Rabu, 21 Juli 2010

REALITAS GERAKAN MAHASISWA SAAT INI

Oleh : Herlin
Indonesia memiliki sejarah yang sangat menarik terkait dengan mahasiswa. Gerakan intelektual ini memiliki peran besar dalam segala hal di Negeri ini. Yang dimulai sejak tahun 1908 hingga sekarang setidaknya gerakan mahasiswa telah mencapai umur lebih dari 100 tahun. Kita pun tak lupa berbagai prestasi yang diukir oleh mahasiswa, mulai dari Kemerdekaan Negara ini yang diawali bangkitnya kaum intelektual sampai yang masih ada dalam benak kita bahkan kita menjadi saksi di dalamnyua, peristiwa Reformasi 1998. Sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki peran yang strategis di Negeri ini. Seperti melakukan kritik dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah guna menjalankan fungsi sosial-politiknya.
Menurut Hussain Muhammad (1986) gerakan mahasiswa merupakan gerakan yang di golongkan kepada gerakan sosial. Beliau menyifatkan kedudukan dan peranan gerakan mahasiswa mempunyai konotasi dengan gerakan kolektif dalam mewujudkan perubahan dalam suatu masyarakat. Seementara itu menurut Jeffrey Haynes (sebagaimana di kutip dalam tulisan Touraine 1985) menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan pelaku yang secara budaya terlibat dalam konflik sosial atau politik, bertujuan dengan strateginya memiliki hubungan sosial dan rasionalitas. Fungsi mereka tidak bisa ditafsirkan dalam logika tatanan kelembagaan yang ada, karena fungsinya yang seimbang benar-benar merupakan tantangan bagi logika dalam mentranformasikan hubungan sosial. Karena itu, gerakan sosial selalu menentang status quo, mereka anti sistem, menyerukan dan memadukan tuntutan akan perubahan tatanan sosial, politik dan ekonomi. Dengan demikian, gerakan sosial berusaha untuk mencapai perubahan tingkat tinggi.
Lebih lanjut Jeffrey Haynes menjelaskan bahawa ciri utama gerakan sosial menandingi dasar politik dengan negara, gerakan sosial ini tidak tumbuh dalam isolasi pelaku sosial dan politik, tetapi merupakan pelaku kolektif yang terorganisir dalam perjuangan politik atau kultur yang berkelanjutan melalui jalan aksi yang institusional dan ekstra-institusional. Walaupun tema yang diusung menentang status quo, bahkan jauh dari itu mereka secara kritis berusaha untuk membangun indentitas sosial baru, menciptakan ruang demokrasi bagi aksi sosial yang otonom dan menafsirkan kembali norma dan membentuk ulang lembaga-lembaga. Juga mereka berusaha untuk mengerakkan bagian-bagian dan kelompok-kelompok yang tertindas atau tereksploitasi dalam cara baru dan berbeda.
Menurut Arbi Sanit (1999) gerakan mahasiswa mempunyai peranan yang sangat besar untuk perubahan masyarakat. Mahasiswa selalu mengambil peran sebagai pelopor dalam setiap perubahan. Keinginan yang sangat besar untuk melakukan perubahan adalah sifat yang sudah melekat pada mahasiswa yang berpikir kritis. Bila kita lihat gerakan yang dilakukan oleh mahasiawa Indonesia pada Mei 1998 yang lalu jelaslah bahwa mahasiswa mampu melibatkan diri dalam proses politik dan perubahan politik. Walaupun harus diakui segala gerakan dan tindakan mereka tidak selamanya benar, akan tetapi apa yang telah dikritik dan dilakukan oleh mahasiswa kadangkala akan menyadarkan nurani masyarakat.
Namun belakangan ini, “taring” mahasiswa seolah sudah tumpul. Mereka tak lagi dapat melakukan peran-peran strategisnya. Kalau pun bisa hanya menjadi angin lalu saja, tanpa ada feedback atau hasil yang diharapkan. Bahkan kredo “mahasiswa takut kepada Dosen, Dosen takut kepada Rektor, Rektor takut kepada Presiden, Presiden takut kepada Mahasiswa” sudah tak relevan lagi. Inilah sebuah realita yang terjadi pada gerakan mahasiswa Indonesia saat ini. Gerakan mahasiswa seperti kehilangan orientasi dalam setiap kerjanya terutama pasca peristiwa 1998. Mereka ternyata masih larut dalam Euphoria 1998, tanpa bisa beradaptasi dengan segala perubahan yang telah terjadi.
