Rabu, 21 Juli 2010

MEMBONGKAR IDENTITAS MAHASISWA SEBAGAI SOSIAL KONTROL

Oleh : Herlin
Mahasiswa, sebuah kelas social yang hari ini kembali dipertanyakan eksistensinya, hangar-bingar teriakan reformasi “98” oleh kaum intelektual di zamannya merupakan sebuah saksi sejarah dimana pada saat itu kaum intelektual mempunyai posisi yang dominant dalam struktur social dan politik serta mendapat tempat di hati masyarakat ketika proses perubahan system yang diharapkan itu terwujud dengan jatuhnya rezim orba yang telah berkuasa secara otoriter selama 32 tahun lamanya. Namun kini, semua itu menjadi kenangan sebuah kenangan manis yang masih tersisa dan tenggelam seiring perjalanan waktu. Saat ini, mahasiswa hanya sebuah label yang ditambalkan bagi seorang yang menuntut ilmu demi mendapatkan selembar ijazah dan sebuah gelar “sarjana”, tidak lebih dari itu. Sedangkan fungsinya sebagai control social tidak pernah lagi kita lihat bahkan kita rasakan saat ini.
Bila kita tilik lebih jauh, selama ini terjadi diferensiasi sosial di dalam tubuh mahasiswa, pada awalnya pola pemikiran kritis serta peka terhadap kondisi social yang selama ini telah dicontohkan oleh para founding father negeri. Mahasiswa telah kehilangan sejarahnya.
Padahal para founding father negeri ini telah berpikir kritis sejak mereka menjadi mahasiswa dan mereka sudah mulai berpikir untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa. Mereka punya daya tahan yang kuat terhadap tekanan baik secara fisik dan psikologi pada saat menghadapi penjajah demi tujuan memperjuangkan bangsanya menuju kesejahteraan rakyat. Mereka dekat dengan rakyat-rakyat kecil, kelas buruh, dan eksponen-eksponen sipil lain yang belum mapan.

Namun kondisi itu sekarang tidak lagi kita temui, kalaupun ada, hanya segelintir mahasiswa yang masih punya semangat dan jiwa revolusioner, sementara yang lain terjebak dalam budaya hedonisme yang tidak jelas ujung-ujungnya. Seakan-akan mahasiswa tidak lagi mempunyai tanggung secara sosial dan moral terhadap kondisi masyarakat secara keseluruhan. Padahal, kalau mau kita kupas lebih jauh, peran sentral mahasiswa terhadap perubahan merupakan hal yang sangat penting dan ditunggu-tunggu oleh rakyat.

Padahal, kalau kita lihat secara histories mahasiswa sebagian besar dari desa, nah ada tradisi yang kebersamaan yang kental di desa, misalnya adanya prinsip gotong royong ketika ada event-event tertentu di desa, kemudian ketika masuk ke kampus semangat kebersamaan yang telah dibangun itu bukannya malah hilang, namun bisa dipupuk lebih baik lagi, agar semangat ini tumbuh dengan subur dan dapat menjadi ruh terhadap perubahan, namun sayangnya hal ini tidak bisa terwujud dikarenakan adanya disorientasi historis ketika mereka masuk kampus.

Kampus juga memiliki organisasi-organisasi kemahasiswaan, yang sejatinya tujuan-tujuan organisasi mahasiswa adalah bagaimana bisa mendorong budaya kritis mahasiswa, wadah bagi mahasiswa untuk berdiskusi dan mengembangankan kemampuan intelektualitasnya dalam melihat persoalan social baik di kampus maupun di luar kampus, namun sayangnya hal ini jarang sekali terjadi dan hampir mustahil kita temui.

Selama ini bisa kita lihat dikampus berbagai macam aktivitas mahasiswa yang cenderung terkesan tidak bermanfaat bagi rakyat secara keseluruhan, misalnya seminar-seminar, pelatihan-pelatihan dan berbagai macam lokakarya yang tidak mencapai ending sesuai harapan, padahal kalau kita lihat dari judul kegiatannya sangat menarik dan terkesan konstekstual, namun sampai pada akhirnya kegiatan yang dibiayai oleh dana kampus yang bersumber dari mahasiswa maupun dari APBN atau APBK tidak pernah mencapai out put yang diharapkan dan tidak membawa dampak apapun demi perubahan. Semangat yang dibangun juga bukan untuk mengembangkan intelektualitas, namun hanya untuk mencari sedikit keuntungan materi dari proposal-proposal yang buat ketika akan membuat program-program yang saya sebutkan tadi.

Kalau kita mau jujur melihat, bahwa sebenarnya anggaran public yang dihabiskan oleh mahasiswa untuk membuat kegiatan-kegiatan seremonial tersebut dipertanggung jawabkan secara public, mengingat prinsip dari penggunaan keuangan Negara harus transparan dan akuntabel. Kalau tidak, berarti mahasiswa juga telah memulai untuk melakukan korupsi sejak dini, dan akhirnya kampus hanya akan melahirkan intelektual-intelektual yang koruptif.

Semangat tersebut seharusnya harus dihindari, mengingat mahasiswa merupakan agent of change atau social control yang mempunyai tanggung jawab social yang besar terhadap arah pembangunan bangsa ke depan. Setiap rezim yang berkuasa tidak semuanya sempurna, nah ketidaksempurnaan itu seharusnya dikritisi oleh mahasiswa dengan berbagai metode, bukan malah ikut-ikutan masuk ke dalam system tanpa ada tujuan untuk memperbaiki dan merubahnya.

Saat ini mahasiswa telah lalai dengan tanggung jawabnya secara moral, mereka terhegemoni oleh system dan kekuasaan yang berlaku. Walaupun buruk, mahasiswa hanya mengikuti saja dan terkesan tidak punya nilai tawar lagi. Ini terjadi akibat apa? Akibat dari ketidakpedulian mahasiswa terhadap kondisi objektif dan fenomena yang terjadi. Kekuatan mahasiswa secara massif hari ini tidak mampu lagi di bangun, sehingga yang terjadi adalah terpecahnya kekuatan mahasiswa menjadi berbagai kubu-kubu, yang kemungkinan ini bisa dimanfaatkan oleh segelintir elit-elit kepentingan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.

Semangat solidaritas dan persatuan mahasiswa sangat mempengaruhi terhadap perubahan yang akan di capai, tanpa adanya dua hal tersebut akan sangat sulit mencapai perubahan itu, mengingat dinamika politik dan social yang selama ini dibangun telah secara massif dimanfaatkan dan digunakan oleh segelintir elit-elit politik. Kondisi ini dipengaruhi oleh sikap apatis mahasiswa selama ini, kecenderungan tidak perduli terhadap kondisi yang sedang terjadi akan memberikan kontribusi yang negative bagi proses pembangunan.

Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa telah kehilangan identitasnya akibat dari sikap hedonis, apatis, dan rasa solidaritas yang semakin hari semakin menurun dan sangat tidak ekuivalen dengan kecerdasan serta intelektualitas yang diagung-agungkan selama ini. Kecerdasan dan intelektualitasnnya tidak lagi dibarengi dengan kepekaan social yang tinggi. Untuk merubah itu semua, maka itu perlu ada sebuah formula barumengenai orientasi mahasiswa yang sebenarnya.

Ada beberapa solusi yang di tawarkan atas persoalan di atas yaitu : Yang pertama, membangun budaya kritis mahasiswa dimulai pada saat mahasiswa itu pertama kali masuk ke kampus melalui berbagai mekanisme, bisa melalui ospek dll. Yang kedua, civitas akademika yang lain misalnya dosen juga memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk berfikir dan bersikap kritis terhadap perkembangan social dalam rangka mengaktualisasikan ilmu hal ini bisa dilakukan disela-sela memberikan materi perkuliahan. Yang ketiga, mahasiswa juga seharusnya meningkatkan aktivitas-aktivitas ilmiahnya yaitu membaca dan berdiskusi tidak mesti harus disesuaikan dengan bidang ilmu yang ditekuni, sejauh itu masih menyangkut persoalan social, ekonomi dan politik. Yang keempat, mahasiswa tidak membatasi diri dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan lembaga-lembaga di luar kampus seperti organisasi mahasiswa ekstra kampus, LSM, praktisi dll, karena peluang ilmu yang didapat bisa saja lebih besar daripada di kampus. Yang kelima, mahasiswa harus sering melakukan penelitian terhadap kondisi masyarakat secara langsung, agar bisa mengetahui dan menilai secara objektif kondisi social masyarakat. Yang keenam, organisasi mahasiswa internal kampus seperti BEM, DPM, dan UKM-UKM harus mampu menjadi mediator bagi pengembangan intelektualitas dan budaya kritis mahasiswa, sesuai dengan fungsi dan keberadaannya di dalam kampus.
***Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh sekaligus
Anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh (FKMA)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar