Fakultas Hukum Se-Indonesia, Penerbit Press UI dan Pusat Kajian Mahkamah Konstitusi RI"

PERAN REMAJA DALAM MEMPROMOSIKAN HAM DI ACEH

Oleh : Herlin
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Dilihat dari perspektif HAM pemikiran diatas akan bermuara pada urgensi pengembangan demokrasi secara konsisten. Demokrasi mengandaikan adanya supremasi hukum; dan berkembangnya kesadaran rakyat tentang hak-haknya, disamping tentunya ada pembagian kewenangian antar cabang kekuasaan baik dalam struktur pemerintahan di pusat maupun di daerah. Sebaliknya demokrasi juga mengandaikan adanya dan memberi peluang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesadaran akan hak-hak rakyat yang diaplikasikan dalam partisipasi politik mereka. Bahkan kondolidasi demokrasi mempersyaratkan adanya partisipasi rakyat yang efektif. Dalam konteks Negara yang dalam taraf transisi menuju demokrasi, penegakan supremasi hukum, peningkatan kesadaran rakyat atas hak-haknya dan perlindungan HAM merupakan bagian dari agenda urgen untuk mendorong pemapanan demokrasi yang dikenal dengan istilah konsolidasi demokrasi.
Hal diatas merupakan instrument penting yang seharusnya dijadikan landasan berfikir para remaja saat ini dia Aceh mengenai Hak Asasi Manusia, terutama pasca MoU Helsinki. Namun pada kenyataan nya, mereka kurang berperan aktif dalam mensosialisasikan HAM. Ada factor yang mempengaruhi kenapa remaja di Aceh saat ini cenderung pasif dalam hal mensosialisasikan HAM. Hal ini salah satunya adalah kurangnya pemahaman tentang HAM itu sendiri.
Seperti kita ketahui, sebagian besar remaja dan pemuda di aceh saat ini kurang memiliki pemahaman tentang HAM, hal itu dapat kita lihat kurangnya pemahaman mereka tentang hak-hak terhadap pendidikan, kesehatan, dan hak-hak lainya yang merupakan tanggung jawab Negara dalam proses pemenuhannya. Ketika hak-hak atas pendidikan dilanggar sebagian besar generasi muda (para remaja) tidak pernah mengkritisi, kurangnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin saat ini di Aceh juga tidak pernah mendapat sorotan yang serius dari para remaja. Padahal seharusnya, para remaja yang notabene sebagai generasi penerus bangsa harus lebih aktif dan progresif dalam mempromosikan HAM dan memberikan penyadaran kepada masyarakat luas di Aceh tentang pentingnya HAM. Agar kita bisa mengetahui apa saja yang menjadi hak individu masyarakat yang harus dipenuhi oleh Negara.
Selain itu dengan adanya pemahaman tentang HAM kita juga dapat mengetahui tentang hak-hak orang lain yang tidak boleh kita langgar. Sehingga kita dapat hidup secara berdampingan dengan rukun tanpa memandang agama, suku, dan ras masing-masing. Hal ini juga penting, guna mengawal perdamaian di Aceh yang telah berjalan selama 4 tahun lamanya. Kalau ini tidak dikawal, maka peluang timbulnya konflik akan semakin besar. Karena, seperti yang kita ketahui bersama bahwa konflik di Aceh bermula pada persoalan kesejahteraan dan keadilan sosial yang tidak dipenuhi oleh pemerintah, sehingga lahirlah gejolak konflik masyarakat yang lambat laun ini akan semakin besar. Konflik vertical tersebut terjadi cukup panjang pasca kemerdekaan.
Untuk menjaga semua itu, maka instrument HAM merupakan alat yang ideal dalam proses mengawal Perdamaian di Aceh. Remaja sudah selayaknya menjadi katalisator dalam proses ini. Remaja saat ini sudah selayaknya membekali diri mereka tentang pemahaman mengenai HAM secara mendalam. Agar mereka dapat mempromosikan HAM kepada masyarakat dengan baik, apabila masyarakat sudah cerdas dalam memahami tentang hak-hak dasar mereka dan dapat menghormati hak-hak individu orang lain, maka akan tercapai cita-cita perdamaian di Aceh.
Karena pada dasarnya, HAM juga menjadi salah satu konsep pemersatu bangsa, sehingga setiap orang, perkumpulan dan organisasi dapat menghargai haknya masing-masing. Dan HAM juga mengatur tentang kebebasan berpendapat, dimana secara konstitusional itu juga di atur didalam UUD 1945, dan seorang pun tidak boleh mengekang terhadap kebebasan orang lain dalam hal menyampaikan pendapat. Namun apabila hal ini tidak dipahami secara baik, maka yang terjadi adalah perilaku menindas sesama. Hal-hal penting semacam ini yang perlu kita jaga agar kehidupan masyarakat di aceh yang heterogen dapat berlangsung secara damai dan rukun. Isu-isu yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok kecil yang tidak menginginkan berlangsungnya perdamaian di Aceh harus segera diantisipasi, karena bisa berujung kepada perpecahan dan menjadi pemicu konflik di Aceh. Dan ini menjadi tugas kita semua, terutama kaum muda (remaja) dalam proses pengawalan perdamaian di Aceh.
Sehingga disini lagi-lagi dibutuhkan peran remaja dalam hal mempromosikan HAM secara luas demo menjaga kelangsungan demokrasi yang telah tercipta. Hal ini juga berpengaruh terhadap pembangunan infrastruktur yang akan berbanding lurus dengan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat di Aceh. Kalau hal ini dapat terwujud maka bukan tidak mungkin, lima atau sepuluh tahun lagi Aceh akan bangkit menjadi sebuah daerah yang maju dan modern di Indonesia. Wallahualam bisshawab.

REALITAS GERAKAN MAHASISWA SAAT INI

Oleh : Herlin
Indonesia memiliki sejarah yang sangat menarik terkait dengan mahasiswa. Gerakan intelektual ini memiliki peran besar dalam segala hal di Negeri ini. Yang dimulai sejak tahun 1908 hingga sekarang setidaknya gerakan mahasiswa telah mencapai umur lebih dari 100 tahun. Kita pun tak lupa berbagai prestasi yang diukir oleh mahasiswa, mulai dari Kemerdekaan Negara ini yang diawali bangkitnya kaum intelektual sampai yang masih ada dalam benak kita bahkan kita menjadi saksi di dalamnyua, peristiwa Reformasi 1998. Sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki peran yang strategis di Negeri ini. Seperti melakukan kritik dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah guna menjalankan fungsi sosial-politiknya.
Menurut Hussain Muhammad (1986) gerakan mahasiswa merupakan gerakan yang di golongkan kepada gerakan sosial. Beliau menyifatkan kedudukan dan peranan gerakan mahasiswa mempunyai konotasi dengan gerakan kolektif dalam mewujudkan perubahan dalam suatu masyarakat. Seementara itu menurut Jeffrey Haynes (sebagaimana di kutip dalam tulisan Touraine 1985) menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan pelaku yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial atau politik, bertujuan dengan strateginya memiliki hubungan sosial dan rasionalitas. Fungsi mereka tidak bisa ditafsirkan dalam logika tatanan kelembagaan yang ada, karena fungsinya yang seimbang benar-benar merupakan tantangan bagi logika dalam mentranformasikan hubungan sosial. Karena itu, gerakan sosial selalu menentang status quo, mereka anti sistem, menyerukan dan memadukan tuntutan akan perubahan tatanan sosial, politik dan ekonomi. Dengan demikian, gerakan sosial berusaha untuk mencapai perubahan tingkat tinggi.
Lebih lanjut Jeffrey Haynes menjelaskan bahawa ciri utama gerakan sosial menandingi dasar politik dengan negara, gerakan sosial ini tidak tumbuh dalam isolasi pelaku sosial dan politik, tetapi merupakan pelaku kolektif yang terorganisir dalam perjuangan politik atau kultur yang berkelanjutan melalui jalan aksi yang institusional dan ekstra-institusional. Walaupun tema yang diusung menentang status quo, bahkan jauh dari itu mereka secara kritis berusaha untuk membangun indentitas sosial baru, menciptakan ruang demokrasi bagi aksi sosial yang otonom dan menafsirkan kembali norma dan membentuk ulang lembaga-lembaga. Juga mereka berusaha untuk mengerakkan bagian-bagian dan kelompok-kelompok yang tertindas atau tereksploitasi dalam cara baru dan berbeda.
Menurut Arbi Sanit (1999) gerakan mahasiswa mempunyai peranan yang sangat besar untuk perubahan masyarakat. Mahasiswa selalu mengambil peran sebagai pelopor dalam setiap perubahan. Keinginan yang sangat besar untuk melakukan perubahan adalah sifat yang sudah melekat pada mahasiswa yang berpikir kritis. Bila kita lihat gerakan yang dilakukan oleh mahasiawa Indonesia pada Mei 1998 yang lalu jelaslah bahwa mahasiswa mampu melibatkan diri dalam proses politik dan perubahan politik. Walaupun harus diakui segala gerakan dan tindakan mereka tidak selamanya benar, akan tetapi apa yang telah dikritik dan dilakukan oleh mahasiswa kadangkala akan menyadarkan nurani masyarakat.
Namun belakangan ini, “taring” mahasiswa seolah sudah tumpul. Mereka tak lagi dapat melakukan peran-peran strategisnya. Kalau pun bisa hanya menjadi angin lalu saja, tanpa ada feedback atau hasil yang diharapkan. Bahkan kredo “mahasiswa takut kepada Dosen, Dosen takut kepada Rektor, Rektor takut kepada Presiden, Presiden takut kepada Mahasiswa” sudah tak relevan lagi. Inilah sebuah realita yang terjadi pada gerakan mahasiswa Indonesia saat ini. Gerakan mahasiswa seperti kehilangan orientasi dalam setiap kerjanya terutama pasca peristiwa 1998. Mereka ternyata masih larut dalam Euphoria 1998, tanpa bisa beradaptasi dengan segala perubahan yang telah terjadi.
Saat ini kita melihat bahwa gerakan mahasiswa saat ini cenderung larut dalam euforia 1998, bahkan yang parahnya lagi gerakan mahasiswa terfragmentasi oleh issue-issue sektoral. Tidak lagi solid dalam satu fokus isu utama dan syarat dengan nuansa kepentingan.
Berhadapan dengan hegemoni kekuasaan ini, mahasiswa harus rela melakukan “penyesuaian-penyesuaian” idealistik agar menjadi lebih realistik. Jika tidak, maka kepunahan mengambang di depan mata. Maka diiyakanlah munculnya proses dialektis. Dialektika yang terbangun dalam bermahasiswa kemudian banyak berimplikasi pada serupa apa bentukan-bentukan intelektual dan kualitas luaran perguruan tinggi.
Tradisi belajar mahasiswa pada kenyataannya saat ini, mengalami pergeseran-pergeseran makna. Dari pahaman ideal bahwa keseluruhan proses bermahasiswa merupakan kesatuan pembelajaran (masuk kuliah di kelas, diskusi di kantin hingga kencan di taman baca), menjadi terbatas hanya pada ceramah-ceramah formal dosen di kelas, absensi, hingga tugas-tugas yang tidak kontekstual.
Pergeseran makna belajar inilah yang akhirnya banyak melahirkan generasi baru “mahasiswa simbolik” atau “mahasiswa virtual” – ada dalam status sebagai “mahasiswa”, tetapi tidak maujud dalam realitas sesungguhnya. Simbol kemahasiswaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya sebagai benar-benar mahasiswa.
Tetapi tidak sedikit juga sebenarnya kelompok mahasiswa yang masih tetap membudayakan statusnya sebagai keseluruhan proses pembelajaran. Mereka yang, dengan harus menanggung konsekuensi yuridis akibat pembangkangan atas aturan, masih mampu bertahan dalam tradisi yang merdeka untuk mengetahui dan mengerti hidup, dengan jalan apa saja – berorganisasi, berpetualang, berjalan-jalan, bakti sosial dan sebagainya.
Secara bersamaan, kelompok mahasiswa yang kedua ini menghadapi sejumlah benturan. Selain konsekuensi secara akademis, pun secara sosial mengundang banyak tanya tentang keberpihakan: siapa sebenarnya yang layak disebut “mahasiswa”; yang taat aturan-kah atau yang memerdekakan dirinya dari aturan tersebut-kah?
Pertanyaan antara siapakah yang bermahasiswa: yang belajar rutin di ruang kuliah-kah atau mereka yang banyak luangkan waktunya berdiskusi di taman-taman baca-kah? Tak jarang, secara psikologis fenomena ini membuat disparitas yang sangat demarkatif antara dua kelompok anutan di atas.
Pada kenyataannya, jenis kesadaran baru mulai mendesak muncul, perlahan menggantikan persepsi keidealan “mahasiswa”, mengkonstruk pengertian bahwa bermahasiswa adalah bagaimana bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat dan setelah sarjana dapat pekerjaan layak. Ini mulai mewabah menyusul semakin tidak berpihaknya sistem pembelajaran dan kurikulum pendidikan di negara kita. Wajar kalau kemudian, tradisi belajar dengan segala dinamikanya, banyak berpengaruh dalam membangun seperti apa prototipe gerakan kemahasiswaan saat ini.
Tak terkecuali, pergeseran prototipe gerakan mahasiswa juga didasari oleh sejauh mana evolusi pengertian belajar di kalangan mahasiswa itu sendiri.
Idealisme yang terbangun saat menjalani proses bermahasiswa – asal tidak terjajah oleh sistem pendidikan mekanistik dan newtonian saat ini, menjadi senjata pamungkas dalam menggerakkan sejumlah potensi yang dimiliki mahasiswa. Yang lebih konkrit adalah basis massa yang begitu besar di negara kita.
Penyikapan atas tirani yang mengangkangi rakyat atau atas ketidakadilan sosial – seperti yang jamak dicatat sejarah – banyak terbangun atas solidaritas intelektual yang dikuatkan oleh masih besarnya irritabilitas sosial yang dimiliki mahasiswa. Tetapi kuantitas dan kualitas pergerakan mahasiswa ini, kemudian menunjukkan grafik massifitas yang menurun seiring dengan semakin menguatnya hegemoni kekuasaan dalam kampus.
Relatif berbeda dengan masa lalu, saat mana kampus selalu menjadi satu suara untuk rakyat, baik itu birokrat, dosen maupun mahasiswanya. Pergeseran tradisi pembelajaran secara signifikan kini telah berhasil menutup ruang-ruang kreatifitas mahasiswa dalam membangun pergerakan akibat sempitnya kesempatan aktualisasi. Birokrat kampus malah menjadi musuh bersama karena menjadi kaki tangan tirani. Dan cenederung mengekang kebebasan berekspresi mahasiswa melalui bentuk regulasi yang dibuatnya.
Tak jarang juga terjadi, sebagian dosen, bahkan akhirnya menjadi rival bagi mahasiswa, khususnya dalam proses yang menunjukkan keberpihakannya terhadap pembelaan mahasiswa atas realitas sosial yang terjadi, saat diperhadapkan dengan kepentingan akademik yang diasuhnya.
Kondisi di atas semakin diperparah oleh menjangkitnya ideologi kapitalisme dalam benak sebagian besar masyarakat kita. Budaya instan menjadi warna harian yang selalu kita saksikan, menyerang siapa saja, tak terkecuali mahasiswa. Hampir seluruh sendi-sendi masyarakat digerogoti virus yang bernama materialisme, termasuk dunia mahasiswa. Sehingga menyebabkan gerakan mahasiswa menjadi semakin lemah.
Gerakan mahasiswa yang saat ini banyak dikemas dalam bentuk aksi massa, mobilisasi massa, extra-parliament movement cenderung mulai menurun intensitasnya, kalaupun ada cenderung tanpa memperhatikan efektifitas atau goal yang dituju. Pemahaman tentang tri dharma perguruan tinggi yang dicekoki oleh para senior-seniornya di kampus melalui ospek akan menjadi sia-sia tanpa adanya follow up. Doktrin tentang idealisme kepada mahasiswa-mahasiswa baru juga sangat minim bahkan cenderung nihil, sehingga sikap apatisme mahasiswa semakin bertambah. Jangankan untuk melihat kondisi sosial masyarakat, untuk melihat dan mengkritisi sekelilingnya saja, misalnya kampus tidak pernah mereka lakukan. Belum lagi tekanan dari pihak rektorat yang kadang-kadang cenderung mengkebiri hak-hak mahasiswa dalam meyampaikan aspirasi melalui berbagai kebijakan akademik yang sangat ketat. Di tingkat kampus, ormawa-ormawa yang ada tidak memberikan banyak manfaat terhadap perkembangan pemikiran kritis mahasiswa. Bahkan ormawa-ormawa itu sendri terlalu larut dalam buaian program-program seminar, dan lebih ahli dalam membuat proposal karena orientasinya adalah untuk mendapatkan sedikit recehan dari hasil kegiatan (program).
Gerakan mahasiswa makin hari cenderung semakin lemah, proses kaderisasi ditingkat mahasiswa juga minim, akibatnya rantai gerakan yang dibangun menjadi putus, tidak kontinyu, karena kurangnya penanaman nilai-nilai kritis mahasiswa terhadap kondisi social. Pada puncaknya akan melahirkan mahasiswa yang apatis yang tidak peduli terhadap persoalan social, serta akan terjebak dalam budaya hedonisme.
Rekonstruksi ulang terhadap gerakan mahasiswa saat ini sudah saatnya dilakukan, mengingat transformasi budaya dan perubahan iklim politik yang begitu cepat serta pertumbuhan laju pembangunan, yang harus selalu dikontrol secara social oleh mahasiswa. Disinilah peran mahasiswa untuk bisa menjadi agent of control yang sebenarnya. Kegiatan yang bersifat edukatif dan pengembangan dalam bentuk membaca dan berdiskusi, bakti social serta berorganisasi merupakan salah satu contoh yang efektif dalam membangun kerangka berpikir kritis. Sehingga mahasiswa tidak lagi terjebak dengan budaya hura-hura atau budaya hedonisme yang tidak membawa manfaat justru lebih banyak membawa dampak negatif.
Untuk itu mari kita “Rekonstruksi” gerakan ini!. Karena hanya ada dua pilihan bagi anda para mahasiswa, “mencetak sejarah, atau digilas oleh sejarah karena hanya menjadi penonton”. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat!!!