Saat ini kita melihat bahwa gerakan mahasiswa saat ini cenderung larut dalam euforia 1998, bahkan yang parahnya lagi gerakan mahasiswa terfragmentasi oleh issue-issue sektoral. Tidak lagi solid dalam satu fokus isu utama dan syarat dengan nuansa kepentingan.
Berhadapan dengan hegemoni kekuasaan ini, mahasiswa harus rela melakukan “penyesuaian-penyesuaian” idealistik agar menjadi lebih realistik. Jika tidak, maka kepunahan mengambang di depan mata. Maka diiyakanlah munculnya proses dialektis. Dialektika yang terbangun dalam bermahasiswa kemudian banyak berimplikasi pada serupa apa bentukan-bentukan intelektual dan kualitas luaran perguruan tinggi.
Tradisi belajar mahasiswa pada kenyataannya saat ini, mengalami pergeseran-pergeseran makna. Dari pahaman ideal bahwa keseluruhan proses bermahasiswa merupakan kesatuan pembelajaran (masuk kuliah di kelas, diskusi di kantin hingga kencan di taman baca), menjadi terbatas hanya pada ceramah-ceramah formal dosen di kelas, absensi, hingga tugas-tugas yang tidak kontekstual.
Pergeseran makna belajar inilah yang akhirnya banyak melahirkan generasi baru “mahasiswa simbolik” atau “mahasiswa virtual” – ada dalam status sebagai “mahasiswa”, tetapi tidak maujud dalam realitas sesungguhnya. Simbol kemahasiswaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya sebagai benar-benar mahasiswa.
Tetapi tidak sedikit juga sebenarnya kelompok mahasiswa yang masih tetap membudayakan statusnya sebagai keseluruhan proses pembelajaran. Mereka yang, dengan harus menanggung konsekuensi yuridis akibat pembangkangan atas aturan, masih mampu bertahan dalam tradisi yang merdeka untuk mengetahui dan mengerti hidup, dengan jalan apa saja – berorganisasi, berpetualang, berjalan-jalan, bakti sosial dan sebagainya.
Secara bersamaan, kelompok mahasiswa yang kedua ini menghadapi sejumlah benturan. Selain konsekuensi secara akademis, pun secara sosial mengundang banyak tanya tentang keberpihakan: siapa sebenarnya yang layak disebut “mahasiswa”; yang taat aturan-kah atau yang memerdekakan dirinya dari aturan tersebut-kah?
Pertanyaan antara siapakah yang bermahasiswa: yang belajar rutin di ruang kuliah-kah atau mereka yang banyak luangkan waktunya berdiskusi di taman-taman baca-kah? Tak jarang, secara psikologis fenomena ini membuat disparitas yang sangat demarkatif antara dua kelompok anutan di atas.
Pada kenyataannya, jenis kesadaran baru mulai mendesak muncul, perlahan menggantikan persepsi keidealan “mahasiswa”, mengkonstruk pengertian bahwa bermahasiswa adalah bagaimana bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat dan setelah sarjana dapat pekerjaan layak. Ini mulai mewabah menyusul semakin tidak berpihaknya sistem pembelajaran dan kurikulum pendidikan di negara kita. Wajar kalau kemudian, tradisi belajar dengan segala dinamikanya, banyak berpengaruh dalam membangun seperti apa prototipe gerakan kemahasiswaan saat ini.
Tak terkecuali, pergeseran prototipe gerakan mahasiswa juga didasari oleh sejauh mana evolusi pengertian belajar di kalangan mahasiswa itu sendiri.
Idealisme yang terbangun saat menjalani proses bermahasiswa – asal tidak terjajah oleh sistem pendidikan mekanistik dan newtonian saat ini, menjadi senjata pamungkas dalam menggerakkan sejumlah potensi yang dimiliki mahasiswa. Yang lebih konkrit adalah basis massa yang begitu besar di negara kita.
Penyikapan atas tirani yang mengangkangi rakyat atau atas ketidakadilan sosial – seperti yang jamak dicatat sejarah – banyak terbangun atas solidaritas intelektual yang dikuatkan oleh masih besarnya irritabilitas sosial yang dimiliki mahasiswa. Tetapi kuantitas dan kualitas pergerakan mahasiswa ini, kemudian menunjukkan grafik massifitas yang menurun seiring dengan semakin menguatnya hegemoni kekuasaan dalam kampus.
Relatif berbeda dengan masa lalu, saat mana kampus selalu menjadi satu suara untuk rakyat, baik itu birokrat, dosen maupun mahasiswanya. Pergeseran tradisi pembelajaran secara signifikan kini telah berhasil menutup ruang-ruang kreatifitas mahasiswa dalam membangun pergerakan akibat sempitnya kesempatan aktualisasi. Birokrat kampus malah menjadi musuh bersama karena menjadi kaki tangan tirani. Dan cenederung mengekang kebebasan berekspresi mahasiswa melalui bentuk regulasi yang dibuatnya.
Tak jarang juga terjadi, sebagian dosen, bahkan akhirnya menjadi rival bagi mahasiswa, khususnya dalam proses yang menunjukkan keberpihakannya terhadap pembelaan mahasiswa atas realitas sosial yang terjadi, saat diperhadapkan dengan kepentingan akademik yang diasuhnya.
Kondisi di atas semakin diperparah oleh menjangkitnya ideologi kapitalisme dalam benak sebagian besar masyarakat kita. Budaya instan menjadi warna harian yang selalu kita saksikan, menyerang siapa saja, tak terkecuali mahasiswa. Hampir seluruh sendi-sendi masyarakat digerogoti virus yang bernama materialisme, termasuk dunia mahasiswa. Sehingga menyebabkan gerakan mahasiswa menjadi semakin lemah.
Gerakan mahasiswa yang saat ini banyak dikemas dalam bentuk aksi massa, mobilisasi massa, extra-parliament movement cenderung mulai menurun intensitasnya, kalaupun ada cenderung tanpa memperhatikan efektifitas atau goal yang dituju. Pemahaman tentang tri dharma perguruan tinggi yang dicekoki oleh para senior-seniornya di kampus melalui ospek akan menjadi sia-sia tanpa adanya follow up. Doktrin tentang idealisme kepada mahasiswa-mahasiswa baru juga sangat minim bahkan cenderung nihil, sehingga sikap apatisme mahasiswa semakin bertambah. Jangankan untuk melihat kondisi sosial masyarakat, untuk melihat dan mengkritisi sekelilingnya saja, misalnya kampus tidak pernah mereka lakukan. Belum lagi tekanan dari pihak rektorat yang kadang-kadang cenderung mengkebiri hak-hak mahasiswa dalam meyampaikan aspirasi melalui berbagai kebijakan akademik yang sangat ketat. Di tingkat kampus, ormawa-ormawa yang ada tidak memberikan banyak manfaat terhadap perkembangan pemikiran kritis mahasiswa. Bahkan ormawa-ormawa itu sendri terlalu larut dalam buaian program-program seminar, dan lebih ahli dalam membuat proposal karena orientasinya adalah untuk mendapatkan sedikit recehan dari hasil kegiatan (program).
Gerakan mahasiswa makin hari cenderung semakin lemah, proses kaderisasi ditingkat mahasiswa juga minim, akibatnya rantai gerakan yang dibangun menjadi putus, tidak kontinyu, karena kurangnya penanaman nilai-nilai kritis mahasiswa terhadap kondisi social. Pada puncaknya akan melahirkan mahasiswa yang apatis yang tidak peduli terhadap persoalan social, serta akan terjebak dalam budaya hedonisme.
Rekonstruksi ulang terhadap gerakan mahasiswa saat ini sudah saatnya dilakukan, mengingat transformasi budaya dan perubahan iklim politik yang begitu cepat serta pertumbuhan laju pembangunan, yang harus selalu dikontrol secara social oleh mahasiswa. Disinilah peran mahasiswa untuk bisa menjadi agent of control yang sebenarnya. Kegiatan yang bersifat edukatif dan pengembangan dalam bentuk membaca dan berdiskusi, bakti social serta berorganisasi merupakan salah satu contoh yang efektif dalam membangun kerangka berpikir kritis. Sehingga mahasiswa tidak lagi terjebak dengan budaya hura-hura atau budaya hedonisme yang tidak membawa manfaat justru lebih banyak membawa dampak negatif.
Untuk itu mari kita “Rekonstruksi” gerakan ini!. Karena hanya ada dua pilihan bagi anda para mahasiswa, “mencetak sejarah, atau digilas oleh sejarah karena hanya menjadi penonton”. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar