Rabu, 21 Juli 2010

Singkronisasi antara Implementasi Hukum dan Peran Pemerintah dalam Memenuhi serta Menjamin Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bagi Rakyat Indonesia

Oleh : Herlin
Transisi demokrasi di Indonesia dalam taraf tertentu telah membuka ruang yang lebih luas bagi hak-hak rakyat untuk berekspresi, berorganisasi dan mengeluarkan pendapat dibandingkan denga jaman Orde Baru yang otoriter. Intinya hak-hak sipil telah diberi tempat dan ruang yang luas, bahkan dalam level tertentu telah dijamin oleh undang-undang

Namun, transisi demokrasi tersebut ironisnya berjalan berbarengan dengan krisis ekonomi yang tidak juga menemui jalan keluar. Fomula liberalisasi ekonomi dari IMF dan Bank Dunia yang dijalankan oleh pemerintahan Soeharto hingga SBY terbukti lebih beracun dari penyakit krisis yang hendak diobati. Formula liberalisasi terbukti mengakibatkan hak-hak sosial rakyat dilanggar oleh negara dan kepentingan modal. Tanggung jawab subsidi negara dikurangi bahkan dicabut, semata mengikuti logika pasar bebas. Akibat pengabdian rejim transisi demorkasi pada pasar bebas kehidupan rakyat semakin dimiskinkan dan terjerabut dari hak-hak sosial-ekonominya, bahkan yang paling dasar sekalipun. Akses rakyat kepada kesehatan dan pendidikan semakin sempit; pengangguran meningkat tajam; upah nyata buruh semakin kecil; subsidi negara dihapuskan/dikurangi. Di sisi lain kontrol rakyat atas berbagai ekosistem kehidupan juga tercerabut atau bahkan dihancurkan oleh kekuatan pasar bebas yang eksplosif dan negara.

Agar hak-hak sosial ekonomi rakyat tidak ditundukan secara total oleh kekuatan pasar, harus dikembangkan berbagai strategi dan inisiatif agar sistem-sistem sosial-ekonomi kerakyatan bisa direbut kembali demi gerakan di akar rumput dan dipertahankan untuk melawan pengrusakan lingkungan ekosob yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar bebas. Perjuangan menuntut hak-hak ekosob akan menyediakan syarat untuk dapat didorong oleh gerakan menjadi isu umum yang betul-betul menjadi kebutuhan dalam realitas konkrit kehidupan rakyat kebanyakan.

Inisiatif pemerintah RI yang sudah meratifikasi konvenan hak-hak Ekosob jangan juga menjadi ilusi akan dijalankan. Ratifikasi ini harus dipaksa agar dijadikan undang-undang dan mengikat pelaku bisnis, kepentingan modal dan pemerintahan lokal. Bentuk kongkritnya adalah anggaran negara dan anggaran daerah yang betul-betul dirumuskan demi kepentingan sosial, bukan kepentingan elit politik dan kepentingan pasar.

Anggaran negara yang mengabdi pada kepentingan dasar rakyat bukanlah sebuab mimpi. Di i Brasil, dinegara bagian Porto Alegre, sejak tahun 1990 an, rakyat menentukan perumusan anggaran pembangunan melalui mekanisme Anggaran Partisipatoris (Participatory Budget). Dengan cara itu anggaran pembangunan negara setiap tahun, disesuaikan dengan kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan pemilik modal atau pasar. Untuk sampai ketahap seperti itu, rakyat disana juga perlu untuk mendemokratiskan kekuasan eksekutif di level lokal. Caranya dengan partisipasi rakyat untuk mendukung dan menguasai pemerintahan di level distrik/kabupaten dan negara bagian dengan mendukung calon eksekutif yang memperjuangkan platform anggaran partisipatoris.

Dengan otonomi daerah dan ruang demokrasi yang lebih luas sekarang ini, sebetulnya ada kesempatan apa yang terjadi di Porto Alegre juga bisa terjadi disini. Problemnya adalah, apakah gerakan disini mau bersatu untuk perjuangan politik yang mengabdi pada kepentingan rakyat, atau bersatu untuk tujuan eskistensi politik belaka.

Karena, hak Sipol adalah problem keseharian yang paling mencolok dalam negara yang tidak demokratis. Namun, itu tidak berarti bahwa hak Ekosob telah terpenuhi dalam negara otoriter. Kita mungkin masih ingat bagaimana ORBA dulu mempopulerkan jargon yang lebih kurang berbunyi "politic no, economy yes". Seolah hak ekonomi atau kesejahteraan masyarakat telah dipenuhi dengan baik oleh Negara. Padahal, jargon itu hanyalah kamuflase yang digunakan sebagai topeng untuk melegitimasi tindakan brutal negara terhadap hak-hak Sipol rakyat.

Yang terjadi adalah pelanggaran terhadap hak-hak Ekosob tidak terungkap karena tidak adanya ruang untuk mempublikasikan penistaan Negara terhap hak-hak itu. Sebab, kebebasan pers adalah kemewahan yang tak terbeli dalam negara yang dikontrol oleh pemerintahan despotik. Karenanya, pengungkapan tragedi kelaparan, kematian akibat epidemic, dll menjadi aib yang selalu ditutupi oleh penguasa diktator. Jadi, dalam kalimat sederhana mungkin bisa dikatakan 'jangankan menuntut hak atas pelayanan kesehatan, hak berbicara saja masih belum terpenuhi'.

Hal tersebut menjadi penting untuk diungkap kembali, karena akhir-akhir ini kita seringkali mendengar 'gugatan' bahwa kesejahteraan ekonomi lebih terpenuhi ketika orde baru disbanding sekarang. Reformasi dianggap hanya mempersulit peningkatan kesejahteraan rayat. Padahal tudingan itu melupakan berbagai problem krusial terkait kesejahteraan dimasa orde baru, yang tidak terungkap karena tidak adanya kebebasan media di masa itu. Bukan karena hidup rakyat yang lebih sejahtera. Selain itu juga harus dipahami bahwa kondisi hidup rakyat yang semakin terpuruk saat ini adalah bagian dari problem masa lalu.
Hal inilah yang mengakibatkan perjuangan atas hak-hak ekosob seringkali baru menjadi agenda prioritas setelah penguasa otoriter tumbang, seperti situasi tengah kita alami sekarang.

Kedua, dalam penegakan ke dua kovenan tersebut, terdapat dua strategi yang berbeda, yang dalam skema perekonomian global saat ini, justru semakin menjauhkan komitmen negara dalam pemenuhan Hak Ekosob. Sebab, kovenan yang mengatur masalah hak-hak Sipol, bertendensi membatas intevensi Negara dalam pemenuhannnya, sehingga lazim dikenal dengan istilah hak-hak negative (negative rights). Sementara upaya Pemenuhan hak-hak ekosob justru sebaliknya. Negara malah akan melakukan pelanggaran jika tidak aktif berperan dalam pemenuhan hak-hak ini.

Sehingga, hak Ekosob juga lazim dikenal sebagai hak-hak positif (positive rights). Namun, yang jadi perkara -terkait pemenuhan hak Ekosob – adalah kebijakan ekonomi sejak krisis mendera di tahun 1997 secara gamblang diabdikan pada kepentingan pasar. Konsekwensinya, peran negara dalam aktivitas pemenuhan kesejahteraan rakyat dikurangi. Program pelayanan umum makin ditinggalkan oleh pemerintah, karena pendukung neoliberal meyakini bahwa pasar punya mekanisme sendiri untuk mengatur itu.

Peran negara dipangkas sedimikian rupa, menjadi hanya sebatas fasilitator bagi berkembangnya pasar. Hal ini tercermin dari alokasi APBN untuk bidang sosial yang terus dikebiri. Beban hutang yang luar biasa telah memaksa pemerintah untuk memperketat dan melakukan efisiensi dalam APBN. Sehingga, berbagai subsidi dikurangi, bahkan dicabut. Faktanya bisa diamati dari gencarnya IMF mendesak agar sektor-sektor pelayanan dasar segera diliberalisasi dan penghapusan berbagai subsidi di bidang yang terkati dengan hajat hidup orang banyak seperti ; BBM, listrik, telekomunikasi, produk pertanian,dll.

Semua arah kebijakan tersebut hadir sebagai 'kutukan' dan malapetaka bagi rakyat, yang sudah termarjinalkan selama puluhan tahun. Sebab, policy itu memicu melonjaknya harga-harga barang, ditengah pendapatan rakyat yang semakin menurun. Hal tersebut, tentu saja semakin melemahkan daya beli masyarakat, yang diperburuk oleh ambisi pemerintah untuk terus menggenjot pendapatan dari sektor pajak.

Hasilnya adalah kesejahteraan rakyat semakin tergerus. Sebab, rakyat ditinggal sendirian menghadapi serangan program neoliberal yang hadir untuk merampas semua pelayanan dasar negara terhadap mereka. Kebijakan yang mengandung unsur subsidi negara, oleh IMF dianggap tidak produktif karena bertentangan dengan logika pasar. Karenanya, kebijakan dimaksud, hanya akan semakin mempersempit akses masyarakat terhadap pemenuhan hak Ekosob, termasuk hak atas kesehatan karena biaya berobat yang semakin tak terjangkau. Contoh yang lebih telanjang adalah pengingkaran negara terhadap hak rakyat atas pendidikan, yang juga menjadi hak dasar yang diatur dalam kovenan Ekosob. Setiap tahun kita bisa meilihat betapa pemerintah melakukan pelanggaran terhadap amanat konstitusi, karena tidak pernah merealisasikan anggaran pendidikan yang telah diatur sebesar 20%.

Kebijakan pemulihaan ekonomi yang takluk buta dibawah komando program neo liberal seperti dipraktekan saat ini, akan semakin memperburuk realisasai komitmen pemerintah pada pemenuhan hak-hak Ekosob. Sebab, kebijakan tersebut pastinya tidak diarahkan untuk membangun ribuan ruang kelas yang ambruk yang secara nyata menafikan hak rakyat atas pendidikan. Selain itu kebijakan neoliberal tentu tidak akan peduli terhadap upaya peningkatan upah buruh, pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil dan terisolir serta hak dasar lain yang terangkum dalam kovenan Ekosob. Karena, pembiayaan untuk sektor semacam ini, sekali lagi, hanya akan dianggap pemborosan
Sehingga, secara kritis dapat dikatakan bahwa strategi pemulihan ekonomi yang tempuh saat ini lebih terlihat sebagai upaya untuk meladeni kepentingan neoliberal dan untuk melunasi hutang yang konon sulit terbayarkan bahkan untuk beberapa generasi kedepan.

Dalam situasi ketika negara seperti lepas tangan dari tanggung jawab sosialnya, nasib warga akan sangat ditentukan oleh aktivitas ekonomi mereka sendiri. Orang-orang yang tidak memiliki keahlian dan sumber
daya ekonomi yang cukup akan termajinalisasi. Benar bahwa pemerintah mencoba melakukan upaya pemenuhan hak Ekosob melalui program-program seperti pembagian beras miskin (raskin), pemberian kartu berobat murah, pembagian Bantuan Langsung Tunai (BTL), bantuan operasional sekolah, dll. Namun, rangkaian program 'charity' tersebut, lebih terlihat sebagai pelipur lara atas dinaikkannya harga BBM. Karenanya, perlindungan serupa itu hanya bersifat artificial, bukan jawaban terhadap penderitaan panjang yang mendera rakyat selama bertahun-tahun. Sebab, kebijakan yang diambil bukan merupakan program jangka panjang yang didukung langkah-langkah komprehensif untuk pencapain target-target yang terukur dalam rentang waktu tertentu.

Kondisi ini menjadi penjelas bahwa hak-hak Ekosob belum menjadi prioritas pemerintah dan secara gamblang menafikan konstitusi (UUD 1945) yang dalam pembukaannya telah secara tegas mengatur bahwa "tujuan bernegara adalah menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’’ . Disisi lain, economic recovery memang telah menunjukkan sinyal perbaikan, yang ditandai oleh nilai kurs Rupiah yang cenderung stabil. Namun, hal tersebut belum secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat secara umum. Apalagi, seperti dilansir berbagai media, perbaikan kurs rupiah saat ini lebih dipengaruhi oleh banyaknya besaran investasi portofolio yang ditanamkan di pasar modal atau bursa saham. Bukan investasi asing langsung (foreign direct investment) yang datang untuk mengembangkan usaha di Indonesia. Seperti diketahui, investasi portfolio adalah jenis investasi yang dapat bergerak dalam hitungan detik, perpindahannya dari satu negara ke negara lain terjadi dalam satu kedipan mata. Sehingga para pelaku investasi model ini lebih tepat disebut spekulan ketimbang investor, yang jika melarikan modalnya ke luar negri bisa mengancam krisis ekonomi seperti yang terjadi di awal 1997.

Hal inilah yang menyebabkan kenapa perbaikan ekonomi saat ini tidak berbanding lurus dengan jumlah angka kemiskinan yang malah cenderung naik, serta angka pengangguran, angka anak putus sekolah dan berbagai wabah penyakit seperti, demam berdarah, flu burung, diare, dll, yang tidak pernah tertangani secara tuntas dan menjadi ancaman pembunuhan yang terus menghantui warga dalam setiap musim tertentu. Situasi ini tentu menjadi sebuah ironi ditengah gencarnya pemerintah mengkampanyekan perbaikan kondisi hak asasi manusia sebagai agenda utamanya.

Hak Atas Kesehatan dan Tanggung Jawab Negara
Sebagai produk perang dingin, perjuangan atas hak Sipol menjadi prioritas utama yang diperjuangkan oleh para perjuang HAM, sebagai antitesa terhadap banyaknya korban akibat brutalitas Negara yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Namun, fakta mencengangkan mengungkap bahwa ternyata korban yang meninggal akibat kelaparan, penyakit menular dan berbagai soal yang terkait dengan masalah kemiskinan jauh lebih banyak dari korban karena kekerasan Negara. Thomas Pogge (2004) dalam artikelnya "World Poverty and Human Rights", yang mengutip data World Health Organisation (WHO), mencatatat bahwa diperkirakan ada 18 juta korban yang meninggal setiap tahunnya karena kasus yang terkait dengan masalah kemiskinan atau 1/3 dari jumlah total korban jiwa yang ditaksir sebesar 270 juta sejak berakhirnya perang dingin. Karenanya, berpijak pada fakta itu maka perjuangan pemenuhan hak Ekosob, harus ditempatkan dalam posisi setara dengan perjuangan hak Sipol. Kaitannya dengan hak rakyat atas kesehatan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pembukaan konstitusinya lebih spesifik mendefenisikan kesehatan sebagai "Suatu kondisi yang baik dan sempurna fisik, mental dan sosial dan bukan hanya kondisi penyakit atau kelemahan fisik belaka" . Dengan demikian, hak atas kesehatan, semestinya harus lebih diposisikan dalam kerangka kerja preventive. Hal ini bermakna bahwa pemerintah harus bertindak lebih cepat dalam mencegah timbulnya suatu penyakit, misalnya dengan mendorong terciptanya lingkungan yang bersih, sarana air bersih dan sanitasi yang memenuhi standar kesehatan, dll. Tindakan reaktif pemerintah, layaknya pemadam kebakaran, yang diambil setelah jatuhnya korban jiwa, karenanya sangat jauh dari semangat untuk memenuh hak rakyat atas kesehatan.
Kovenan hak Ekosob memang mengakomodasi pemenuhan secara bertahap atau progresif oleh Negara atas hak-hak itu termasuk hak atas kesehatan. Sebab, disadari pencapaian paling maksimal membutuhkan waktu yang lama. Namun ada kewajiban dasar yang mengikat pemerintah untuk melakukan realisasi secara segera (immediate realization), khususunya terhadap soal yang terkait dengan "pengurangan angka kelahiran dan kematian bayi, pencegahan dan penanggulangan epidemic, endemik, serta peningkatan kondisi yang dapat menjamin terjangkaunya sarana medis bagi penderita penyakit"

Karena itu, ruang yang diberikan oleh kovenan tersebut untuk Pemenuhan secara progresif, tidak bisa dipakai sebagai dalih untuk menunda pemenuhan hak atas kesehatan. Yang harus dipastikan adalah apakah Negara tidak atau belum mampu ataukah Negara memang tidak mau dan tidak peduli terhadap itu. Sehingga, hal yang mesti diamati adalah sejauh mana kebijakan pemerintah memberi prioritas terhadap Pemenuhan kesehatan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari misalnya ; berapa besar anggaran yang dialokasikan untuk itu. Karena hal tersebut akan berimplikasi pada fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang bisa disediakan untuk masyarakat. Dari sini kemudian dapat diketahui apakah Negara tidak mampu atau tidak mau memenuhi hak itu. Tapi seringkali kita dipertontonkan sesuatu yang sangat kontras di republik ini, jika kita membandingkan layanan kesehatan yang dinikmati pejabat dan rakyat. Karena, pejabat bisa mendapat fasilitas yang sangat mewah untuk itu, namun disaat yang sama di rumah sakit umum ada orang yang ditolak berobat karena tidak punya biaya.

Padahal seperti dikutip diatas, pasal 12 kovenan Ekosob yang mengatur masalah hak atas kesehatan mencantumkan kata standar tertinggi yang mestinya dinimati setiap orang untuk pelayanan kesehatan fisik dan mental. Kata tertinggi dalam pasal tersebut berimplikasi pada elemen-elemen mendasar atau prinsip-prinsip yang mesti dipenuhi Negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan seperti ; ketersedian, aksesibilitas dan akseptibilitas dan kualitas. Karena itu Negara memiliki obligasi untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak rakyat atas kesehatan.
Hal inilah yang menyebabkan kenapa persoalan tingkat kematian bayi misalnya, juga menjadi salah satu parameter untuk menentukan berhasil tidaknya pembangunan di suatu negara. Sebab, pembangunan mestinya berjalan linear dengan peningkatan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. Untuk itu masyarakat juga harus terus aktif untuk mendesak pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai. Karena, sangat sulit berharap kebaikan pemerintah yang saat ini didominasi oleh para politisi 'kepala batu' untuk memenuhi hak-hak konstitusional tersebut.
"Karya ini dimuat dalam Buku : Menanti Kebangkitan Hukum Indonesia karya Mahasiswa Fakultas Hukum Se-Indonesia, Penerbit Press UI dan Pusat Kajian Mahkamah Konstitusi RI"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar